Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi Maha Kaya. Segala yang diciptakan Allah diberi nama agar mudah dikenal. Begitulah, segala ciptaan Allah menjadi perbendaharaan ilmu pengetahuan. Karena itu untuk mengenal Allah diperlukan ilmu. Ilmu mengenal Allah yakni tauhid adalah ilmu yang utama dan punca daripada ilmu. Tanpa ilmu mengenal Allah, yang membuat aqidah manusia jadi kokoh, tidak akan punya iman dan pendirian yang tangguh. Itulah sebabnya orang kafir dan munafik tidak masuk surga karena meragukan bahkan menolak kebenaran Allah yang Maha Esa.
Maka tiap nama yang memberi petunjuk pada sesuatu punya arti atau nilai. Beberapa nama sudah tidak dikenal lagi karena dilupakan atau diganti dengan nama yang lain. Ada nama yang masih kita kenal tapi artinya tidak diketahui sehingga kita pandang tidak bernilai. Sesuatu menjadi tidak berharga karena artinya tidak dikenal.
Demikianlah nama pesukuan Caromin (cermin), Patayo dan Kampuang Tonga di negeri Siberakun (dijuluki juga dengan nama Nagori Pasak Malintang) boleh dikatakan tidak diketahui artinya lagi oleh warganya. Karena sudah lama nilainya tenggelam dalam kabut zaman. Padahal, untuk menghargai sesuatu kita perlu mengenal arti dan peranannya. Inilah yang menyebabkan warga pesukuan tersebut kehilangan harga diri sebab nama pesukuannya tidak diketahui apa maknanya.
Kalau kita teroka ketiga nama pesukuan ini, dapat tersingkap arti dan nilainya sehingga dapat lagi dipakai untuk membentuk harga diri menjadi akhlak mulia. Perhatikanlah kata Caromin. Cermin tidak sama dengan kaca. Kaca tembus pandang, sedangkan cermin membayangkan benda yang ada di depannya. Karena itu cermin kita pakai untuk mengetahui (memandang) wajah kita. Maka cermin memperlihatkan kepada kita bagaimana wajah kita. Wajah itu bisa baik, bisa buruk. Keadaan baik dan buruk itu akan mempengaruhi hati dan perbuatan. Itulah sebabnya cermin dapat dipakai untuk memperbaiki perbuatan dan hati nurani kita. Inilah nilai yang dipesankan oleh kata Caromin sebagai nama pesukuan. Pesukuan itu pada awal semula jadi menjadi alat oleh orang untuk melihat yang baik dan buruk.
Perhatikanlah rangkai gurindam ‘’Nan kurik kundi, nan merah saga. Yang baik budi, yang indah bahasa‘’. Yang baik budi yakni perbuatan yang bersandar kepada amal saleh. Yang indah bahasa yakni perkataan yang mengandung hikmah atau kebenaran. Pada ranah adat, kata cermin adalah perbuatan yang baik dan perkataan yang menyenangkan hati. Pada ranah syarak, kata cermin menyandang amal makruf nahi mungkar. Sementara amal makruf nahi mungkar berpijak kepada kategori haq batil, halal haram, serta dosa pahala yang semuanya bersandar kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Nama Patayo adalah nama tempat meletakkan damar yang menjadi alat penerang (lampu) pada malam hari tempo dulu. Dulu, sebelum dikenal minyak tanah sebagai bahan bakar pelita, orang pakai damar untuk menerangi rumah pada malam hari. Damar itu terbuat dari getah (karet) kurang lebih sebesar lengan anak kecil umur lima tahun. Disampul dengan kerisik agar mudah dinyalakan. Panjang atau tingginya lebih kurang 20 Cm. Damar ini ditegakkan pada patayo yang terbuat dari papan bujur sangkar lebih kurang 20 x 20 Cm. Patayo dapat diangkat atau dipindahkan ke mana perlu. Dengan demikian, nama Patayo sebenarnya mengandung arti sebagai alat untuk menerangi agar kita mudah melihat dengan baik. Atau agar sesuatu tampak jelas. Jika demikian halnya, maka warga pesukuan Patayo itu semestinya mampu memberi penerangan tentang baik dan buruk pada orang lain.
Dengan demikian, tampaklah pada kita nilai adat bersendi syarak pada kata cermin dan patayo sebagai nama pesukuan. Keduanya mengandung makna cahaya. Cermin membayangkan cahaya pada muka kita, apakah muka kita bersih (baik) atau kotor (buruk). Sedangkan patayo memberi cahaya pada kita sehingga dapat melihat atau membedakan yang baik dengan yang buruk. Jadi nama caromin dan patayo selaras dengan nilai agama Islam. Agama Islam itu dengan wahyu dari Al Qur’an dan As Sunnah memberi cahaya pada hati nurani manusia sehingga mampu memberi pedoman dalam kehidupan untuk mendapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sementara Kampung Tonga rupanya memberi makna keseimbangan, berada di tengah atau pertengahan. Ketahuilah, umat Islam juga dikatakan umat yang pertengahan. Kampung Tonga berada di tengah, tidak condong ke kiri atau ke kanan. Tetapi berdiri tegak lurus, maju ke depan menuju tujuan akhir. Posisi Kampung Tonga ini dibuktikan oleh hutan tanah yang dikuasai oleh pesukuan ini. Tanah pesukuan orang Kampung Tonga biasanya selalu antara tanah orang Caromin dengan orang Patayo. Dengan demikian, Kampung Tonga juga bisa menyandang arti keadilan, tidak memihak ke kiri atau ke kanan.
Demikianlah nama pasukuan Caromin, Patayo, dan Kampung Tonga sebenarnya telah menyampaikan pesan-pesan syariah Islam. Karena itu sudah selayaknya ketiga warga pesukuan itu mengambil tempat paling depan untuk menuntut ilmu tentang Islam dan mengamalkannya sebagai amal makruf nahi mungkar sehingga negeri mereka akan mendapat rahmat dari langit dan bumi oleh Allah yang Maha Kaya.***