Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Kebenaran dan Kekuasaan dalam Demokrasi, Oleh: UU Hamidy

Kebenaran dan Kekuasaan dalam Demokrasi, Oleh: UU Hamidy

Allah Swt Maharaja umat manusia telah menegaskan bahwa yang hak niscaya menghancurkan yang batil. Ini amat mendasar. Karena alam semesta ini diatur oleh Allah dengan kebenaran, bukan dengan batil. Karena kebenaran inilah maka hak menentukan hukum hanya merupakan hak Allah. Kebenaran dan hukum dari Allah itu menjadi pangkal keselamatan bagi umat manusia. Menolak kebenaran dan hukum dari Allah akan berakibat rusaknya tatanan kehidupan alam semesta, sehingga umat manusia akan menderita oleh malapetaka yang tiada terhingga. Tapi malangnya, manusia yang bodoh lagi pembangkang itu tetap juga lebih percaya kepada akalnya yang terbatas. Sedangkan akalnya hanya diberi ilmu sedikit oleh Allah. Akibatnya, akal manusia dengan mudah diperalat oleh hawa nafsunya. Manusia mengira dia menyayangi dirinya. Padahal sebenarnya dia menyayangi hawa nafsunya, sehingga dia oleh nafsunya terjerumus ke dalam malapetaka dan kejahatan.

Perhatikanlah bagaimana tingkahlaku manusia mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan itu semestinya diambil dengan jalan yang benar, yakni dengan memakai syariah Islam seperti dipandu oleh Alquran dan as-Sunnah. Kekuasaan itu hendaklah dilaksanakan sebagai perintah Allah untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Menghalangi penindasan dari satu pihak kepada pihak lain, sehingga kaum yang lemah sosial dan ekonomi tidak dizalimi oleh yang berkuasa atau oleh pihak yang kaya. Inilah tujuan kekuasaan dalam bingkai beribadah kepada Allah. Tetapi kenyataannya, kebanyakan umat manusia lebih suka memperoleh kekuasaan dengan jalan demokrasi, yakni melalui aturan buatan manusia. Karena aturan yang dibuat demokrasi tidak mau memperhatikan hukum Allah, maka hukum buatan demokrasi itu tidak dapat memberikan kebenaran dan keadilan kepada umat manusia. Hukum yang dibuat oleh sistem demokrasi itu malah menentang hukum dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga akibatnya malah menjatuhkan martabat umat manusia, bagaikan lading makan sarung atau senjata melawan tuannya.

Lihatlah betapa cerobohnya kekuasaan yang ditampilkan oleh demokrasi. Untuk mendapatkan uang dengan cepat, maka pemerintah demokrasi melepas sumber-sumber alam kepada para pemilik modal. Akibatnya, sumber-sumber alam itu terkuras dengan cepat, sementara nasib rakyat tetap tidak terurus. Karena kekayaan sumber alam itu tidak dikelola dengan kekuasaan yang benar –yang dipandu oleh syariah Islam– maka negara terpaksa berhutang. Negara demokrasi tidak pula berhutang menurut aturan yang benar, tetapi berhutang dengan sistem ribawi. Maka tak pelak lagi, sudahlah sumber alam tergadai dan terkuras kepada pihak kapitalis namun hutang tak berkurang, malah bertambah. Karena itu kekuasaan pemerintah demokrasi tersebut makin lama makin lemah kemampuannya memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Pemerintah demokrasi itu diperalat oleh pemilik modal, sehingga bukan berbakti kepada rakyatnya, tetapi kepada bosnya. Maka tak heran rakyatnya semakin benci sehingga tiap akan diadakan Pemilu dicari berbagai tipu muslihat, agar rakyat dapat lagi ditarik perhatiannya.

Perhatikanlah betapa konyolnya kekuasaan pemerintah yang bergantung kepada hukum buatan demokrasi, yang sebenarnya hanya bagaikan bergantung kepada jaring laba-laba. Pemerintah demokrasi mengira bahwa rumahnya adalah yang terbuat dari batu bata, pasir, semen, besi angker serta beberapa bahan lainnya. Dia tak menyadari bahwa rimba belantara yang terpelihara itulah sebenarnya rumah kepunyaan bersama dalam masyarakat dan negara. Sebab rimba belantara yang terpelihara itulah yang dapat memberi suasana nyaman, udara yang sejuk lagi bersih, kicau burung yang indah serta pemandangan yang selalu mempesona sepanjang masa. Rumah beton walau sampai berapa tingkat, tidak ada nilai kenyamanannya jika tidak ada rimba belantara yang lestari. Karena rimba belantara tidak disadari sebagai rumah besar milik bersama dalam masyarakat dan negara, maka belantara itu dijual oleh pemerintah hasil pemilihan umum demokrasi, kepada cukong atau pemilik modal. Pemilik modal menghancurkan rimba belantara untuk kepentingan perusahaannya. Akibatnya, timbullah kebakaran di mana-mana, cuaca yang berkabut, udara yang kotor, panas terik yang tak berkurang, banjir dan berbagai bencana penyakit terhadap manusia dan binatang.

Kerugian dan juga penderitaan yang didatangkan oleh bencana rusaknya rimba belantara itu benar-benar tak seimbang dengan pajak yang diberikan oleh perusahaan yang merusak belantara tersebut. Dalam hal ini sekali lagi dapat dilihat betapa bodohnya logika pemerintah demokrasi yang bersifat bendawi itu. Allah telah memberi pesan lewat Alquran bahwa kekuasaan harus tunduk kepada kebenaran. Jika tidak, kekuasan hanya akan menjadi perabot syetan sehingga mendatangkan bencana. Keadaan ini pernah tergores oleh pena Raja Ali Haji pengarang Melayu yang piawai itu dengan rangkai kata, ‘’selaksa pedang yang terhunus (kekuasaan) dengan segores kalam jadi tersarung (kebenaran)’’. Pesan itu disambung lagi oleh pena Usman Awang dalam baris sajaknya, ‘’tajam keris raja (kekuasaan) tajam lagi pena pujangga (kebenaran)’’.

Napoleon Bonaparte ternyata tidak gentar menghadapi lawan yang punya pasukan tentara yang besar. Napoleon lebih menakuti suratkabar yang dapat menjelaskan kebenaran fakta kepada khalayak. Kebenaran fakta kepada khalayak akan menimbulkan perlawanan yang belum tentu dapat ditaklukkan dengan ribuan bayonet. Kemudian kitab Panca Tantra juga memberikan sindiran dalam bentuk anekdote, bagaimana kekuasaan yang tidak berpijak kepada kebenaran niscaya mendatangkan malapetaka. Memberikan kekuasaan tanpa kebenaran bagaikan menyerahkan sebilah pedang kepada seekor kera. Seorang raja memilih pengawal seekor kera karena memandang kera itu patuh, sedangkan manusia sering membantah. Maka raja menyerahkan sebilah pedang kepada seekor kera sebagai senjata penjaga sang raja. Setelah itu raja pun tidur dijaga oleh kera dengan sebilah pedang. Ketika seekor lalat hinggap di bibir sang raja, kera segera menebas lalat dengan pedang. Lalu apa yang terjadi? Lalat tidak kena oleh pedang, tapi sang duli tuanku disambar malaikat maut. Perhatikanlah kisah ini wahai penguasa yang punya hati nurani! ***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *