Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Jejak Langkah Pemangku Adat Bersendi Syarak Memegang Teraju Adat di Rantau Kuantan Tempo Dulu, Oleh : UU Hamidy
Foto : Dokumentasi Bilik Kreatif

Jejak Langkah Pemangku Adat Bersendi Syarak Memegang Teraju Adat di Rantau Kuantan Tempo Dulu, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Bijaksana telah memberi kurnia pada manusia berupa mata, telinga, dan hati nurani sebagai wadah untuk menerima hidayah. Dengan tiga kurnia itu manusia dapat mengenal tuhannya, agama, dan nabinya. Dia harus punya tauhid hanya Allah yang berhak diibadahi dengan benar, tiada Tuhan selain Allah. Hanya Islam agama yang diterima di sisi Allah. Islam memberi dasar panduan haq bathil, halal haram, serta pahala dosa. Haq bathil adalah pegangan tauhid dan aqidah. Halal haram pegangan perbuatan dan perkataan untuk akhlak mulia. Sedangkan pahala dosa adalah buah daripada perkataan dan perbuatan. Akhlak mulia akan menjadi timbangan yang berat dalam amal shaleh di akhirat.

Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyampaikan syariat Islam berupa Al-Qur’an dengan As-Sunnah melalui perkataan dan perbuatan sehingga Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi panduan hidup umat manusia. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan syariat Islam kepada para sahabat dengan pribadi agung akhlak mulia sehingga para sahabat menjadi umat terbaik di muka bumi. Karena itu kalau mau selamat dunia akhirat teladanilah para sahabat yang telah ridha kepada Allah dan Allah pun ridha pula kepada mereka.   

Demikianlah, setelah orang Melayu di Rantau Kuantan memeluk Islam sebagai rahmat alam semesta maka tersusunlah masyarakat adat bersendi syarak. Semula puak Melayu Rantau Kuantan diatur dengan adat bersendi seiya sekata; kokoh pada janji, teguh pada perbuatan. Kemudian adat ini bersendi pada syarak yakni syariat Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah tali teraju kepemimpinan yang dipegang oleh para datuk memelihara masyarakat Rantau Kuantan dengan julukan Rantau Nan Kurang Oso Duo Puluah.

Sekarang marilah kita perhatikan beberapa tipologi kepemimpinan para datuk memegang teraju adat bersendi syarak itu. Pertama, kepemimpinan urang godang dengan gelar Datuk Paduko Rajo yang duduk di Lubuk Ambacang dengan julukan Ropang Tasirek Cuban Tagantuang. Dia memimpin bagaikan menyirat jala, harus hati-hati bagaikan menyirat (ropang) pada bengkalai (cuban) jala yang tergantung. Sang pemimpin atau datuk harus bertanya sebelum suatu perkara selesai kepada orang yang lebih tahu tentang adat dan syarak agar kepemimpinannya berhasil baik. Belakangan Datuk Paduko Rajo digantikan oleh Datuk Timbang Tail yakni pemegang teraju kepemimpinan yang mampu menyelesaikan perkara (timbang) sampai pada masalah yang kecil (tail).

Lubuk Jambi dapat julukan Si Gajah Tunggal berada di bawah kendali Urang Godang Datuk Habib. Inilah negeri yang punya kemampuan mengatur negerinya sendiri sebab dipimpin oleh habib yang punya hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia mampu karena punya alat yang kuat bagaikan gading dan belalai pada gajah serta tenaga yang tangguh bagaikan gajah yang besar. Jadi dia memang pemimpin yang arif bijaksana serta perkasa. Karena dia seorang pemmimpin yang handal maka dia harus membantu orang lain menyelesaikan berbagai peri kehidupan.

Negeri Kari disebut dengan sanjungan Sumuar nan Joniah, Boke Bauji Ome kek Batu. Inilah negeri untuk mengetahui seseorang itu terpandang atau orang biasa yang hina, orang yang jelas asal-usulnya atau tidak. Di sinilah orang yang punya daki, karut, dan kotoran dibersihkan dengan air yang jernih yakni nilai-nilai adat bersendi syarak. Bagaikan orang membersihkan emas dengan kalam diangkat lancung dibuang, kemudian diuji pada batu.

Negeri Toluak dapat nama timang-timangan Kasayan Rapek, Boke Batintiang Dodak di Nyiru (Kesayan Rapat Tempat Menapis Dedak pada Nyiru). Inilah tempat duduk teraju adat bersendi syarak Urang Godang Datuk Bisai. Dia disebut Bisai karena dialah yang bisa memimpin bagaikan kita mengisai memisahkan beras dengan antah. Itulah asal kata bisai dari kata kisai dengan kesayan sebagai alat pengisai. Warga masyarakat dapat dikisai (diseleksi) oleh Datuk Bisai bagaikan menapis (meninting) dedak dengan nyiru sehingga dapat beras yang bersih (baik).

Negeri Kopah tempat duduk Datuk Lelo Pitaro, pemegang teraju adat yang banyak (kuat) pertolongannya. Datuk Lelo Pitaro dengan rakyat Kopah amat suka menolong orang lain yang ditimpa musibah. Negeri Kopah yang dekat dengan hutan membuat mereka dengan mudah mencarikan tumang untuk membuat tungku memasak keperluan berbagai upacara bagi negeri yang memerlukannya.

Di negeri Sentajo tinggallah Datuk Sinambang. Dia memimpin Sentajo menjadi negeri dengan semangat sosial. Dengan hasil kebun pisangnya yang melimpah anak negeri tidak segan-segan membantu memberikan daun pisang untuk pembungkus berbagai pemberian dan sedekah dalam bermacam upacara ketika hari baik bulan baik.

Di hilir Sentajo ialah Benai, tempat kedudukan Datuk Mangku. Seorang datuk yang amat suka menolong (memangku) orang yang lemah dan kesusahan. Inilah negeri yang menjadi Palang Merah Rantau Kuantan. Bila mereka mendengar ada sekitar negeri yang sakit mereka segera datang dengan membawa obat-obatan.

Kemudian tersebutlah negeri Siberakun yang berasal dari kata barqu berarti kilat. Di sinilah asal silat Rantau Kuantan yang berkembang dengan baik di Pangean. Kecepatan silat melumpuhkan lawannya bagaikan kilat yang disusul oleh sambaran petir. Siberakun dengan guru silatnya bergelar Ji Usu (Haji Yusuf) dapat julukan Pasak Malintang, sebab inilah kekuatan terakhir Rantau Kuantan menghadapi lawannya.

Sungguhpun demikian silat Rantau Kuantan bukanlah silat jalan sihir. Tapi jalan tarikat (tasawuf). Karena itu silat Rantau Kuantan tidak mencari lawan tapi mencari dunsanak (sanak keluarga). Karena Siberakun hanya punya tiga orang penghulu dari tiga suku besar Caromin, Patayo, Kampuang Tonga, maka digenapkan jadi empat dengan urang godang atau raja. Itulah sebabnya pemangku adat Siberakun itu dipandang setaraf dengan urang godang atau raja. Maka Balai Silat di Siberakun tidak dibagi dua, sebab jika datang urang godang (raja) ke sana, dia turun sendiri dari kudanya. Bukan masuk pada lorong balai yang dibagi dua sebagaimana berlaku di negeri lain.

Maka tersebut pula Simandolak dengan julukan Peti Bagewang, tempat menyimpan rahasia para datuk. Jika ada seseorang akan ditanam jadi datuk (pembesar adat) maka di sinilah diperiksa segala rahasia dan perkara calon datuk tersebut sebelum diambil kata mufakat untuk menanam dia menjadi datuk. Setelah diketahui segala rahasia itu barulah diambil kata mufakat untuk memberi wewenang kepadanya memegang tampuk kepemimpinan adat bersendi syarak.

Negeri Pangean adalah Negeri Hulubalang. Meskipun silat Rantau Kuantan bermula di Koto Tuo Siberakun, tapi silat itu telah berkembang dengan baik di Pangean sehingga sering pula disebut silat Pangean. Guru silat yang paling handal ialah Datuk Baromban Bosi. Pangean adalah negeri yang diandalkan untuk menghadapi berbagai serangan dari luar, sebab kok betendan kapar dari ulu, manyonak pasang dari iliar, Baromban Bosi nan kan mananti. Jadi, kalau ada musuh dari hulu dan lawan dari hilir maka akan dihadang oleh Baromban Bosi dengan anak silatnya. Karena itu Pangean sebagai Negeri Hulubalang bagaikan Angkatan bersenjata untuk Rantau Kuantan.

Kemudian di hilir lagi ialah Basrah, berasal dari nama pusat Islam di Irak. Di sini duduk seorang raja yakni di Koto Rajo Basrah. Basrah adalah Pakandangan Adat. Di sinilah semua perkara diputus dan hukuman dijatuhkan. Di antara perkara itu yang paling istimewa ialah perbuatan zina. Pelaku zina disebut tasungkuik jambar rajo. Jika pelaku itu tak dapat lagi diringankan hukumannya maka keduanya dimasukkan ke dalam lukah buring lalu dibuang ke Batang Kuantan di Pelukahan Sungai Soriak, tempat esksekusi. Mereka diberi bekal pisau seraut untuk keluar dari lukah mencari selamat. Pelaku zina dieksekusi di Pelukahan dengan rangkai kata nan balaku diutangan, nan badoso dibunuah, anyuik karono dek ronangnya, jatuah karono dek panjaknyo, doso nan mambao mati.

Ke hilir lagi ialah negeri Inuman dengan timang-timangan Pulau Sarangkiang. Di sinilah membayar segala hutang dan denda yang bersangkut dengan perkara adat bersendi syarak. Kumpulan hutang dan denda jadi kekayaan bersama untuk kemaslahatan anak negeri. Kalau ada yang tidak mengakui kesalahannya, diadakanlah dunam, yaitu adu banyak emas antara yang menuduh dengan yang tertuduh. Yang sedikit emasnya kalah. Semua ema situ disita, Sebagian untuk uang sidang. Sisanya jadi kekayaan negeri.

Di hilir sekali ialah negeri Cerenti dengan julukan Boke Karojan. Di sinilah segala datuk menerima kebesarannya. Di sini pulalah para pembesar adat diambil sumpahnya untuk ditanam sebagai pemegang teraju kepemimpinan yang ditentukan oleh alur adat bersendi syarak, yang zahirnya amanah rakyat tapi hakikatnya Amanah Tuhan yang Maha Esa. Syaraklah yang menjamin nilai nominal adat sebab segala kelemahan adat buatan manusia akan disempurnakan dengan teguh oleh syarak yang bersendi kitabullah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Demikianlah kepiawaian para datuk memegang teraju kepemimpinan dalam masyarakat adat di Rantau Kuantan tempo dulu. Mereka berhasil membuat adat hutan tanah dan adat beternak (beladang) sehingga menghasilkan delapan macam mata pencaharian yang disebut Tapak Lapan. Mereka menjadi perisai dari penjajahan Belanda dengan membayar sendiri pajak kepala rakyatnya kepada Belanda sehingga anak negeri tidak merasa terjajah. Rakyat Rantau Kuantan malah dapat kemakmuran ekonomi dari sistem Kupon menanam getah (karet) sehingga mudah naik haji.

Sekarang orang Melayu ‘’tabao rendong’’ (ikut tanpa sadar) ke dalam sistem demokrasi yang dijajakan oleh orang kafir yang hanya menghasilkan penguasa, bukan pemimpin. Hasil pilihan demokrasi itu hanyalah para penguasa karena bertumpu kepada kekuatan fisik dan bendawi. Karena itu penguasa demokrasi ini bersifat munafik menolak syariat Islam yang turun dari Allah Penguasa Alam Semesta. Karena itu penguasa demokrasi itu menjadi egois dan serakah sehingga akhirnya korupsi, merampas hak rakyat dan negara. Sementara hasil pilihan adat bersendi syarak adalah pemimpin yang bijaksana lagi piawai, memimpin dengan budi pekerti yang mulia, sehingga menimbulkan ketaatan dan keikhlasan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena pemimpin adat bersendi syarak ini sadar sebagai hamba Allah yang lemah, yang segala perbuatannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat, di hadapan Allah yang Maha Perkasa.***  

Check Also

Kilas Balik Nasib Orang Melayu (Renungan untuk Kemerdekaan RI), Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana telah menciptakan dunia sebagai tempat yang fana dan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *