Home / Bunga Rampai / Di Radio, Oleh : Purnimasari
Foto : pngtree.com

Di Radio, Oleh : Purnimasari

Apakah Tuan dan Puan golongan spesies yang akrab dengan radio? Jika ya, maka sepertinya Anda sudah tua atau mulai beranjak tua. Usia Anda boleh jadi telah lebih dari 33 tahun. Hanya anak-anak yang lahir paling lambat di tahun ‘90-an yang kemungkinan besar masih akrab dengan radio. Bebudak yang melihat dunia pada era 2000-an atau Gen Z boleh dikata sudah mulai renggang dengan radio.

Masa Taman Kanak-kanak (TK) kita mulai akrab dengan radio karena mulai belajar puasa. Raungan sirene di Radio Republik Indonesia (RRI) tiap Ramadhan menjelang Subuh telah diyakini ijma’ masyarakat sebagai tanda mulai berlakunya waktu Imsak.

“Cepat minum,” kata Ibu begitu sirene mulai berbunyi. Dua gelas air langsung diteguk dengan kecepatan penuh. Padahal, tubuh kita bukanlah unta yang punya prototipe bisa memiliki cadangan air. Akibatnya yang ada setelah itu justru bolak-balik ke kamar mandi.

Setelah tua, baru kita tahu bahwa ternyata sirene itu bukanlah penanda berakhirnya waktu sahur. Fajar Subuh lah penanda yang shohih. Itulah radio pasal yang pertama.

Masa Sekolah Dasar (SD), kita dibuai oleh sandiwara radio seorang pendekar yang memiliki kekuatan supranatural. Diselingi iklan obat mencret yang melegenda. Serial ini memukau jutaan pemirsa di serata pelosok Nusantara. Ditambah pula dengan langkanya hiburan rakyat pada masa itu.

Yang tidak punya radio, rela ramai-ramai pergi ke tetangga. Yang tengah bekerja, mau-maunya untuk memberi jeda. Bagi yang merasuk sampai ke jiwa, mereka rela membawa radio sampai ke kamar mandi hanya demi tak ketinggalan mendengar dialog si tokoh utama.

Setelah tua, baru kita tahu bahwa tokoh-tokoh imajinatif seperti itu sedikit banyak dapat mempengaruhi tauhid dan aqidah kita. Dukun, orang pintar, makhluk halus gentayangan sebenarnya adalah hal-hal yang harus kita jauhi. Itulah radio pasal yang kedua.

Masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), kita sudah kenal stasiun radio. Di mana markas dan pemancarnya. Itu karena sepupu yang sudah kuliah memberitahukannya kepada kita. Ada acara radio yang dinanti-nanti. Sebab di situ ada saudara yang mengirim salam kepada kita lewat kartu yang dibelinya di stasiun radio. Titip salam di udara, padahal kita tinggal serumah. Alahai.

Setelah tua, baru kita tahu bahwa hal-hal seperti itu dapat membuka tabir pertemuan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Jika ingin mendekati perempuan, langsung saja datangi ayah atau abangnya. Itulah radio pasal yang ketiga.

Masa Sekolah Menengah Atas (SMA), kita macam tak dapat hidup tanpa radio. Sambil bersiap-siap ke sekolah, radio sudah menyala. Ada siaran pagi-pagi yang menerangkan bahwa si Fulan atau si Fulanah sekarang telah berusia x tahun. Teman-temannya membeli kartu ucapan untuk dibacakan oleh sang penyiar.

Setelah tua, baru kita tahu bahwa bertambahnya umur bukanlah sesuatu yang harus dirayakan. Sebab pada hakikatnya justru kita makin dekat pada kematian. Itulah radio pasal yang keempat.

Masa merantau, kita menjinjing radio dari kampung halaman. Radio berubah menjadi salah satu ujung tombak informasi di era Reformasi. Ruang kuliah mendadak sepi. Angkutan umum tak beroperasi sehingga penatlah berjalan kaki. Diam di rumah kost sebab di luar penuh dengan huru-hara.

Setelah tua, baru kita tahu bagaimana harus menyikapi pemimpin. Negeri yang aman adalah salah satu nikmat yang tak terpemanai. Doakanlah para pemimpin. Itulah radio pasal yang kelima.

Lebih dari tiga dekade, radio tak lebih hanya sekedar pusat informasi dan hiburan. Hingga seorang insan memperkenalkan kepadaku bahwa radio juga tempat menuntut ilmu. Memberi makanan untuk jiwa. Berapapun usia, menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Tidak sempat datang bukan lagi alasan. Karena kini para guru telah hadir di radio. Kita hanya perlu meminjamkan telinga. Sambil mendengarkan, kita masih dapat sambil melakukan banyak hal.

Masa beranak dua, aku disuruh sering-sering mendengarkan radio. Yang menyuruh pun bukan tanggung-tanggung. Insan yang melahirkan dan merawatku : Ibu. Tapi hanya boleh mendengarkan satu siaran saja : Radio Hidayah 103,4 FM.

Tiap ke rumah Ibu, aku seringkali menjumpainya sedang mendengarkan siaran radio Hidayah. Papa pun akhirnya lama-kelamaan ikut ketularan. Mereka punya radio masing-masing. Jadi kalau Papa duduk-duduk makan angin di lantai atas, beliau tetap dapat mendengarkan siarannya. Keduanya bahkan memberikan hadiah radio untuk para kerabatnya.

Peneraju biduk rumahtanggaku pun mulai berubah. Tiap naik mobil, angka di saluran radio selalu menyala di frekwensi 103,4 FM. Pak Suami telah menjadi komplotan dalam kebaikan bersama Ibu Mertuanya.

Hingga sampailah pada suatu siang. Teriknya Pekanbaru panas bedengkang. Aku merasa siaran radio sungguh membosankan.

“Ustadz siapa ini Bang?”

“Ustadz Erwandi Tarmizi.”

.

“Ngantuk kali mendengarnya.”

“Hmmmm.”

.

“Boleh pindah siaran?”

“Coba dengar dulu. Ini bagus pembahasannya.”

.

“Dari tadi ceritanya riba-riba aja.”

“Justru itu menariknya.”

.

“Abang anak akuntansi tentu iya. Suka angka-angka. Kalau aku sukanya kata-kata.”

“Hmmmm.”

.

Tapi apa daya ya didengarkan juga. Rasanya malah tambah mengantuk. Namun Pak Supir di sebelah begitu antusias.

Lalu pergi pula jalan membawa bebudak. Lumayan jauh. Siaran radio sudah jauh di luar jangkauan. Ternyata oh ternyata si kawan tidur sudah menyiapkan dua flash disk bermuatan gergasi. Penuh dengan rekaman kajian. Macam-macam ustadz pun ada. Akhirnya 10 jam perjalanan pulang dan pergi dihabiskan dengan mendengar kajian. Judulnya pun mantap-mantap. Makin didengar, makin terasa bodohnya diri ini. Itulah radio pasal yang keenam.

Dari mendengar radio, aku diajak Ibu dan Pak Suami ke pengajian. Mereka berdua ini benar-benar partner in kebaikan. Raun-raunlah kami dari masjid ke masjid. Dari tabligh akbar ke tabligh akbar. Dari kajian rutin ke kajian rutin. Kalau kajiannya khusus muslimah, Pak Suami siap siaga antar jemput pulang pergi. Pokoknya ngaji. Baiklah kalau begitu. Entah mengapa hamba ini hanya menurut.

Pertama datang kajian memang lain pula rasanya. Jatuh tapai melihat banyak yang berniqob dan bercadar. Tapi kata Ibu santai saja. Aku tengok Ibu rajin mencatat. Tulisan tangan tegak bersambung di buku tulis yang tebal.

Radio telah mengubah banyak hal. Menjungkir-balikkan pikiran. Memutar-balikkan perasaan. Menambah sudut pandang. Memperkaya jiwa. Mendengarkannya seakan menjadi suatu rutinitas yang candu. Terasa ada yang hilang ketika tak dilakukan. Ada yang kosong dan meronta minta diisi.

Kini, dua insan yang gigih mengajakku untuk mendengarkan radio telah tiada. Mereka seperti berjanji untuk sama-sama pergi dalam kurun waktu yang tak terpaut lama.

Setelah Idul Fitri, aku ditemani si sulung untuk mengemas barang-barang di kantor Papanya. Di dalam laci kami temukan sebuah radio berwarna hitam dan merah. Radio yang dulu sering diputar rahimahullah ketika sedang bekerja.

Kini tak hanya ada radio Hidayah. Sudah ditambah pula oleh radio Robbani 91,1 FM. Alhamdulillah kian banyak tausiyah. Tinggal kita mau mendengarkan atau mengabaikan. Itulah radio pasal yang ketujuh.***

Check Also

Marsuman lah Orangnya, Oleh : Yusmar Yusuf

Dia lah peletak dasar kesadaran Melayu di benteng peradaban bernama Universitas di Riau.  Mungkin dianggap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *