Home / Bunga Rampai / Martir, Oleh: Purnimasari

Martir, Oleh: Purnimasari

Orang-orang kecil sejatinya punya banyak andil dalam kehidupan orang-orang besar. Lumpur Lapindo yang mengazab warga Sidoarjo sedikit banyak punya andil dalam kerajaan bisnis Grup Bakrie. Tanah ulayat dalam bentuk rimba simpanan telah habis dilanyau HPH dan HTI yang telah membesarkan usaha perusahaan bubur kertas. Demi menutup defisit APBN dan melancarkan bisnis migas bagi perusahaan asing, subsidi BBM ditarik.

Ketika sumber daya alam maupun manusia habis terkuras, para pemilik kerajaan bisnis meroket menjadi konglemerat sementara orang-orang kecil justru hidup melarat. Sebagian pengusaha kini telah menjelma menjadi kanker yang menggerogoti dan hidup dari perasan keringat orang-orang kalah.

Di wilayah yang lebih intelek, hal-hal itu seperti juga masih terjadi. Dengan status karyawan kontrak hampir seperempat abad, seorang pekerja tidak memiliki jaminan kesehatan sehingga terpaksa berobat dengan fasilitas Jamkesmas alias layanan kesehatan untuk orang miskin.

Orang-orang kecil ini lalu menjadi martir. Mereka rela menderita bahkan mati dalam memperjuangkan kebenaran. Dalam dunia buruh, ada Marsinah. Dalam dunia pengacara, ada Yap Thiam Hien yang setia di jalan lurus melawan mafia peradilan. Di dunia jurnalis, ada Udin yang kini kasus kematiannya akan segera kadaluarsa. Mereka menjadi saksi atas ketidakadilan.

Di dunia yang lain, sekumpulan orang-orang yang mengaku memperjuangan kebenaran dan membela ketidakdilan justru rapat di hotel berbintang dengan traktiran makan malam oleh pengusaha. Bagaimana bisa timbul gagasan yang bernas dari kemewahan yang memperdaya?

Agaknya, hanya dalam kisah Man of the Steel, ada seorang superhero seperti superman yang memilih berkarir sebagai jurnalis.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memiskinkan negara. Ironisnya, di Indonesia praktik korupsi telah dijalankan dengan sistemik dan terencana. Bahkan modus operandinya kini telah bersalin rupa termasuk dengan kiat membagi-bagi rezeki dengan menerbarkan jaringan pertanggungjawaban. Akibatnya, terciptalah kleptokrasi alias birokrasi yang korup.

Yang tambah menyedihkan, virus ganas korupsi kini bahkan telah menyeret kaum intelektual. Para cerdik pandai yang terlibat rasuah itu kini berkecimpung di lingkaran kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan partai politik. Para cendekiawan yang harusnya menjadi ‘nabi’ untuk persoalan moralitas dan etika, kini menjadi tersangka korupsi dan duduk di kursi pesakitan. Para intelektual ini telah tercerabut dari habitatnya yang seharusnya giat memperjuangkan kebaikan, mengendalikan hasrat mementingkan diri sendiri serta fokus pada perjuangan terhadap nilai-nilai moral dan norma-norma yang luhur. Merekalah yang harusnya tampil sebagai pejuang kebenaran, penegak keadilan dan sumber inspirasi.

Para intelektual ini terperosok rasuah karena terjebak dalam gaya hidup konsumerisme, hedonisme dan materialistik. Mereka hanyut oleh gaya hidup gemerlap, serba wah dan menimbun harta untuk anak cucu. Sayangnya, semua itu dibiayai oleh jalan yang tidak halal.

Maka (sekali lagi) terbuktilah kalimat abadi Lord Acton (1834-1902), seorang anggota parlemen Inggris, bahwa ‘’ kekuasaan itu cenderung disalahgunakan’’.***

Check Also

Spesialis Pemeran Pengganti, Oleh : Purnimasari

Adakah yang punya Ayah yang enggan pergi ke undangan (majelis nikah kawin, aqiqah, sunat rasul, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *