Pemasok ikan terbesar di Bagansiapi-api sebenarnya ada tiga. Yakni Panipahan, Pulau Halang dan Sinaboi. Dari ketiga tempat ini, Panipahan adalah yang terbesar. Namun, meski berada di tengah surga ikan itu, kini para nelayan tempatan menjerit melawan deraan pukat harimau. Tidak hanya dari nelayan provinsi tetangga seperti Sumatera Utara dan Aceh, namun juga bertanding melawan Popeye si pelaut dari luar negeri seperti Thailand dan Malaysia.
Panipahan kini adalah salah satu dari tujuh kepenghuluan di Kecamatan Pasir Limau Kapas. Total luas kecamatan ini adalah 1.206,72 Km persegi. Inilah sejatinya raja pemasok ikan yang mengharumkan nama Bagansiapi-api ke seantero dunia. Potensi berbagai jenis ikannya (kurau, senangin, bawal putih, bawal hitam, tenggiri, ikan duri, lomek, dan lain-lain) serta udang (baik merah maupun putih) dan ketam (kepiting/rajungan) sungguh luar biasa.
Panipahan dapat ditempuh dengan speedboat selama 2,5 jam dari Bagansiapi-api. Jadwal speedboat Panipahan-Bagansiapi-api hanya ada satu kali sehari dan biasanya berangkat sekitar pukul 13.00 dari pelabuhan Bagansiapi-api. Sementara jika dari Panipahan, kapal berangkat lebih pagi sekitar pukul 7.30 WIB, tergantung kondisi air pasang. Jika sedang beruntung, kita bisa menumpang speedboat Tenaga Express bermuatan 100 orang yang kapalnya agak besar. Sebenarnya, Tenaga Express digunakan untuk trayek ke Tanjung Balai Asahan. Tapi jika kebetulan penumpang di Panipahan cukup banyak, kapal ini di-carter untuk trayek ke Bagansiapi-api. Jika tidak, maka cukuplah berpuas hati dengan menumpang speedboat Setia Express yang lebih kecil, bermuatan 45 orang. Karena hanya berangkat sekali sehari, biasanya speedboat penuh bahkan cenderung berdesak-desakan. Jika musim gelombang besar, rute Panipahan-Bagansiapi-api cukup membuat jantung berdebar karena ia melewati perairan Selat Melaka yang terkenal cukup ganas.
Seperti umumnya daerah-daerah pesisir di Rokan Hilir, Panipahan juga banyak dihuni warga Tionghoa. Itu tak lain karena Bagansiapi-api memang punya ikatan yang sangat erat dengan warga Tionghoa. Konon, berpuluh tahun yang silam, jauh sebelum masa kemerdekaan, sekitar 18 orang warga Tionghoa mendarat di Bagansiapi-api. Karena melimpah ruahnya hasil tangkapan ikan, mereka pun mengajak saudara maranya di Negeri Tirai Bambu untuk hijrah bersama dan hidup dengan membuat kampung-kampung nelayan di pinggir sungai atau laut. Karena itu, lazimlah hingga kini banyak warga Tionghoa yang memegang kendali bisnis ini.
Sebelum kapal merapat di Panipahan, deretan bang liau (gudang yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk menampung hasil tangkapan ikan nelayan) di pinggir-pinggir laut sudah tampak dari kejauhan. Ketika sampai di darat, mencarinya pun tak begitu susah. Sepintas, Panipahan hampir mirip dengan Sinaboi, hanya lebih besar. Jalan-jalan semen di atas air yang khas daerah pesisir juga lebih lebar. Selain itu, kehidupan malamnya lebih menggeliat. Rumah-rumah bilyar cukup mudah ditemukan. Tempat karaoke pun ada.
Di Panipahan, kawasan bang liau dikenal dengan julukan ST (baca: es te). ‘’Ooo, mau cari ST, mau beli siting ya,’’ ujar seorang ibu sambil menunjukkan arah menuju ST. Jika orang Melayu menyebutnya ikan lomek, maka orang Tionghoa menyebutnya siting. Hanya saja, karena jalan-jalan di Panipahan banyak persimpangan, tidak cukup bertanya hanya pada satu orang. ‘’Lurus, setelah itu belok kiri, cari kelenteng, lepas tu tanya lagi,’’ jawab seorang bapak yang menjadi tempat bertanya yang kedua.
Sama seperti di Sinaboi, para nelayan di Panipahan juga mengeluhkan hasil tangkapan ikan yang turun drastis. ‘’Tahun 1980-an, tangkapan ikan bisa mencapai 100 ton seminggu. Kini paling-paling hanya 1 ton seminggu. Itupun sudah sulit. Sekarang hanya tinggal 30-35 bang liau di Panipahan. Dulu bisa dua kali lipat dari ini jumlahnya,’’ ujar A Pin (65) seorang pemilik bang liau di Jalan Bawal. Kini, dengan jumlah penduduk 36.798 orang jiwa, Panipahan menjadi daerah termiskin nomor tiga di Rokan Hilir setelah Rantau Kopar dan Sinaboi. Gudang ekspor ikan yang dulu jumlahnya puluhan, kini hanya tinggal tiga buah.
Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah maraknya penggunaan pukat harimau dan pencurian ikan oleh nelayan asing (illegal fishing). Selain penggunaan alat tangkap terlarang sepertu pukat harimau, pelanggaran jalur-jalur penangkapan ikan juga banyak terjadi. Tersangka utamanya adalah nelayan dari provinsi tetangga seperti Sumatera Utara (Belawan dan Tanjung Balai Asahan) bahkan Aceh. Sementara aktor impornya adalah nelayan dari Thailand dan Malaysia. Kalau dilihat dari kekuatan armada, ‘peluru’ nelayan tempatan jelas kalah jauh.
Jika nelayan tempatan masih setia menggunakan kapal pompong atau sedikit lebih besar, nelayan-nelayan pukat harimau telah menggunakan kapal-kapal besar dengan kekuatan mesin setidaknya 600 tenaga kuda. Jika pompong melawan kapal ikan sekelas trawler (kapal pukat) penangkap tuna, tentulah seperti Daud melawan Goliath.
‘’Kita memang sudah banyak terima keluhan dari nelayan tempatan. Tapi setiap dilacak, tidak pernah ketemu. Sepertinya info kita mau turun selalu sudah sampai duluan. Macam ada permainan untuk menghalangi pemberantasan pukat harimau ini. Baru menjelang Idul Fitri lalu kami berhasil menjumpai nelayan yang tertangkap tangan menggunakan pukat harimau,’’ ujar Camat Panipahan, Poniran.
Satu kapal pukat harimau bisa menghasilkan setidaknya 2-4 ton ikan sehari. Karena menggunakan peledak, tak hanya ikan-ikan berkualitas yang diambil, tapi juga telur-telur ikan pun bisa dibawa. Inilah yang kian membuat jumlah ikan turun drastis. Menurut data dari Dinas Perikanan Rokan Hilir, pada tahun 2003 produksi ikan bisa menembus 72 ribu ton per tahun. Pada ekspos terbaru tahun 2009, produksi perikanan di laut turun menjadi 55.7001 ton.
Sebenarnya, kata A Pin, para nelayan tempatan sudah berusaha menghalau kehadiran nelayan-nelayan pukat harimau tersebut. Namun lagi-lagi mereka keok dalam segi amunisi. Sebab ternyata para nelayan pukat harimau itu menggunakan senjata sekaliber angkatan. Kalaupun pernah berhasil ditangkap, nelayan-nelayan pukat harimau itu hanya dikenakan denda yang tak seberapa. Akibatnya, mereka tak kunjung jera melakukan aksinya.
Ketika berkunjung ke bang liau milik A Pin, ia tengah sibuk mengepak ikan asin untuk dijual ke Tanjung Balai Asahan dan selanjutnya dikirim lagi ke Jawa. Jika membeli ikan asin di bang liau, harganya memang cukup miring. Ikan asin yang umum dikenal seperti ikan sebelah, lomek, ikan hiu, tenggiri, ikan sisik, dan lain sebagainya rata-rata hanya dijual beberapa belas ribu hingga Rp30 ribuan per satu kilogramnya. Hanya ebi yang sedikit lebih mahal, bisa mencapai Rp60 ribu per kilogram.
Jual Langsung di Tengah Laut
Karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara dan Selat Melaka, kebanyakan hasil tangkapan ikan di Panipahan langsung dijual ke Tanjung Balai Asahan dan Malaysia. Panipahan-Tanjung Balai Asahan bisa ditempuh kurang lebih 2 jam naik kapal. Untuk ikan segar seperti tenggiri, ikan parang, bawal dan lain-lain, biasanya langsung dijual ke Malaysia dan Singapura. Sementara untuk ikan asin lebih banyak dijual ke Tanjung Balai Asahan. Ironisnya, setelah dikemas di Sumatera Utara, ikan ini dijual lagi ke Riau atau dikirim ke Jawa. Tentu saja dengan harga yang lebih mahal. ‘’Buat apa jual ke Bagan, malah lebih jauh. Kalaupun ada paling tak seberapa,’’ tutur A Pin.
Para pekerja di bang liau umumnya berasal dari Sumatera Utara. Mereka biasanya bertugas menyortir, membelah dan menjemur ikan dengan upah rata-rata Rp20 ribu per hari. Beberapa di antaranya ada yang terpaksa bekerja mulai dinihari hingga pagi, tergantung kapan datangnya kapal ikan. Setelah jadi ikan asin, ikan-ikan kering itu dimasukkan ke dalam kotak lalu dibungkus lagi dengan goni plastik dengan berat rata-rata 55 Kg.
Poniran pun mengakui, masalah klasik di daerah pesisir seperti infrastruktur (jalan, listrik, irigasi, air bersih) dan komunikasi masih berlaku di Panipahan. Bahkan, karena sangat dekat dengan Sumatera Utara, di Panipahan sering terjadi konflik tanah baik itu soal tapal batas maupun perambahan wilayah baik oleh perorangan maupun perusahaan.
Bagi warga Panipahan, bepergian ke Sumatera Utara bahkan lebih mudah daripada ke Bagansiapi-api. Menurut salah seorang pegawai di kecamatan, Iwan, adalah hal yang biasa bagi warga Panipahan untuk sekadar raun-raun ke Tanjung Balai Asahan. ‘’Kadang kami jalan-jalan ke Rantau Parapat, cukup naik motor saja,’’ ujar Iwan.
Sementara itu, Bupati Rokan Hilir, H Annas Maamun sendiri tak menampik bahwa penjualan ikan secara langsung di lautan telah mengakibatkan hilangnya potensi PAD di Rokan Hilir. Namun ia pun memahami, karena ikan-ikan itu dijual untuk ekspor, jika dibawa dulu ke Bagansiapi-api justru akan memakan waktu lama. Sementara jika dijual di laut yang memang sudah berada di pertengahan Selat Melaka, jarak tempuh ke Malaysia atau Singapura tentu lebih dekat. Apalagi ikan kualitas ekspor biasanya harus dalam kondisi segar.
‘’Sebenarnya, lokasi yang banyak ikan saat ini adalah di sekitar areal antara Pulau Jemur-Panipahan-Bagansiapi-api. Karena itu, jika ingin membuat tempat pelelangan ikan, tempat yang paling strategis sebenarnya adalah di Pulau Jemur. Sebab dari situ tepat di tengah-tengah lintasan Selat Melaka,’’ ujar Annas.
Ide itu sebenarnya cukup masuk akal jika hendak diwujudkan. Apalagi, gugusan Kepulauan Aruah (lebih dikenal dengan nama Pulau Jemur) selain memang sangat strategis juga memiliki pesona alam semula jadi yang indah. Letaknya pun benar-benar di tengah-tengah. Lebih kurang 45 mil dari Bagansiapi-api dan sekitar 45 mil juga dari Malaysia. Tak hanya tempat pelelangan ikan, industri hilir seperti pengalengan ikan pun sebenarnya layak dibuat. Cuma karena terletak di tengah laut, biaya investasi di Pulau Jemur tentu juga tinggi. Belum lagi mempersiapkan segala infrastruktur penunjangnya.
Jika kita naik kapal ke Panipahan dari Bagansiapi-api, di kejauhan akan tampak dermaga yang belum selesai. Inilah salah satu proyek pusat yang mubazir dan telah terbengkalai selama dua tahun. ‘’Kalau saya, yang penting jalan dulu yang bagus, baru buat dermaga. Kalau jalan tak ada, kapal siapa yang mau singgah ke dermaga?” ungkap Annas. Untuk itu, kini, akses jalan Panipahan-Pedamaran sejauh 78 Km tengah digesa.
Pudarnya kejayaan ikan di Bagansiapi-api juga berdampak pada usaha galangan kapal. Para pembuat perahu yang dulu dengan mudah bisa ditemukan di sepanjang tepian Sinaboi, Panipahan ataupun Pulau Halang, kini telah rontok satu per satu. Menurut salah seorang pembuat perahu tradisional di Sinaboi, Arif, jika bahan baku cukup, sebuah kapal pompong ukuran sedang bisa dikerjakan dalam waktu paling lama satu bulan. Ia pun mengakui jika kini pemesanan perahu tradisional tak lagi sebanyak dulu. Paling-paling hanya ada tiga atau empat pemesan setahun. ‘’Jika tak ada yang memesan perahu, saya kerja pergi melaut,’’ ujar Arif.
Padahal, dulunya, perahu /kapal buatan Bagansiapi-api sempat mendapat nama di sejumlah negara di rantau Asia bahkan sampai ke Amerika. Itu karena produknya teruji tangguh hampir di semua karakter lautan. Tidak hanya untuk kelas pompong, tapi juga untuk kapal penangkap tuna jenis trawler yang berbobot ribuan ton. Apalagi jika untuk dipakai di perairan berlumpur, seperti khasnya daerah perairan Bagansiapi-api atau wilayah pesisir lainnya. Selain karena turunnya pasokan ikan, usaha galangan kapal juga makin sekarat setelah diterjang oleh sulitnya memperoleh bahan baku akibat hutan gundul dan UU Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan (HPH) dikeluarkan.
Tetapi, apapun upaya itu namanya, pemberdayaan pada nelayan tempatan adalah hal yang mutlak dilakukan sehingga kejayaan Bagansiapi-api sebagai surga ikan tidak cuma tinggal kenangan. Jika bang liau sudah tak amis lagi, para nelayan pun hanya akan jadi olok-olokan sang camar.***
Tulisan ini dibuat pada tahun 2010.