Pembatasan hubungan antara pihak anak gadis dan pemuda dalam satu kesatuan keluarga ini, mencapai titik puncaknya, ketika salah seorang saudaranya yang perempuan itu sudah bersuami. Kalau saudara perempuannya sudah bersuami, pihak saudara yang laki-laki biasanya tidak begitu suka lagi memasuki ruangan depan, tapi kalau ada kepentingan biasanya dia ke ruangan depan dengan melalui dapur saja. Keadaan itu hanya sedikit lunak, jika anak laki-laki yang bersangkutan lebih muda usianya dari pada saudara perempuannya.
Dalam keadaan yang sebaliknya –yaitu adik laki-laki itu yang bersuami– maka dia berusaha demikian rupa, agar tidak begitu banyak berada di rumah. Hal ini terjadi, karena dengan kehadiran suami adiknya itu, kendali rumahtangga itu dipandang sudah diserahkan kepada suami adiknya tadi. Dan itu berarti pula, rumahtangga itu sudah diserahkan kepada mereka berdua suami isteri –agar dibina sesuai garis-garis tradisi.
Masih dalam sangkutan ini juga, pihak orangtua –misalnya pangkat ayah dan datuk– di daerah ini mempunyai tradisi pula, tidur di dapur, apabila mereka telah menerima menantu. Tradisi itu sedikit lunak terhadap pihak perempuan, hal ini agaknya karena dekatnya hubungan anak perempuan itu dengan ibunya dari pada dengan ayahnya. Jika diperhatikan motif tradisi tersebut, akan tampak pula beberapa arah jangkauannya.
Pada satu pihak, orangtua pindah ke dapur, merupakan suatu perlambangan kepada pihak menantunya (yakni sang pemuda yang memperisteri anak gadisnya) bahwa dia sekarang bukan lagi pemegang utama kendali rumahtangga itu. Pemegang kendali itu sekarang diserahkan kepada menantunya melalui cara simbolis: mundurnya sang orangtua ke dapur. Demikian, pemuda yang baru diterima di rumahtangga itu –yaitu menantunya– diharapkan mulai belajar memegang dan mengendalikan kehidupan berumahtangga. Dari usaha itu diharapkan pada suatu ketika dia akan dapat menjadi pemimpin rumahtangga yang baik dan bertanggung jawab.
Pada pihak lain orangtua itu menyadari, bahwa dunianya mulai berbeda dengan dunia anak perempuan dan menantunya. Orangtua itu cenderung memandang hidup mereka makin jauh dari urusan dunia, dan sebaliknya makin dekat kepada akhirat. Oleh sebab itu tingkahlaku dan sikap mereka, harus makin menjauh dari kegiatan yang duniawi sifatnya dan makin mendekat kepada kegiatan yang lebih ukhrawi.
Kegiatan yang terarah kepada kepentingan dunia itu adalah bidang anak (perempuan) dan menantu mereka, sedangkan kegiatan yang lebih ukhrawi adalah bidang yang lebih layak bagi mereka. Karena itu ruangan rumah tersebut sekaligus memberi warna kepada dua dunia tersebut. Ruangan depan –yaitu tempat anak perempuan dan menantunya– mewakili ruangan yang dinamis, sebagai perlambang dari dunia yang banyak problem, sedangkan ruang dapur yaitu tempat mereka orang tua-tua –mewakili ruangan yang mempunyai sifat yang tenang dan damai, sebagai perlambang dari sifat ukhrawi yang mereka tuju.
Di dapur itu, orang tua-tua merasa bebas membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan dunia mereka, terutama hal-hal yang menyangkut hidup sesudah mati. Mereka dapat berbincang dengan teman-teman mereka –yang juga kebanyakan terdiri dari orang tua-tua– sampai larut malam, tanpa memberikan gangguan kepada anak menantunya, yang ada di ruangan depan. Dan lebih dari pada itu, berbagai peralatan hidup kesenangan mereka, seperti sirih, gubiak, kampial tembakau dan solek tembakau itu sendiri, dadiah, dan banyak lagi– yang mungkin akan mengganggu pemandangan jika ada di ruangan depan –dapat dengan mudah ditempatkan di dapur, yang jauh dari mata tetamu anak menantunya.
Tampaknya, untuk mengambil jarak antar dua dunia itulah dalam pola rumah orang Melayu daerah ini, selalu ada bagian rumah yang memisahkan (tapi juga berarti menghubungkan) antara ruangan depan (rumah besar/induk) dengan dapur. Bagian itu tidak begitu besar, bangunan itu selamanya lebih kecil dari ruangan dapur. Bagian ini di daerah Kuantan disebut lobua kudo (lebuh kuda), di Kampar dan Pelalawan disebut suluh pandan. Bangunan inilah yang merupakan batas simbolis antara ‘’daerah kekuasaan’’ menantunya dengan sang mentua.
Bagaimanapun juga, tradisi anak laki-laki tidur di surau dan orang tua-tua tidur di dapur, pada masa ini sedikit banyak sudah bergeser, dan ada kemungkinan pada suatu masa akan dapat erosi yang cukup kuat. Hal itu atas pengamatan terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat di tempat itu khususnya, dan atas perhatian yang lebih menyeluruh akan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri.
Berdasarkan keadaan serupa itu, maka beberapa arah dan tujuan dalam kehidupan bermasyarakat yang telah diatur dan dikokohkan oleh tradisi di tempat itu, juga akan mulai goyah, sehingga akibanya dapat menimbulkan kegoncangan dalam iklim kehidupan sosial budaya di daerah tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya ada suatu bentuk baru dari pola kehidupan sosial di tempat itu, yang dapat menggantikan fungsi dan nilai-nilai tradisi tadi, sehingga pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat itu, dapat berjalan baik, dalam arti adanya selalu norma-norma yang dapat memberikan pembatasan kepada kemungkinan penyimpangan tingkahlaku, maka kestabilan sosial di tempat itu akan dapat dipertahankan, dan ini baru memungkinkan untuk usaha perbaikan bagi arah dan tujuan kehidupan masyarakat tersebut.***
(Tulisan ini disarikan dari buku Sikap Orang Melayu Terhadap Tradisinya di Riau, UU Hamidy)