Sebenarnya, baik nama maupun gelar dari garis darah dan suku juga telah mempunyai kadar antropologis, dalam arti memberikan gambaran tentang kondisi-kondisi manusia dan budayanya. Tetapi, memandang hal itu hampir telah menjadi kebiasaan yang umum dan universal, maka keadaannya tidak lagi begitu tajam, untuk memberikan perbedaan antara berbagai jenis kehidupan masyarakat tertentu. Nama dan gelar yang tradisional itu, masih dapat dikatakan dalam batas yang wajar, sebab telah mendapat semacam pengakuan secara resmi dalam sistem kehidupan dan kebudayaan mereka. Begitu pula, nama diri yang memberikan tambahan dengan nama negeri, suku (marga) nama ayah, bahkan juga nama ibu dan istri atau suami masih dalam batas komunikasi yang memang amat diperlukan.
Tetapi ternyata, gejala dan peristiwa kehidupan antropologis dalam arti manusia dan budayanya, tidak selalu dapat DIPAGARI dengan apa-apa yang dipandang wajar. Selalu saja ada hal-hal yang terjadi, yang akan dikatakan sebagai berada di LUAR GARIS, namun budaya kehidupan serupa itu tetap menjadi suatu REALITAS. Karena itu, kita tidak dapat membuang muka dari keadaan itu. Bersabit dengan ini, maka nama-nama orang tidak saja lagi dipakai untuk lambang atau CIRI PEMBEDA, tetapi juga telah digunakan untuk menggambarkan ciri-ciri dan berbagai keadaan tingkah laku budaya, serta temperamen manusia dalam hidupnya. Inilah yang kita maksud dengan gelar-gelar antropologis.
Dalam kanvas kehidupan serupa itu, pertama dapat kita lihat ada orang yang diberi gelar oleh masyarakatnya dengan nama TUMBUH-TUMBUHAN, misalnya SAIDI BAKUNG (bakung sejenis bunga), TAMI KOMPE (kompe atau kayu kempas bermakna tinggi besar). Tetapi yang lebih banyak lagi dipakai ialah nama BINATANG. Begitulah, seseorang yang sering mengangguk-angguk, diberi gelar DAUD BALAM (burung balam kalau berbunyi mengangguk-angguk), SUMAN GAJA (Suman yang besar bagaikan gajah), RUDIN KOBAU (seseorang bernama Rudin, selalu bicara tentang kerbau).
Dari pemakaian tanaman dan binatang, pembuatan gelar bagi beberapa warga masyarakat meluas kepada BENDA-BENDA. HUSIN UNCANG, adalah seseorang bernama Husin yang selalu membawa uncang (semacam karung kain) kemana-mana. DAHLAN KAWEK, barangkali seorang bernama Dahlan, yang punya sifat seperti kawat. KASIN LORENG, diberi gelar Loreng, karena mempunyai sifat pembengis, bagaikan pemilik warga loreng seperti pada harimau. Ada pula orang yang diberi gelar serupa ini, ialah orang yang lambat makan, tapi makannya sangat banyak.
Pemberian gelar yang menunjukkan tanda-tanda fisik mungkin cukup luas dipakai. Gelar-gelar seperti bagong untuk orang gemuk, bengkring, unjar (tinggi kurus), si bisu, roges (gigi hitam) dan beberapa lagi, banyak dipakai dalam masyarakat.
Gelar-gelar lebih banyak diberikan atas gambaran SIFAT seseorang. Begitulah, AMAT POTUI, adalah seorang bernama Amat (Ahmad) yang suaranya sangat keras, bagaikan potui (petir). BUYUNG GELENG, menunjuk kepada seseorang yang dipanggil Buyung, yang sering menggeleng-geleng. ABDULLAH DUNKIK, mungkin sekali diberi gelar demikian, karena Abdullah itu sering mengungkik (mendongkrak). SALEMAN GADUA, diberikan gelar gadua, karena sering membuat gaduh, atau suka meribut.
Masih ada lagi beberapa gelar, misalnya dengan memberikan nama orang lain kepada seseorang, karena mereka dipandang mempunyai persamaan fisik atau sifat. Pada sisi itu, ada pula orang yang diberi gelar untuk menunjukkan pekerjaannya. Seorang KASIN NIRO, adalah Kasin yang bekerja sebagai tukang niro (menyadap enau). Tapi paling kurang masih ada suatu lagi yang benar-benar amat antropologis: KARASAK MANJEK, yaitu gelar bagi seseorang yang hidup begitu susah namun bertahan terus. Karasak Manjek (kerasak memanjat).
Tulisan ini dimuat dalam buku Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy