Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Kilas Balik Nasib Orang Melayu (Renungan untuk Kemerdekaan RI), Oleh : UU Hamidy
Foto : Dokumentasi Bilik Kreatif

Kilas Balik Nasib Orang Melayu (Renungan untuk Kemerdekaan RI), Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana telah menciptakan dunia sebagai tempat yang fana dan akhirat negeri yang kekal. Dunia negeri rantau yang fana adalah medan ujian dan ladang amal yang akan dituai hasilnya di negeri akhirat yang kekal. Maka untuk mengenal dunia yang singkat menuju akhirat yang kekal, Allah yang Maha Bijaksana telah memberikan Al Qur’an untuk pedoman hidup umat manusia. Kemudian Al Qur’an disampaikan dengan sempurna oleh Junjungan Alam Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Maka Al Qur’an bagaikan sinar kepada as-Sunnah sehingga Al Qur’an dan as-Sunnah memberikan cahaya yang terang-benderang kepada umat manusia dalam menempuh hidupnya.  Demikianlah Al Qur’an dan as-Sunnah sebagai sandaran syariat Islam telah memberikan tiga kategori hukum yang utama yakni haq-bathil, halal-haram, serta dosa-pahala, agar manusia dapat panduan yang benar dalam segala perbuatannya. Dengan tiga kategori itu manusia dapat melaksanakan perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya sehingga setelah melalui hidup dan mati akan diketahui siapa yang baik amalnya.

Allah menciptakan hidup dan mati sebagai ujian agar terbuka rahasia nasib manusia baik di dunia apalagi di akhirat. Marilah kita lihat sekilas bagaimana kilas balik nasib orang Melayu dalam jejak langkahnya sampai hari ini sebagaimana terbayang oleh tiga bait pantun yang pernah digubah oleh tetua mereka :

Kuantan bukan Kuantan bak kini

Sungai koruah daulunyo

Jantan bukan panyogan bak kini

Urang paomua daulunyo

Kampar bukan Kampar bak kini

Sungai dore daulunyo

Palapar bukan palapar bak kini

Urang babore daulonyo

Batanghari bukan Batanghari bak kini

Sungai nan jonie daulunyo

Pangari bukan pangari bak kini

Urang baome daulunyo

Bait pantun pertama ini menyampaikan bahwa orang jantan yakni lelaki Melayu pada masa dulu bukanlah seperti orang lelaki sekarang. Orang lelaki dulu adalah orang yang paomua, yaitu orang suka bekerja sungguh-sungguh, bukan seperti lelaki sekarang yang pemalas (pamale). Lelaki dulu yang suka bekerja, mampu memimpin dan melindungi perempuan, sehingga perempuan Melayu itu terpelihara dengan sifat malu yang mulia. Karena kepemimpinan dan kemampuan itulah orang lelaki yang demikian disebut jantan oleh orang Melayu. Orang jantan itu punya penampilan gagah, berwibawa dengan akhlak mulia, sehingga disegani oleh lawan dan kawan.

Dalam bait pantun kedua dibayangkan nasib orang Melayu. Sekarang sudah banyak orang Melayu yang kelaparan, padahal dulu mereka orang yang banyak mempunyai beras (bore). Nasib ini menimpa mereka karena berbagai keadaan. Tanah peladangan mereka jadi gurun dan belukar karena tadi pemalas, tidak paomua. Malah tanah sawah dan ladang itu mereka tanam pula dengan sawit yang akan mendatangkan bencana kekeringan. Sementara tanah ulayat rimba belantara yang dulu menjadi sektor mata pencaharian yang handal tak ada lagi, karena dijadikan pula ladang kelapa sawit. Dengan ladang kelapa sawit itu orang Melayu berubah nasibnya dari petani yang merdeka kepada kuli (buruh) yang bekerja di bawah majikan (tauke) dengan upah minimum.

Dalam pantun bait ketiga disampaikan bahwa orang Melayu yang dulu sebagai pekerja harian adalah orang yang punya emas alias bukan orang miskin. Pangari atau pekerja harian zaman dulu bekerja harian mengambil hasil hutan seperti kayu bangunan, rotan, buah-buahan, dan binatang buruan. Di samping itu mereka bekerja harian pula mendulang emas pada hamparan pasir sepanjang tebing sungai. Mereka mendulang emas dengan tidak merusak tebing sungai sebagaimana sekarang dilakukan oleh penambang emas tanpa izin (PETI) yang merusak sungai sehingga ikan jadi punah oleh limbah penambangan liar itu.

Begitulah jejak langkah nasib orang Melayu dalam tempo lebih kurang 100 tahun yang lalu berbanding masa sekarang ini. Nasib ini berlaku sudah dijawab oleh Allah dalam Al Qur’an. Telah terjadi kerusakan di darat dan lautan oleh ulah tangan manusia agar mereka sadar supaya Kembali kepada jalan Allah yakni hidup dengan pedoman syariah Islam. Sebab jika manusia itu beriman dan bertaqwa niscaya Allah turunkan rahmat dari langit dan bumi. Tapi ternyata mereka malah pindah ke jalan demokrasi yang mengikuti kehendak suara orang banyak di muka bumi. Mengikuti suara orang banyak berarti mengikuti hawa nafsu yang tidak mau dipandu oleh hukum Allah yang akan membedakan haq-bathil, halal-haram, serta dosa-pahala.

Orang Melayu yang beragama Islam harus sadar bahwa dunia dan seisinya adalah ciptaan dan milik Allah yang Maha Kuasa. Karena itu jika mau bernasib baik di dunia dan apalagi di akhirat, dunia harus diurus dengan kehendak Allah yang Maha Bijaksana. Bukan dengan kehendak orang banyak dalam demokrasi. Kehendak orang banyak dalam demokrasi membuat kita durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menggantungkan nasib kita kepada Allah yang Maha Kuasa, bukan kepada manusia yang lemah. Jadi hiduplah dengan aturan yang benar yaitu syariah Islam yang bersandar kepada Al Qur’an dan as-Sunnah, bukan dengan aturan demokrasi buatan manusia yang hanya bersandar pada akal yang sempit dan hawa nafsu yang buas.***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *