Faktor KEJUJURAN dan KEIKHLASAN berpilin dengan baik pada hidup yang SEDERHANA, sehingga perhitungan waktu (dalam arti eknomis) sering diabaikan. Inilah yang dilihat oleh Mahathir Mohamad sebagai suatu KELEMAHAN orang Melayu dalam mencernakan agama Islam. Menurut Mahathir, waktu kurang berharga untuk kehidupan orang Melayu (Dilema Melayu, Mahathir Mohamad).
Sebenarnya, bukan WAKTU dipandang tidak BERHARGA oleh orang Melayu. Jika dipandang dari kacamata perhitungan ekonomi memang bisa dibaca demikian. Mempergunakan waktu yang hanya terarah untuk mencari HARTA benda dipandang sebagai jalan hidup yang TIDAK BAIK oleh orang Melayu.
Hidup cukuplah mencari harta benda, minum makan sekadarnya saja. Kalau sudah ada rezeki hari ini, hari besok jika masih hidup, niscaya juga ada rezeki dari Tuhan. Janganlah memandang hari esok dalam perhitungan harta benda, tetapi pandanglah dalam AMAL SALEH, sebab besok itu kita mungkin sudah MATI.
Jalan hidup yang ideal dalam pandangan Melayu (tradisional) ialah mencari harta SEKADARNYA, sehingga sebagian besar waktu bukan HABIS oleh mencari harta dunia ini, tetapi dipergunakan untuk BERAMAL dan BERIBADAH kepada Tuhan sebanyak-banyaknya. Harta yang banyak segera menjadi BEBAN dan sekaligus menjadi penghambat.
Dari JALAN HIDUP serupa itu, kita dapat lagi menyelami lebih jauh bagaimana orang Melayu membuat KONSEP tentang dunia, sebagai hasil penafsiran mereka terhadap agama Islam. Ketika agama Islam menyebut dunia sebagai COBAAN bagi orang-orang yang beriman, maka orang Melayu membuat suatu ubah-suai dengan mengatakan ‘’DUNIA untuk ORANG KAFIR, AKHIRAT untuk orang ISLAM’’.
Karena mereka memandang diri mereka sebagai orang Islam, maka dunia mereka pandang sebagai PADANG PENDERITAAN, untuk mendapatkan kelak surga kemudian hari, sebagai balasan atas segala kebajikan mereka dari Tuhan Seru Sekalian Alam.***
(Ketakwaan Orang Melayu, UU Hamidy)