Jika kita sandingkan perlawanan yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai dengan perlawanan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol, maka perlawanan tiap ulama ini tampaknya memang telah timbul sebagai konsekuensi logis dari pendirian mereka sendiri yang tak mungkin menerima Belanda dengan tingkahlaku mencampuri anak negeri yang beragama Islam. Mereka bertiga tidak melakukan perlawanan atas satu komando atau satu pucuk pimpinan, tetapi melakukan perlawanan secara BERANTAI.
Hal ini ada hubungannya dengan usia dan persiapan mereka masing-masing membentuk prajurit dan membuat benteng. Karena itulah perlawanan Tuanku Imam Bonjol berakhir tahun 1837, maka perlawanan diteruskan oleh Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai segera datang memberikan bantuan. Setelah Rao jatuh, maka Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dengan basis di Mandailing, dan akhirnya bermuara di negeri Tambusai, Riau.
Itulah sebabnya perlawanan Tuanku Tambusai meskipun dapat dipandang sebagai lanjutan daripada perlawanan kaum Paderi, namun setelah tokoh Perang Paderi Tuanku Imam Bonjol (yang kira-kira sebaya dengan Imam Maulana Kari, ayah Tuanku Tambusai ) ditawan oleh Belanda pada 28 Oktober 1837, peperangan tidak berakhir. Apa yang terjadi justru kebalikannya. Jatuhnya Bonjol dan Rao dan tertawannya Tuanku Imam Bonjol, malah telah menyebabkan semakin hebatnya serangan dan tangkisan Tuanku Tambusai dengan pasukannya, sehingga Belanda hampir sampai kepada tingkat putus asa untuk menaklukkannya.
Tingkahlaku Tuanku Tambusai menentang Belanda telah berpangkal kepada DUA FAKTOR penting, yaitu agama dan tanah air. Keduanya menyatu sehingga berhasil memberikan semangat yang kuat dalam melakukan perlawanan menentang penjajahan Belanda. Dari kesadaran agamanya ulama pejuang ini telah timbul tanggung jawab dalam dirinya untuk menegakkan yang benar, sebab yang benar itu semata-mata hanya dari Tuhan.
Dalam pada itu, kebenaran telah sulit berlaku oleh kaum adat yang telah membuat ‘’adat tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas’’, yang berarti adat abadi bagaikan firman. Padahal adat sudah nyata hanyalah buatan manusia dengan potensi budayanya yang amat terbatas, dan tak bisa lepas dari salah dan dosa. Tradisi dan adat tetaplah bersifat baharu, sebab itu hendaklah disaring dengan kebenaran wahyu, sehingga yang tertolak hendaklah dibuang. Tetapi disamping itu kebenaran makin goyah oleh kehadiran Belanda, yang bukan hanya sekadar bersekongkol dengan kaum adat (yang mengutamakan hukum buatan manusia), tetapi benar-benar telah hadir sebagai penjajah, sehingga kehidupan umat terancam.
Dengan demikian, perlawanan Tuanku Tambusai telah membuat kategori: yang haq (benar) dan yang bathil (salah). Tuanku Tambusai bersama pengikutnya berada dalam kategori yang haq, sedangkan Belanda dan kaum adat berada dalam kategori yang bathil. Belanda dan kaum adat hendak berkuasa untuk kepentingan dunia yang identik dengan pemuasan hawa nafsu, sedangkan Tuanku Tambusai hendak memimpin umat menjadi hamba Allah yang berbuat baik untuk dunia dan akhirat.
Belanda dalam pandangan ulama ini tidak lain daripada sejenis thagut, penguasa yang mendewakan dirinya, suatu hal yang tak mungkin diterima oleh Tuanku Tambusai sebagai ulama yang hendak membersihkan akidah Islam dari tradisi yang syirik. Dari kategori itu, maka kematian di pihak Belanda dan para penyokongnya adalah kematian yang sia-sia, sementara itu kematian para pejuang pada pasukan Tuanku Tambusai adalah mati syahid, mati sebagai pemenang.
Dua kategori inilah yang membuat perbedaan yang tajam antara Tuanku Tambusai dengan pengikutnya berhadapan dengan Belanda bersama penyokongnya (seperti kaum adat dan beberapa tentara sewaan Belanda dari penduduk Indonesia sendiri). Perbedaan itu sekaligus telah mewarnai sikap dan tingkahlaku mereka, sebab dalam pandangan Tuanku Tambusai sebagai panglima perang pasukannya, memang tak mungkin mempertemukan antara yang haq dengan yang bathil.
(Islam dan Masyarakat Melayu, UU Hamidy)