1. Mitos Sang Sapurba
Sang Sapurba adalah pewaris terakhir Kerajaan Sriwijaya. Dia punya ambisi memelihara kebesaran kerajaan itu. Maka dia menjelajahi semua bekas kerajaan yang sudah mulai terpecah-belah. Dia melakukan perjalanan mulai dari Palembang, Tanjung Pura sampai ke Lingga dan Bintan, lalu masuk Sungai Kuantan sampai ke Minangkabau. Setiap daerah yang dilaluinya menyatakan sembah setia sebagai rakyatnya.
Sriwijaya adalah kerajaan maritim terbesar di Nusantara, yang berjaya hampir lebih dari 300 tahun. Karena itu kebesaran Sriwijaya yang disangkutkan di bahu kekuasaan Sang Sapurba, menimbulkan bayangan bahwa Sang Sapurba tidak lagi sebatas manusia biasa, walaupun masa itu, alam Melayu sudah mulai mendapat sinar cahaya Islam. Tak heran, jika Sang Sapurba-lah raja Melayu yang mendapat panggilan Yang Dipertuan sementara rakyat menyebut dirinya patik, yang berarti anak anjing yang belum celak (pecah matanya).
Sang Sapurba harus tampil punya kelebihan daripada orang kebanyakan bahkan dengan kemegahan yang luar biasa. Dia harus menakjubkan dari segala penjuru kehadirannya. Pada masa dulu, sebelum agama Islam dominan dalam dunia Melayu, kehebatan kekuasaan raja ditampilkan dengan bahasa kesaktian. Sementara setelah Islam bersemi, kelebihan manusia karena berkat kesalehannya disebut dengan kata keramat (karomah).
Maka kalau kita baca Sulalatus Salatin karangan Tun Sri Lanang, yang lebih terkenal dengan Sejarah Melayu, akan dapat kita jumpai bagaimana kebesaran kekuasaan yang disandang Sang Sapurba, sebagai keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Kekuasaannya bisa ujud dalam bentuk kesaktian. Kesaktian adalah tindakan luar biasa dari seorang tokoh, melebihi kemampuan manusia biasa. Maka kesaktian yang bersifat super natural itu dengan segera berubah menjadi mitos, yang kemudian menjadi kenangan akan kejayaan masa silam.
Bagaimanapun juga, kesaktian Sang Sapurba dalam dunia Melayu, namun tetap diletakkan berada di bawah kekusasan Allah, sehingga dia tidak sampai didewakan oleh orang Melayu. Dengan kata lain, kesaktian Sang Sapurba tetaplah bersandar pada Allah Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya untuk menampilkan kesaktian Sang Sapurba dipakai rangkai kata ’’dengan takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala’’.
Ketika Sang Sapurba dengan saudaranya turun dari Bukit Siguntang Mahameru pada malam hari, maka tampak bernyala-nyala seperti api di atas bukit itu. Setelah hari siang, dua orang yang membuat huma (ladang) yakni Wan Empuk dan Wan Malini, melihat padinya berbuahkan emas, berdaun perak serta berbatang tembaga. Inilah buktinya dalam bayangan mitos, betapa Sang Sapurba, bukanlah anak raja sembarang raja.
Kesaktian Sang Sapurba lebih mengherankan lagi. Betapa tidak, semua anak gadis putri raja yang dikawininya malam hari, akan kena kedal tulah (seperti kena campak) pada pagi harinya. Sewaktu rombongannya kekurangan air minum di muara Sungai Kuantan (Sapat) maka Sang Sapurba mencelupkan kakinya ke dalam air masin, lalu kemudian air berubah menjadi tawar. Lalu yang ke lima Sang Sapurba menampilkan kekuatan semangat jiwanya dengan membunuh ular Saktimuna di Kuantan. Ular ajaib itu tidak perlu dibunuh selalui tangan sang raja. Cukup memakai kerisnya yang bernama Corek Semandang Kini. Setelah dipakai oleh hulubalang Permasku Mambang keris itu, maka ditetaknya penggal tiga ular itu, lalu mati.
Maka Demang Lebar Daun sebagai seorang raja Palembang ketika itu, juga khawatir jika putrinya Wan Sendari dipersunting oleh Sang Sapurba akan kena kedal pula. Maka Demang Lebar Daun meminta Sang Sapurba bersedia berwadat (bersumpah) sebelum mengawini putrinya. Maka ujudlah sumpah Sang Sapurba dengan Demang Lebar Daun yakni Raja Sang Sapurba dan anak keturunannya tidak akan menghina rakyat, sedangkan rakyat Melayu di pihak Demang Lebar Daun, tidak akan durhaka kepada raja. Maka sejak sumpah itu, Sang Sapurba dipanggil dengan Yang Dipertuan dan rakyat menyebut dirinya Patik. Sang Sapurba hanya dapat membunuh rakyatnya, jika melakukan dosa besar dan harus memakai hukum syarak.
Maka terjadilah keajaiban setelah bersumpah-sumpahan atas nama Allah itu. Ternyata Wan Sendari setelah menjadi permaisuri Sang Sapurba, tidak kena kedal tulah. Maka amatlah sukacita Demang Lebar Daun. Diresmikanlah oleh Demang Lebar Daun, Sang Sapurba menjadi Yang Dipertuan untuk seluruh tanah Melayu, sedangkan dia bertindak sebagai mangkubumi.
2. Kekuasaan Menikam Cinta
Cerpen ‘’Sayap Cinta Sang Sapurba’’ karangan Hang Kafrawi, termuat dalam Seikat Dongeng Tentang Wanita, antologi cerpen pilihan Riau Pos tahun 2004 dengan editor Hary B Kori’un. Cerpen ini terkesan telah bertumpu pada pelangi mitos Sang Sapurba, seorang tokoh yang amat terkenal dalam dunia Melayu masa silam. Kegiatan kreatif imajinatif Hang Kafrawi tampaknya telah dipanaskan oleh mitos perkawinan Sang Sapurba dengan sejumlah putri raja, sampai dia merpersunting Wan Sendari.
Sungguhpun begitu, jika dibandingkan mitos atau kesaktian Sang Sapurba dalam Sulalatus Salatin dengan cerpen tersebut, akan terbaca bahwa dalam cerpen ‘’Sayap Cinta Sang Sapurba’’, pengarang telah menggeser mitos perkawinan tersebut. Hang Kafrawi menggesernya mendekati ‘’Kisah 1001 Malam’’ dalam Kisah 1001 Malam, sang raja telah membunuh pada pagi hari, tiap perempuan yang telah dikawininya pada malam hari. Ini dilakukan oleh Sang Raja, karena dia tak percaya lagi kepada perempuan, setelah terbukti permaisurinya berbuat serong, sewaktu dia pergi berburu ke luar istana. Perbuatan zalim raja ini baru berakhir setelah dia memperisteri anak wazirnya yang amat pandai bercerita, sehingga sampai bercerita 1001 malam. Sang Sapurba juga digambarkan oleh Hang Kafrawi mirip seperti itu, sampai Sang Sapurba mempersunting Wan Sendari.
Dalam dunia kreatif imajinatif, keadaan serupa itu boleh-boleh saja. Sebab dunia karya kreatif imajinatif tidaklah berpijak sepenuhnya kepada kenyataan. Sedangkan di pihak lain karya serupa itu memperlakukan kenyataan dengan tukuk-tembah, melalui kekuatan pembayangan pengarang, agar dapat ditampilkan suatu karangan yang indah serta menarik. Jadi, jika Hang Kafrawi telah memanfaatkan jalan cerita Sang Sapurba lalu memberi sentuhan ‘’Kisah 1001 Malam’’, itu sepenuhnya menjadi kebebasan dia sebagai pengarang.
Lalu apa yang menarik dari mitos perkawinan Sang Sapurba dengan Wan Sendari dalam cerpen ‘’Sayap Cinta Sang Sapurba’’? Hang Kafrawi ternyata tidak memakai mitos kena kedal tulah, tiap perempuan yang dikawini Sang Sapurba. Pengarang justru mengatakan Sang Sapurba membunuh tiap perempuan itu. Dengan demikian Sang Sapurba benar-benar amat kejam terhadap perempuan yang sudah ‘dinikmatinya’ tanpa alasan sedikitpun seperti tindakan sang raja dalam ‘’Kisah 1001 Malam’’.
Dengan peristiwa itu pengarang terbayang hendak menggambarkan betapa kekuasaan membuat orang bertindak kejam. Sang Sapurba dalam cerpen terlukis sebagai seorang raja yang angkuh, bahkan hedonis, sehingga Wan Sendari merasakan tangan Sang Sapurba sebagai tangan yang akan mencabut nyawanya. Sedangkan dalam pikiran Sang Sapurba, siapa yang mou jadi isterinya, berarti bersedia menerima kematian, sebab semua perempuan yang sudah digauli akan segera dibunuh.
Namur Wan Sendari bukan takut mati, sebagaimana dia bicara ‘’Saya bukan takut kematian, tetapi kesia-siaanlah yang saya takutkan.’’ Wan Sendari justru bangkit dengan keberanian yang menyala-nyala, keberanian untuk hidup. Dengan sikap Wan Sendari serupa itu, nalar Sang Sapurba mulai bergerak. ‘’Aku tidak pernah mengharapkan terlahir sebagai keturunan Raja Iskandar Zulkarnain, tetapi suratanlah yang membawa aku mengenakan jubah kebesaran ini. Aku tahu setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, tapi aku juga punya hak untuk menikmati hidup ini.’’
Jadi inilah rahasia kekejaman Sang Sapurba, Dia mendukung mitos terlalu besar, yakni keturunan Iskandar Zulkarnain, raja yang pernah menguasai dunia sampai matahari terbit. Jika demikian, bagaimana Sang Sapurba sebagai pewaris akan menampilkan dirinya lemah lembut. Sebab lemah lembut bukanlah sifat kekuasaan. Kekuasaan hampir tak dapat menikmati kelembutan dan ketenangan. Lantas Wan Sendari membalas, ‘’Menikmati hidup bukan berarti mengurbankan hidup orang lain.’’
Dengan terbukanya dialog antara Wan Sendari dengan Sang Sapurba, maka keangkuhan kekuasaan yang tersisip di dada Sang Sapurba telah mulai luntur. Akibatnya wajah Wan Sendari semakin cerah, sebagaimana diperlihatkan oleh air matanya yang jernih. Dalam suasana yang demikian, Wan Sendari dengan cepat meluncurkan kata bersayap ‘’Tuan hamba adalah burung sedangkan hamba adalah sayapnya. Burung tidak akan terbang, jika sayapnya luka apalagi patah.’’ Tapi Sang Sapurba memandang kata-kata itu mengajari dirinya, sementara ego kekuasaannya belum lagi luntur sepenuhnya. Maka Sang Sapurba mengambil kerisnya hendak menikam Wan Sendari. Tetapi semakin dekat keris itu ke dada Wan Sendari, perempuan itu justru tertawa, sehingga Sang Sapurba tersentak menahan tindakannya.
Inilah sebabnya mengapa isteri-isteri Tuan hamba mati, setelah berhubungan suami isteri. Kekuasaan dan kesewenang-wenangan Tuan hambalah penyebab segalanya. Tuan hamba memaksakan kekuasaan kepada cinta. Kalau hamba dianggap mengajari Tuan hamba, maka di dada ini telah siap menerima keris Tuan hamba. Dan hamba rela karena kebenaran sudah hamba ucapkan.
Sang Sapurba akhirnya mengakui apa yang diucapkan Wan Sendari adalah kebenaran, sebagaimana terlukis pula dari air matanya yang jenih, karena begitu dalam penghayatannya. Dia minta diberi tanda agar dapat mengerti bagaimana cara menuju kebenaran itu. Dengan bersemainya kebenaran pada hati sanubari Sang Sapurba lewat perkataan yang disampaikan oleh Wan Sendari dengan piawai, maka Wan Sendari terlepas dari pembunuhan. Sang Sapurba dan Wan Sendari hidup bahagia, karena bisa berlayar dengan kebenaran mengharungi lautan kehidupan.
3. Kekuasaan Harus Dipandu dengan Kebenaran
Jika diamati sampai ke selasar, maka ada perbandingan yang menarik antara mitos Sang Sapurba dalam Sulalatus Salatin dengan ‘’Sayap Cinta Sang Sapurba’’. Benang merahnya ialah mitos kekuasaan Sang Sapurba hanya dapat dilunturkan dengan kebenaran. Mitos kekuasaan hanya dapat dilawan dengan kontra mitos kebenaran. Kekuasaan dengan sifatnya yang kasar, angkuh dan garang akan dapat diredam oleh kebenaran yang tampil dengan gaya yang lembut, tenang dan menyenangkan. Kebenaran niscaya lebih hebat dari kekuasaan. Sebab kekuasaan hanya bagaikan kabut yang menghalangi pemandangan, sementara kebenaran bagaikan hujan yang akan menyapu kabut, sehingga muncul udara yang jernih dengan awan yang indah.
Dalam cerpen ‘’Sayap Cinta Sang Sapurba’’, Hang Kafrawi telah melunturkan ego keangkuhan Sang Sapurba lewat dialognya dengan Wan Sendari. Wan Sendari mendapat celah menyisipkan kebenaran dalam ucapannya. Peristiwa itu bagaikan membangunkan Sang Sapurba dari mimpi kekuasaannya. Wan Sendari seakan hendak menegaskan kekuasaan tanpa kebenaran, bagaikan burung yang patah sayapnya — sebagaimana terkilas dalam perkataannya tentang hubungan Sang Sapurba (sebagai suami) dengan dirinya (sebagai isteri).
Sementara dalam Sulalatus Salatin mitos kekuasaan Sang Sapurba telah diberi bingkai, dengan membari batas kepadanya dalam memegang teraju kekuasaan. Tak mungkin lagi dia mengedepankan hawa nafsunya, karena tugasnya dengan kekuasaan adalah memelihara hamba sahaya rakyatnya daripada segala bentuk penindasan. Untuk kepentingan tugas yang utama ini dia bersumpah tidak akan menghina rakyatnya. Jika sumpah ini dilangkahinya, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala, insya Allah akan membalikkan bubungan rumahnya ke bawah, kaki tiangnya ke atas. Jika ada raja Melayu yang memberi aib kepada rakyatnya, alamat negeri akan binasa.***