Standar seragam sekolah negeri kini sedang hangat dibicarakan. Konon ada usul akan dikembalikan seperti seragam sekolah zaman dulu. Siswa SD dan SMP mengenakan celana pendek. Yang siswi pakai rok selutut. Subhanallah…
Dahan ingatan hamba yang dhaif ini seakan terbang ke era ‘90-an. Tepatnya pada tahun ajaran 1991/1992. Itulah untuk kali pertama, pemerintah membolehkan para siswi mengenakan jilbab di sekolah negeri. Di negara yang mayoritas rakyatnya adalah muslim. Sebelumnya, hanya siswi sekolah agama seperti MTsN dan MAN yang boleh berhijab ke sekolah.
Kebijakan ini—selain membahagiakan bagi yang muslim—juga ditafsirkan dengan bermacam cara. Salah seorang siswi di kelas kami, yang termasuk langganan juara kelas, memutuskan untuk berjilbab. Ketika itu, dia masih tetap mengenakan rok selutut. Kakinya ditutup dengan kaus kaki super panjang seperti pemain sepakbola. Jadi betis dan lututnya tidak kelihatan. Walaupun tentu saja kaus kaki itu melekat erat membentuk lekuk kakinya. Bajunya diganti dengan lengan panjang. Pakai jilbab segi empat. Mungkin, kaus kaki bola dijadikan pilihan karena ketika itu kami sudah dekat lulus SMP. Agaknya sayang juga menempah lagi rok panjang. Masuk SMA sudah seragam baru lagi.
Respon para guru ketika itu ada juga yang terkejut. Anak masa puber tapi sudah berikhtiar menutup aurat. Zaman di mana, ketika itu cikgu yang mengenakan baju kurung ke sekolah biasanya hanyalah guru agama. Kepala ditutup sehelai selendang yang disangkutkan di leher. Maka jadilah temanku itu ibarat seekor burung gagak putih di tengah sekumpulan burung gagak hitam.
Lulus SMP, alhamdulillah diberi hidayah oleh Allah untuk ikut berjilbab. Saudara sepupu yang ketika itu kuliah di UGM menjadi sebab timbul keinginan untuk menutup aurat. Ketika itu, masih susah mencari toko penjual busana muslim di Pekanbaru. Alhamdulillah Allah beri kelapangan untuk membeli keperluan berhijab di Toko Al Fath di Jalan Malioboro, Jogja. Toko ini masih ada sampai sekarang. Jilbab langsung jadi dari bahan kaos seperti yang mudah ditemukan sekarang, dulu dapat dibeli di toko itu. Jilbab segi empat berenda dan aneka ciput yang susah ditemukan di Kota Bertuah, di sana melimpah-ruah.
Di masa itu, kalau kita berjilbab, siap-siaplah dipanggil dengan sapaan “ninja”. Kadang pula disapa dengan “assalamualaikum”. Kalau tak dijawab, katanya kita berdosa. Tapi kalau dijawab, panjang pula masalahnya. Ketika itu, di SMA, sudah mulai banyak siswi berjilbab. Walaupun rata-rata jumlahnya baru sekitar 3 orang untuk tiap kelas.
Masalah mulai timbul ketika hampir lulus SMA. Saat itu keluarlah peraturan yang sungguh tidak masuk akal. Bagi siswi yang berhijab, harus foto buka jilbab untuk Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dan Nilai Evaluasi Murni (NEM). Walaupun sudah kurang lebih empat tahun jilbab dibolehkan, tapi urusan pasfoto tetap harus buka tutup kepala. Demi taat pemerintah dan demi ijazah, maka terpaksalah para siswi berjilbab ketika itu harus buka hijab demi selembar pasfoto. Dulu, hampir semua mat kodak adalah lelaki.
Ternyata masalah belum selesai dengan buka jilbab. Hamba yang dhaif ini tiba-tiba dipanggil ke majelis guru. Setelah usul periksa, awak rupanya diisuruh foto ulang. Apa pasal? Alasannya foto yang pertama tidak tampak telinga. Sementara syarat ganjil lainnya adalah pasfoto wajib tampak telinga.
“Apa hubungan siswi berjilbab harus foto tampak telinga? Apa dipikirnya orang yang pakai jilbab itu karena tidak ada telinga?” tanya Ayah yang sudah mulai temberang. Entahlah. Hanya Tuhan dan pemerintah yang tahu. Yang jelas, awak wajib bekodak sekali lagi. Siap laksanakan!
Saat hari H, si fotografer bingung bukan kepalang. Karena setelah ditelisik dengan kacamata pembesar, memang qaddarullah telinga budak ini agak merapat ke kepala. Tidak model gambang yang daun telinganya tipe melebar keluar. Tetapi meskipun demikian, alhamdulillah telinga ini tetap stereo oleh Allah sampai sekarang.
Mat Kodak mulai mengeluarkan jurus ampuh. Mulai dari pakai jepit rambut, sampai belakang telinga ditopang pakai kapas agar si daun pendengaran agak lebih kelihatan. Hampir tengah hari, tiada satu pun yang mangkus. Ya Allah, ya Rabbi. Baik si tukang foto maupun si fotomodel sama-sama sudah penat lahir batin.
Setelah klise foto dicuci, nyata sudah foto pertama dan foto kedua hampir tak ada bedanya. Sebelas duabelas saja. Tetap saja daun telinga budak tu tak tampak. Dah memang begitu cetakan dari Allah. Apa lagi yang nak dibuat. Jadilah pasfoto lulus SMA dengan gaya tidak tampak telinga.
Jadi, buat Tuan dan Puan yang hari ini ingin seragam sekolah negeri dikembalikan seperti dulu lagi, mohonlah dipikir-pikir kembali. Bukan senang oi, pasal boleh tidaknya berjilbab ni.
Tidakkah geli hati kalian, melihat bebudak SMP yang sudah keriting bulu kakinya, tapi masih juga disuruh mengenakan celana pendek. Bagi muslim lelaki, aurat itu sampai di bawah lutut. Sementara seragam masa dulu adalah celana pendek di atas lutut. Sanggupkah kalian menanggung dosa jutaan siswa muslim yang terpaksa pakai celana pendek lagi? Belum lagi dosa para muslimah dan para ayah yang anak gadisnya kembali terpaksa pakai rok pendek. Yakin?
Cukup siswa tahun ‘90-an saja yang dulu harus pasfoto buka jilbab dan wajib tampak telinga. Haruskah cara berpakaian kita mundur ke 30 tahun yang lalu? Yang di masa ini, cara 30 tahun yang lalu itu saja juga sebenarnya masih banyak yang menyelisihi syariat. Yakin?
Semoga Allah lembutkan hati kita dan memberi kita hidayah.***