Surau sebenarnya bukan hanya sekadar berfungsi sebagai tempat belajar mengaji Al-Qur’an, shalat dan kegiatan agama lainnya. Di samping fungsinya yang demikian, masih ada manfaatnya yang lain, yang juga cukup besar artinya bagi masyarakat. Suku-suku Melayu yang mendiami pesisir Timur Sumatera bagian tengah, terutama yang berkampung di sepanjang Sungai Kuantan dan Kampar –dan beberapa daerah di Minangkabau, masih mempunyai suatu tradisi: pemuda tidur di surau dan orangtua tidur di dapur.
Tradisi itu dapat dipandang sebagai alat dalam pengendalian sosial. Oleh sebab itu tradisi ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam usaha membatasi tingkahlaku sosial masyarakat. Tapi bukan hanya berarti untuk pembatasan ke arah yang negatif. Tradisi ini juga sekaligus memberi arah bagi persiapan generasi mudanya untuk dapat menjadi anggota masyarakat berdasarkan tradisi-tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat mereka.
Jika seorang anak laki-laki yang sudah bersunat (dikhitan) –biasanya antara umur 10-15 tahun– maka dia dipandang sudah mulai memasuki dunia orang dewasa. Pada tahap pertama dia segera menjadi pemuda, kemudian setelah dia berumahtangga, dia dipandang sebagai orang dewasa sepenuhnya. Oleh keadaan serupa itu, pergaulannya tidak mungkin lagi tidak mempunyai batas-batas dengan pihak lawan jenisnya: perempuan.
Jika dalam masa kanak-kanak sampai dia bersunat dia dapat bergaul bebas dengan semua orang perempuan dalam lingkungan kerabatnya, maka sesudah itu dia mulai mendapat pembatasan. Pembatasan itu pertama-tama ialah dalam hal tempat tidur. Sebelumnya, dia boleh tidur dengan siapapun juga –baik dengan laki-laki maupun perempuan. Setelah dia bersunat dia tidak boleh lagi tidur bersama-sama berdekatan dengan jenis perempuan dari lingkungan kerabatnya, walau dengan ibunya sekalipun.
Pembatasan itu tampaknya terarah kepada dua tujuan. Pertama, untuk dirinya sendiri. Kedua, untuk pihak saudara-saudaranya yang perempuan. Pada pihak dirinya diharapkan agar dia mulai mempunyai kesadaran, bahwa seorang laki-laki mempunyai dunia yang berbeda dengan alam dan dunia perempuan. Dia harus mempunyai tingkahlaku yang sesuai pula dengan dunianya, dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh tradisi masyarakatnya.
Kalau dia tidak mempunyai batas yang demikian, maka besar kemungkinan dia akan gagal menjumpai karakter dirinya sebagai laki-laki. Untuk itu pada satu pihak dia harus membatasi pergaulannya dengan dunia perempuan, dan pada pihak lain dia harus memperbanyak kontak-kontak dengan pihak laki-laki. Dalam usaha itulah dia dikehendaki tidur di surau.
Dengan tidur di surau, dia mulai terbatas pergaulannya dengan kaum perempuan, dan sekaligus makin luas perhubungan dengan dunia laki-laki, sebab di surau itu tidur laki-laki dari berbagai tingkatan umur dan golongan. Dari golongan pemuda dia mulai dapat mengetahui bagaimana alam pikiran golongan ini. Bagaimana cara-cara mencari nafkah, cara berhubungan dengan anak gadis dan berbagai kebiasaan pemuda pada lazimnya, dapat dengan mudah diketahui dan dipelajarinya melalui pergaulan di surau itu.
Orang dewasa yang menjadi duda, dan orang tua-tua atas berbagai alasan dan keadaan, juga biasanya tidur di surau. Dari mereka ini semua, anak laki-laki yang tidur di surau dapat belajar bermacam hal, sesuai dengan jalan tradisi yang harus mereka lalui. Dari pergaulan semacam itu, anak laki-laki itu dipersiapkan untuk memasuki dunia laki-laki yang sesungguhnya –yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab.
Demikianlah, proses sosialisasi telah berlangsung pada tiap-tiap surau. Surau telah ikut mempersiapkan warganya untuk membentuk laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, sesuai dengan garis tradisi yang menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat.
Pada arah lain, dengan tidurnya anak laki-laki di surau, maka pihak saudaranya yang perempuan, juga mempunyai peluang yang makin luas untuk membina dunianya. Setelah dia tidur berpisah dengan saudaranya yang laki-laki, maka bermacam-macam hal yang dipandang tradisi kurang pantas didengar oleh saudara laki-lakinya –termasuk terhadap semua jenis laki-laki– dapat diketahuinya dari ibunya atau dari pihak perempuan kaum kerabatnya yang lebih tua dari padanya.
Dengan keadaan serupa itu, mereka bebas membicarakan berbagai seluk-beluk dunia perempuan, sehingga anak perempuan ini dapat pula dipersiapkan menjadi calon orang dewasa: sang ibu yang baik dan bertanggung jawab. Kepadanya diceritakan prinsip-prinsip penting seperti cara bergaul dengan lelaki, bagaimana anak gadis yang sudah bertunangan harus mempunyai kasih sayang kepadanya –hingga dia menjadi isteri yang disayangi pula– ya, pada pokoknya garis-garis besar sifat dan tugas seorang perempuan dalam berumahtangga, dalam rangka menunaikan panggilan hidupnya.
Pembatasan ini makin kuat, bila mana saudaranya yang perempuan itu sudah mulai berhubungan dengan pihak pemuda yang mempunyai minat hendak melamarnya. Pemuda-pemuda yang berminat hendak memperisteri si gadis itu biasanya datang bertandang malam hari, sekitar sesudah makan malam sampai pukul 22.00 malam. (Seorang gadis yang dipandang baik kadangkala didatangi rumahnya oleh beberapa orang pemuda, tapi adalah suatu hal yang tidak mungkin, pemuda-pemuda itu datang bersama-sama). Pada masa serupa itu, pihak saudaranya yang laki-laki biasanya pulang ke rumah hanya untuk makan dan mengganti pakaian. Hal itu dalam tujuan, agar saudaranya yang perempuan itu mempunyai kelapangan waktu untuk didatangi oleh pemuda-pemuda calon suamminya. Adalah suatu pantangan jika seorang pemuda sampai menjumpai pemuda lain di rumahnya yang sedang bertandang kepada saudaranya yang perempuan. (bersambung)
(Tulisan ini disarikan dari buku Sikap Orang Melayu Terhadap Tradisinya di Riau, UU Hamidy)
Apa Sebabnya Pemuda Tidur di Surau dan Orangtua Tidur di Dapur? (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy