Siapa di sini peminat tegar cerita orang tua-tua? Sejak dahulu kala aku sering diajak Papa bertemu dengan kawan-kawannya. Kerap kami pergi dua beranak saja. Pulang malam-malam naik Vespa.
Tentu saja tidak semua perbincangan mereka dapat dimengerti oleh bebudak yang masih salemo a.k.a. ingusan. Namun rasanya enak saja boleh ikut dalam majelis itu. Walau hanya duduk sebagai pendengar setia.
Kemarin, aku mengulang kembali memori itu.
Dua sahabat ini sudah berkawan sejak balita. Nun di Kenegerian Siberakun, sebuah kampung kecil di tepi Batang Kuantan, Kuantan Singingi. ‘Arisan’ bulanan ini sudah rutin dilakukan sejak kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Biasanya diadakan awal bulan, seiring dengan jadwal mengambil uang pensiun. Hari yang dipilih biasanya adalah Rabu. Tempat bebual tidak pernah bertukar ganti : Pohon Kopi Tanah Merah.
Anehnya, saat di dalam mobil, yang seorang duduk di belakang. Sehingga kawannya yang seorang lagi macam seperti seorang supir. Ketika ditanya mengapa duduk di belakang, dengan entengnya dia menjawab, “Den (aku) kan tauke,” katanya terkekeh.
Walaupun bebual hanya berdua, sungguh macam-ragam cerita yang diputar. Mulai dari cerita zaman ‘purba’, zaman Belanda, era Jepang, Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang. Mulai dari genre horror hingga komedi. Siapa-siapa saja ongku (tengku) yang mengajar di Sekolah Rakyat. Siapa yang menang adu gasing. Makan ubi gadung di zaman penjajahan. Dan segala kisah-kisah tua. Tapi, di antara perbualan itu, tetap tersisip hal-hal ruhaniah. Mana hadits yang shahih. Mana amalan yang ada dalilnya. Bagaimana tauhid adalah tiket masuk surga.
Salah satu cerita horror terjadi setelah agresi Belanda. Rakyat marah kepada orang China karena mereka dipandang lebih enak hidupnya. Mereka tidak kena kerja paksa. Maka barang-barang di kedai-kedai China pun dirampas. Mereka ditenggelamkan di Batang Kuantan. Anak beranak dimasukkan ke dalam perahu lalu dibenamkan di tengah sungai. Masa itu orang sampai tak berani mengambil air di Kuantan. Sungai bau bangkai manusia.
Kian senja usia, dunia terasa kian lengang. Dari semua orang sebaya mereka saat sekolah, kini hanya tinggal mereka berdua. Yang lain semua sudah ‘berangkat’. Ketika tua, makin banyak nikmat yang dicabut. Tak bisa lagi makan yang keras-keras karena khawatir gigi lepas. Lutut sudah sakit-sakit hingga berjalan pun sulit.
Seorang di antara mereka berkata, “Purni, kalau sudah tua tu, kita hanya ingin disayang. Dunia ni sudah tak terikutkan lagi. Kalaupun ada, tinggal menerima ‘bagian batang’. Itu pun kalau ada.”
‘Bagian batang’ adalah tamsil yang indah. Ibarat orang berkebun getah, di masa muda dulu mereka lah yang menanam karetnya. Kini sudah tua, mereka tak sanggup lagi menakik. Tapi jika kebun itu masih menghasilkan, tentu mereka lah yang paling layak dan pertama yang menikmati hasilnya.
Yang seorang pula berkata, ada teman sebaya mereka. Sudah ditinggal mati oleh istrinya. Anaknya lumayan banyak, lebih dari lima orang. Namun tak ada seorang pun yang bersamanya. Semua pergi merantau. Maka temannya itu minta anak-anaknya tadi bergantian untuk meneleponnya. Bukan setiap hari. Cukup hanya sekali seminggu. Tapi hasilnya nihil.
“Alhamdulillah, tinggal lah kami dua tonggak ini lagi. Yang seorang masih dapat menyetir, sehingga boleh lah yang seorang lagi menumpang. Dapat lah berjumpa sekali sebulan. Makan mie sagu dan goreng ubi kayu. Makan ubi tu serasa makan ubi di Guloan (nama tempat para bapak mereka dulu berkebun di tepi rimba belantara).” Lalu mereka berdua tertawa.
“Kalau tak ada kawan, tentu kami sudah termenung macam beruk. Duduk di depan rumah. Lalu diimbau orang yang lalu, “Sedang apa tu (Da)Tuk?’.”
“Kami hanya ingin, bila-bila kami pergi, Allah memberi kami husnul khatimah. Tidak menyusahkan kalian.”
Ma syaa Allah. Entah siapa di antara kita yang akan lebih dulu pergi. Bisa saja itu kami yang secara usia lebih muda. Dan doa yang terakhir itu juga adalah doa yang kumunajatkan.
Masih punyakah engkau pintu surga? Masih lengkap ataukah sudah ada yang pergi? Atau bahkan sudah tiada sama sekali? Jika masih ada, berbaktilah sedaya-upaya. Doanya untukmu adalah mustajab. Kalau sudah menghadap-Nya, senantiasalah berdoa untuk mereka. Itulah yang paling dinanti-nanti oleh mereka di alam kuburnya.***