Dia lah peletak dasar kesadaran Melayu di benteng peradaban bernama Universitas di Riau. Mungkin dianggap sebagai tahayul dan bid’ah akademis kala itu oleh sebagian besar akademisi di kampus yang semestinya menjulang tradisi keilmuan Barat. Namun, sosok ini tanpa rendah diri mengusung Melayu sebagai tema besar pembelajaran kepada mahasiswa di Jurusan Bahasa Indonesia FKIP UNRI era awal 80-an.
Satu sisi, pembelajaran yang lengkap dengan buku teks tulisan sendiri yang diangkat dari tema-tema besar riset grounded menjadi kebanggaan anak Melayu Riau kala itu, di tengah kepungan referensi serba Jawa dan Minangkabau yang menghias toko-toko buku Pekanbaru. Di sisi lain, ada semacam cemoohan dari pihak yang menganggap kajian-kajian mengenai Melayu seakan menarik mundur ke lorong waktu yang tak berkesudahan; tanpa ujung dan dasar sumur. Hanya semacam apologia sejarah. Dia lah Marsuman, yang dalam lantun perjalanan intelektualnya terkesan soliter, asyik beristana di ‘langit angan’ kemelayuan sembari mengenderai awan-gemawan yang jadi cemeeh dan gelak tawa makhluk bumi. Dia seakan sosok wali majenun, menenteng sesuatu yang tak sewajarnya dihadirkan pada sebuah zaman.
Dia juga seakan terbuang oleh kaum terpelajar dari kampung asalnya sendiri (Rantau Kuantan). Karena secara berani menabalkan diri terhadap manusia-manusia yang menghuni tegak lurus batang Kuantan dan semestanya sebagai Melayu. Dia adalah sosok yang membangun bid’ah dan sebuah kecerobohan budaya, sekalian mengundang aib bagi intelektualisme Kuantan. Namun sosok ini dapat applaus (tepuk tangan), decak dan acungan jempol dari kaum kerabat Melayu pantai-pantai dan pulau-pulau, sembari mencurigai bahwa Marsuman tak lebih dari seorang penawan dan menyeret-nyeret Melayu dalam gaya Kuantan dan mendakukan Rantau Kuantan sebagai satu dari sekian bilik dan kamus Melayu. Ini bukan pekerjaan mudah. Hidup dalam cemoohan zaman (yang sebenarnya zaman itu sendirilah yang gelap dan gulita).
Dia seakan sosok yang mengusung obor di tengah benderang siang. Sambutannya? Ya cemoohan. Dan layak dicemooh. Nama glamournya adalah UU Hamidy. Disapa akrab oleh para muridnya cukup Pak UU. Dia sosok yang berwibawa karena rengkuhan keilmuannya. Dia adalah putera sang fajar Melayu. Lahir dalam badai “kehampaan sejarah”. Tulisan-tulisannya penuh analogi, aforisme dan pembelaan tajam tentang siapa dan apa akar Melayu. Dia pemberi sekaligus penyergah semangat Melayu. Tepatnya dia sosok penggoda Melayu yang amat flamboyan sekaligus arkhais.
Sebuah zaman memang tegak dengan garis kemasygulannya sendiri. Begitulah era 80-an, seorang intelektualisme Melayu yang lahir dari keluarga miskin dan khatam menjalani kemiskinan semenjak tangga sekolah di Jambi dan Malang hingga Kuala Lumpur. Dia ‘memeram’ diri sehingga matang dan tiba kalanya menyergah kemiskinan yang diidap Melayu; bukan kemiskinan harta. Tapi kefakiran ilmu dan hikmah. Setiap apa yang dituturnya adalah sejumlah hikmah.
Setiba buku berjudul “Bukan Saya Orangnya” di tangan, dikirim via Griven, saya menyimak setiap baris penulisan UU Hamidy dengan iringan air mata Melayu yang tak pernah menyesal menjadi Melayu. Saya berhutang ilmu yang terlalu dalam dan melampau dengan sosok Marsuman ini. Sebagian besar kisah nukilan peristiwa yang terhidang dalam buku itu, pernah ditutur langsung oleh beliau kepada saya. Namun, daya pukau dan daya hentak ketika ditransmutasi menjadi tulisan, teks-teks itu memiliki ‘nyawa’. Dan begitulah Pak Hamidy yang saya kenal sejak muda; sempurna tutur bariton menggelegar, kemas alur tertib wicara, kemilau dalam jahitan kata-kata di atas kerimbunan huruf. Dijahit menjadi “kata-kata cahaya”, sekaligus “cahaya kata-kata”. Mungkin saja Pak Hamidy tak pernah mengenali saya, sebab saya bukan mahasiswa beliau. Namun saya menerkam tulisan dan wacana beliau baik lewat buku, tulisan di koran dan telaah beliau dalam peristiwa kesenian dan sidang seminar kebudayaan dalam beragam level.
Saya berteman rapat dengan Hasan Junus dan sejumlah penyair muda. Posisi saya hanyalah pembahas dan teman dialog. Percikan pemikiran UU Hamidy, selalu dibahas dalam sidang mini dengan rekan-rekan kreatif seperti BM Syam, Idrus Tintin, Ediruslan, Hasan Junus. Murid-murid langsung beliau; Al azhar, Dasri, Syafruddin Sei Gergaji, juga Taufik Ikram Jamil,memposisikan Hamidy selaku mursyid dalam telaah Melayu. Sepulang dari Universiti Malaya, Hamidy kian kemilau. Diserbuk tradisi akademik British yang kawi di UM, setidaknya Hamidy memposisikan diri selaku ‘perisau Melayu’ yang menukik dalam kajian sosial-budaya dan kesejarahan rantau Melayu. Dia jadi kembang mempesona di Aceh selama menggali “Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh”. Diterbit oleh LP3ES yang amat wangi. Kerjasama dengan lembaga riset nasional dan dunia, sebuah kemilau lain yang jarang terengkuh oleh sebagian besar dosen di UNRI era 70-80-an. Hamidy, sosok intelektual garda depan.
Penampilan kesehariannya? Wah jauh gambaran gagah nama besarnya. Nukilan kisah yang menyembur dari ketulusan jiwa seorang intelektual dalam buku “Bukan Saya Orangnya”; benar-benar tipikal manusia Melayu yang tak mendaku-daku, jauh dari mewah, teramat sederhana, apa adanya. Tak membangun kesan gerun oleh emblem-emblem superfisial dan artifisial. Wibawa seorang Hamidy, terjun dari keluasan ilmu dan hikmah yang menyamudera di dalam jiwa dan minda. Muchtar Ahmad, pulang dari Jepang. Dan Hamidy mendapat rekan tanding diskusi yang mencerah. Tipikal dua sosok ini sama-sama ‘pemberontak’ zaman. Mereka membangun jalan pedang “kesadaran Melayu” dalam kemewahan intelektualisme. Saya sengaja menulis esai ini sebagai tanda hormat dan tabik teramat ranggi kepada sosok Marsuman. Sampai-sampai suatu ketika saya pernah berbisik kepada Griven, sosok besar Pak Hamidy ini jangan lah pula ditulis oleh orang-orang sembarang. Dan saya pun mendatangi figur ini dengan sejumlah kedunguan hampa.
Tahun 1993, saya didorong oleh Muchtar Ahmad menerajui Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu UNRI. Dan kian bangga, setelah saya mengetahui dari penuturan Muchtar, bahwa Pak UU Hamidy mendukung saya sebagai teraju di Pusat Kajian yang baru lahir itu. Persaingan untuk jabatan itu adalah murid langsung beliau Dasri al Mubari (alm). Dan, saya pun “bukan orangnya”…. ha ha ha … ***
Untuk tulisan Yusmar Yusuf lainnya, silakan kunjungi laman yusmaryusuf.com