Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Ari Golok Siang; Abi Tande Rora Konji Sakanca, Oleh : UU Hamidy
carousell.com

Ari Golok Siang; Abi Tande Rora Konji Sakanca, Oleh : UU Hamidy

Dalam zaman penjajahan Belanda, sejak Perjanjian Pendek 1912 sampai kedatangan Jepang 1942, anak negeri Rantau Kuantan (yang sekarang menjadi sebagian besar Kabupaten Kuantan Singingi) hampir tidak memperhatikan perjalanan hari, bulan, dan tahun. Pada masa itu, walaupun dipakai tahun hijriyah, tapi kebanyakan orang tua-tua hanya menghitung hari bulan dengan rumus ‘’Ahad-Ahad Selapan’’. Karena pada masa itu belum dikenal kartu tanda penduduk (KTP), maka kebanyakan anak negeri tidak mengetahui tahun kelahirannya, apalagi bulan dan hari.

Pengenalan tahun masehi baru mulai berlaku setelah dibuat almanak atau kalender yang kemudian diberi dengan nama ‘’tanggal’’.  Dalam satu tahun itu dibuat 365 lembar tanggal yang tiap lembarannya berisi nama hari, angka (bilangan), dan bulan. Maka tiap-tiap hari ditanggalkanlah satu kertas sehingga tahu lah orang sekarang hari, dan bulan. Meskipun demikian, yang punya almanak dengan tanggal ini hanya tauke-tauke orang keturunan China. Karena dia akan memantau dengan pedoman tanggal itu berapa perkembangan harga getah di Singapura melalui radio. Dari berita itu, tauke China ini akan menentukan berapa harga getah yang akan berlaku di Rantau Kuantan.

Keadaan ini sekali lagi menyebabkan kebanyakan anak negeri tidak mengetahui tahun berapa dia lahir. Maka peristiwa alam akhirnya dipakai sebagai pancang waktu untuk menentukan umur seseorang. Begitulah misalnya apabila orang bertanya tentang umur di Rantau Kuantan masa itu maka orang bertanya kepada yang bersangkutan : ‘’Pada waktu hari gelap siang (ari golok siang), kamu kira-kira berumur berapa tahun?’’

Kalau dia jawab misalnya dia berumur 15 tahun, maka berarti dia lahir 1915. Sebab hari gelap siang kalau tidak silap terjadi tahun 1919. Jadi kurang empat tahun umurnya dengan hari gelap siang gunung Marapi meletus itu.

Peristiwa hari gelap siang yang disebabkan oleh letusan gunung Marapi di Sumatera Barat ini yang membawa awan gelap ke Rantau Kuantan telah menyebabkan bermacam peristiwa anekdot di rantau itu. Di antaranya yang paling menarik ialah karena hari gelap siang oleh awan gelap tersebut berlaku beberapa jam, maka perhelatan perkawinan ketika itu tetap juga berlangsung.

Acara minum makan di rumah pengantin perempuan biasanya dilakukan setelah selesai sholat Jumat. Mempelai laki-laki diiringkan oleh kaum kerabatnya ke rumah pengantin perempuan, lalu di situ minum makan bersama sebagai peresmian pernikahan tersebut. Jamuan makan biasanya ditutup dengan makan konji yang terbuat dari bubur beras. Karena jumlah tamu cukup banyak maka konji dimasak dengan sebuah kanca.

Demikianlah, pada hari gelap siang itu, rupanya para tamu tetap makan konji dalam gelap tersebut. Yaitu pada daun pisang yang telah disediakan. Setelah beberapa saat hari terang kembali (siang), maka para tamu pada tertawa sampai bersorak dan terpingkal-pingkal karena melihat semua konji dalam kanca sudah tande rora (habis landas). Mereka berbuat demikian karena merasa gembira dapat makan puas konji dalam gelap tanpa malu-malu. Jadi tidak kelihatan bagaimana dia congok.***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *