Adakah yang punya Ayah yang enggan pergi ke undangan (majelis nikah kawin, aqiqah, sunat rasul, menempati rumah baru, pergi haji, dan lain sebagainya)? Kalau ada, berarti kita geng!
Musim nikah kawin seperti di bulan Syawal ini memanggil ingatan tentang cerita ini. Hari-hari di penghujung minggu penuh dengan kegiatan hilir mudik memenuhi undangan para sejoli yang akan menempuh hidup baru.
Ayah paling susah kalau diajak pergi menghadiri undangan. Baik itu undangan dari keluarga, jiran tetangga, rekan sekerja ataupun kenalan lainnya. Seingatku, (paling tidak sejak aku kelas III Sekolah Dasar), tidak sampai sepuluh undangan yang dihadiri Ayah. Di antaranya khitan kemenakannya, nikah kawin kemenakannya dan nikah kawin anak tetangga yang rumahnya pas di sebelah rumah. Selebihnya, dari agaknya sudah beratus-ratus undangan hingga sekarang, terpaksalah Ibu (rahimahallah) sendiri yang menghadiri. Padahal, sudah jelas tentu lebih banyak Ayah yang diundang daripada Ibu.
Dulu, ketika masih kecil, sering aku mendengar pertanyaan ini dilontarkan pada Ibu di lokasi acara undangan: ‘’Mana Bapak, Bu?’’ Karena sejak kecil aku sering diajak Ibu untuk menemaninya menghadiri undangan. Biasanya Ibu akan menjawab: ‘’Aduh, Bapak tak bisa datang, jadi kami saja lah wakilnya.’’
Ketika di SMA dan sudah bisa mengendarai sepeda motor, aku bertugas mengantar Ibu ke mana-mana untuk menghadiri undangan. Jika aku berhalangan, Ibu akan cepat mencari kawan. Telepon keponakan, hubungi kawan, numpang dengan tetangga ataupun siapa saja yang juga menerima undangan yang sama. Intinya cuma satu: tak sendirian pergi ke undangan.
Kalau yang punya hajat itu rekan sekerja Ayah atau tetangga dan kenalan lainnya, lama-lama orang sudah terbiasa melihat Ibu pergi sendiri ke undangan, atau paling seringnya ya kami berdua. Yang bertanya tentang Ayah sudah mulai tidak ada karena mungkin ya sudah maklum saja kalau beliau memang tidak datang.
Yang susah itu kalau yang punya hajat adalah keluarga. Agak tak enak rasanya. Apalagi kalau acaranya di luar kota. Ayah langsung punya alasan jitu, ‘’Kalian saja lah yang pergi ya. Nanti siapa yang jaga rumah. Jadi biar aku saja yang tinggal.’’ Akhirnya lama kelamaan keluarga besar pun mengerti tabiat Ayah.
Tapi kadang-kadang Ayah suka ambil alih sendiri. Kalau kebetulan dia sendiri yang berjumpa dengan si pemilik hajat saat mengantarkan undangan ke rumah, kadang beliau akan berkata, ‘’Waduh, maaf ya Nak. Bapak sudah tua. Sudah payah pergi ke mana-mana. Selamat ya, mudah-mudahan lancar acaranya,’’ katanya sambil menghulurkan amplop.
Kami sungguh khawatir caranya itu dapat membuat orang tersinggung. Karena seakan-akan yang punya hajat cuma perlu amplopnya. Padahal kalau kita lihat dari sisi lain, justru ini adalah keuntungan. Karena dia sekarang sudah dapat amplop dari Ayah. Nanti dapat lagi kalau kami yang menghadiri. Jadi dobel kan?
Kini, meski sudah berkeluarga dan tentu juga ada menerima undangan yang harus dihadiri, aku masih tetap menemani Ibu menghadiri acara-acara untuk mewakili Ayah. Nampaknya kami sudah ditahbiskan sebagai spesialis pemeran pengganti untuk sepanjang hayat.
Terkadang pernah terpikir, mungkin Ibu ingin juga sekali-sekali pergi ke undangan berdua dengan Ayah seperti kebanyakan pasangan suami isteri lainnya. Tapi nampaknya Ibu sudah ridha menerima tabiat suaminya tersebut. Karena alasan Ayah tidak mau menghadiri undangan adalah : tidak suka keramaian, enggan bersalaman dengan yang bukan mahram, telinga tak nyaman mendengarkan musik di tempat acara dan berdesak-desakan dengan orang ramai.
Tetapi, melihat model pesta pernikahan zaman sekarang, akhirnya aku pun semakin memaklumi alasan itu. Apalagi pesta yang banyak undangannya. Mau makan antri, mau salam lebih antri lagi. Kadang berdesak-desakan karena kapasitas tempat tak lagi sebanding dengan jumlah yang hadir.
Cuma terkadang, Ibu pun berhalangan. Mau tak mau aku sendiri atau bersama Pak Suami yang pergi menghadiri undangan Ayah. Kalau kenal sama yang punya hajat, masih enak. Yang canggung itu kalau yang punya hajat tak kenal dengan kita. Terpaksalah pakai kalimat pengenalan, ‘’Bapak/Ibu, saya anaknya Pak Fulan. Bapak tak dapat datang, jadi kami yang jadi wakilnya. Bapak titip salam.’’
Di dunia perfilman, pemeran pengganti biasanya diminta melakukan adegan-adegan yang tidak mengenakkan atau justru berbahaya. Seperti kisah-kisah stuntman para bintang film terkenal. Alhamdulillah, kami jadi spesialis pemeran pengganti yang enak. Menggantikan malah dapat makan atau plus diberi souvenir. Syukur-syukur berpahala karena mengeratkan silaturahmi kalau yang empunya hajat adalah keluarga. Karena apa lagi hendak dikata. Sudah nasib badan.***
: Karena namanya yang ganjil, sering banyak yang salah menulis Ayah.