City without old buildings is like a man without memory. Itu kata Konrad Smiglisky. Dan memang, bangunan adalah sejarah yang paling jujur menyuarakan masa lalu kita. Melihat arsitektur sebuah bangunan tua, seakan membuat kita punya mesin waktu yang bisa membawa kita kembali ke masa lampau, me-review memori masa silam. Memandang bangunan tua dapat membuat kita berkhayal, bagaimana kira-kira kehidupan para leluhur kita beserta segala aspek yang melilit mereka. Sejatinya, peninggalan sejarah memberikan bayangan pada masa silam. Ia memberi bacaan pada kehidupan masa lampau. Pesan masa lampau pada masa kini dan sekaligus menjadi tamsil rindu.
Manusia mengendarai ruang dan waktu. Bagi mereka yang arif, ruang dan waktu adalah tempat becermin. Karena di sanalah album tapak-tapak sejarah mereka direkam. Karena itu, tak heran, banyak di antara kita yang suka mengenang masa lampau bahkan ingin mengulangnya kembali. Sebab semakin panjang perjalanan hidup, biasanya kian terasa bagaimana waktu dan kerinduan berbanding terbalik. Semakin panjang jalan ditempuh, semakin rindu ingin kembali ke belakang. Meski kadang masa lampau itu kerap dianggap lemau (hampir basi). Coba perhatikan, jika kita pergi ke luar kota atau ke luar negeri, di mana kita kerap berfoto? Salah satu jawabnya adalah di bangunan tua, kuno atau bersejarah. Sebab itu Victor Hugo pernah berkata: The use of monuments is something that belongs to its owner, its beauty belongs to everyone.
Sayangnya, banyak di antara kita, terutama para pemegang tali teraju, memandang masa silam sama sekali tak berguna. Mereka hampir tak punya sentuhan budaya sama sekali sehingga demikian sampai hati meruntuhkan bangunan-bangunan tua bersejarah. Atas nama proyek revitalisasi, renovasi dan apapun namanya, maka tercerabutlah tapak-tapak sejarah yang melekat pada Masjid Raya Pekanbaru dan Masjid Hibbah di Pelalawan. Musnahlah kegemilangan masa silam akibat ego kapitalis. Padahal, Barat sendiri, yang selama ini kerap kita ejek sebagai kapitalis, tetap tidak tega merubuhkan bangunan-bangunan tua bersejarah mereka. Mereka bahkan amat merawatnya, dijadikan ikon, trademark, tempat rendezvous (titik perjumpaan) yang romantik hingga dijual sebagai destinasi pelancongan.
Kita justru berkhianat pada masa silam. Masjid Raya Pekanbaru yang telah berusia lebih dari 100 tahun pertama kali dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah, raja keempat Kerajaan Siak Indrapura. Senapelan yang menjadi lokasi Masjid Raya adalah cikal bakal pertama berdirinya Kota Pekanbaru. Dengan meruntuhkannya, berarti kita telah menghilangkan salah satu bukti sejarah Kerajaan Melayu di Riau. Sementara Masjid Hibbah Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Marhum Budiman (Tengku Said Osman bin Tengku Said Ubaidillah) Regant Kerajaan Pelalawan (1930–1941). Dia dinamakan Masjid Hibbah karena perlambang kerja sama yang kompak antara hamba dan padukanya. Proses pembuatannya merupakan pengorbanan segala pihak.
Sebenarnya, penilaian layak tidaknya sebuah bangunan dilestarikan bukan hanya karena pertimbangan nilai arsitektural murni, namun juga aspek sejarah, sosio-kultural, keilmuan, agama hingga politis. Karena satu per satu dari noktah kehidupan masa kini, lambat laun akan jatuh menjadi masa silam. Kita tak mungkin bisa memungkiri masa silam sebab di sanalah kita bisa melihat bagiamana rangkaian nasib dinukilkan. Masa silam bisa memperlihatkan filsafat hidup para pendahulu kita. Itulah jati diri nan sesungguhnya. Jika kita mengabaikan sejarah, martabatlah taruhannya. Sebab kita akan jadi insan yang tak tahu ujung pangkalnya, kehilangan makna tanpa bekas.
Akibatnya, kita jadi puak yang mengalami amnesia sejarah yang tak tertanggungkan. Penelitian terakhir yang dipublikasikan dalam jaringan di Proceedings of the National Academy of Sciences menunjukkan, amnesia dengan kerusakan pada hippocampus (bagian dari otak besar) berakibat pada tidak dapat membayangkan masa depan. Hal ini terjadi karena manusia tidak lagi bisa menggunakan pengalaman masa lalu untuk mengkonstruksi kejadian di masa depan. Karenanya, jangan pernah berharap kita akan jadi bahan rujukan. Raja Penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah senantiasa memandang masa silam tak sepenuhnya pupus. Sehingga ia pun berkata: ‘’Dalam beberapa hal, yang silam tetap berharga’’. Atau, haruskah kita menulis ulang sejarah?***