Suatu hal yang menarik dalam tiap lembaga pendidikan yang didirikan oleh Tuanku Tambusai ialah bagaimana para muridnya tidak hanya mendapat PELAJARAN dan BUDI PEKERTI, tetapi juga telah ditempa sekaligus menjadi seorang PRAJURIT yang tangguh. Kemampuan Tuanku Tambusai membina para muridnya menjadi prajurit yang MILITAN tentu banyak dipengaruhi oleh kemampuan ulama ini dalam memberikan pelajaran dan pendidikan dengan kadar yang memadai, lalu dilengkapi dengan penampilan yang ALIM JUJUR, TEGAS sehingga berwibawa terhadap murid-muridnya.
Keberhasilan Tuanku Tambusai menempa murid-muridnya menjadi prajurit menjadi faktor penting bagaimana ulama ini akhirnya menjadi seorang PANGLIMA PERANG melawan Belanda antara 1833-1839 M. Ulama ini telah berhasil membentuk pasukan sekitar 7.000 orang. Disamping itu telah dapat pula dibinanya beberapa panglima sebagai pembantunya seperti Imam Perang Muhammad Jawi, HM Saman, Jumadil Alam dan Kali Alam.
Setelah Tuanku Tambusai menjadi ulama meliputi daerah Minangkabau (Rao, Bonjol), Mandailing dan negeri Tambusai di Riau, maka tiap tempat telah merupakan BASIS kekuatan perang. Sebelum perlawanan dilakukan, terlebih dahulu telah dibuatnya sejumlah BENTENG secara BERANTAI, mulai dari Mandailing sampai ke Tambusai. Tuanku Tambusai tampaknya sudah memperkirakan bahwa peperangannya melawan Belanda akan memakan waktu yang panjang (dan memang cara yang demikian yang akan dipakai agar meletihkan Belanda) sebab akan cukup sulit mengalahkan Belanda yang telah dibantu oleh sejumlah orang Indonesia sendiri yang menjadi pengkhianat, sehingga kelak posisi akan lebih cenderung bertahan. Benteng-benteng itu telah dibuat demikian rupa, sehingga ada yang DIPAGARI dengan AUR DURI dan memudahkan Tuanku Tambusai dan pasukannya BERPINDAH dari benteng yang satu ke benteng yang lain untuk bertahan dan melakukan serangan.
Jika kita perhatikan bagaimana jalannya peperangan, maka bisa kita lihat lagi bagaimana ULAMA YANG PANGLIMA ini menggunakan pengetahuan ilmu bumi dalam strategi perang. Peta daerag segitiga (Rao, Mandailing dan Tambusai) telah diperhitungkan oleh Tuanku Tambusai di atas PAPAN CATUR MEJA PERANGNYA.
Kemampuannya membina muridnya menjadi pasukan perang, menguasai peta bumi dan membuat benteng-benteng, telah berpadu demikian rupa oleh kekuatan psikologis yang terpancar dari dirinya. Dia membangun semangat yang tinggi terhadap murid-muridnya, sehingga MATI TIDAK LAGI DIPANDANG SEBAGAI TRAGEDI KEHIDUPAN, tetapi sebagai suatu sukses besar dalam menunaikan tugas hamba Allah. Pada tingkat kemanusiaan, mati menjadi lambang kejantanan lelaki, sedangkan pada tingkat pengabdian terhadap Ilahi merupakan amal yang amat mulia tiada tara.
Itulah beberapa faktor tentang tingkah laku dan sosial budaya Tuanku Tambusai, yang telah menjadi penyebab bagaimana hebatnya perlawanan yang bisa diberikan oleh Tuanku Tambusai sebagai pejuang, sehingga Belanda sendiri sampai menggelarinya sebagai HARIMAU ROKAN.
(Islam dan Masyarakat Melayu, UU Hamidy)