Ada satu tradisi di keluarga kami yang mungkin aneh bagi sebagian orang : pergi berbelanja (ke pasar) adalah urusan suami.
Belanja? Iya.
Ke pasar tradisional? Ya iya lah.
Kalau cuma ke supermarket mah yang bisa juga banyak.
Di rumah kami, urusan belanja ke pasar adalah hak prerogatif Ayah.
Dulu, masa kami masih kecil-kecil, Ibu dan Ayah selalu berdua belanja ke pasar. Jadwal tetap untuk belanja mingguan adalah tiap Ahad pagi. Hanya sekali seminggu.
Ketika tinggal di Sukajadi, rumah kami relatif dekat dengan pasar di Jalan Durian. Jadi, urusan belanja senang saja. Tinggal jalan kaki, sampai.
Setelah pindah rumah, pasar terdekat adalah Pasar Cik Puan. Tiap Ahad pagi, Ibu sudah siap sedia dengan tas belanja dari anyaman daun mengkuang yang disampirkan di bahunya. Ayah pun siaga pula mengantarkan dengan Vespa.
Karena hari Ahad adalah hari ke pasar, maka menu hari itu pun istimewa. Biasanya Ibu akan menanyakan selera anak-anak. Mau ayam kecap? Gulai ayam dengan kentang? Makan tengah hari tiap Ahad adalah masa menjamu selera.
Seiring waktu, ketika anggota rumah kian menyusut, Ayah membuat keputusan anti mainstream : urusan belanja adalah tanggung jawabnya. Ibu silakan duduk manis di rumah saja.
Mengapa Ayah mengambil keputusan itu? Kata Ayah, “Sebenarnya, orang lelaki ke pasar ni bukan hal baru. Orang Melayu zaman dahulu, yang belanja ke pasar tu suaminya, bukan istrinya.”
Okeh, mari kita hidup ala orang-orang zaman dulu.
Dan ternyata, bukan hanya lelaki Melayu yang ke pasar. Usut punya usut, para pejantan tangguh di Hadramaut juga melakukannya. Para suami tak gengsi pergi belanja, sementara anak dan istri menanti dalam mobil. Kalau ada yang salah atau kurang, Pak Suami tinggal balik lagi. So sweet nggak tuh bu ibu.
Dan Ayah adalah orang yang sangat cermat. Sebelum ke pasar, dia akan memikirkan nanti mau parkir mobil di mana dan punya tempat parkir favorit. Daftar belanja juga tentu tidak ketinggalan. Bahkan, uang tukar kecil pun juga disiapkan. Kalau celengan uang koin sudah penuh, tukarlah dengan Ayah. Beliau akan gembira karena uang kecil itu akan memudahkan urusannya di pasar.
Karena aktivitasnya yang ganjil ini, Ayah jadi punya banyak kenalan di pasar. Siapa lagi kalau bukan para pedagang langganannya. Tukang cabai, tukang bawang, tukang bumbu dan tukang sayur senang menyapanya. Mereka suka karena Ayah belanja hampir tidak pernah menawar. Bahkan, tukang ikan sampai memanggil beliau dengan sebutan “ayahanda”.
Kami di rumah pun sesekali dapat siaran berita dari Ayah tentang apa yang menjadi topik hangat di pasar. Oohhh ternyata jalan putus, makanya harga cabai jadi mahal. Atau bagaimana pedagang membuat akronim yang lucu sekaligus satire untuk senda gurau ketika berniaga.
Ketika dua lelaki kecil kami kian besar, mereka ikut dengan Datuk belanja ke pasar. Trio ini pun akhirnya dikenal pula oleh orang-orang di pasar. Tugas dua asisten ini tentu saja membawakan belanja. Mereka juga senang karena nanti ditraktir kue-mue jajanan pasar atau dibelikan mainan.
Si nomor dua (yang lebih aktif bebual) menceritakan bagaimana meriahnya orang-orang di pasar menyapa Datuknya. “Sehat Tuk?” “Beli apa Tuk?” “Ini ada ikan lomak untuk Ayahanda.”
Dan dia baru sadar ternyata Datuknya itu selalu mengelompokkan duit sesuai nilai tukarnya. Apalagi ‘dompet’ Datuk sungguh unik. Tidak akan pernah ada dijual di pasar. ‘Dompet’ Datuk adalah amplop bekas. Di dalamnya nanti dibuat semacam partisi dari kertas untuk mengelompokkan uang sesuai nilai tukarnya.
Dan, si nomor dua berani-beraninya protes, “Kenapa dompet Datuk jelek?”
Si Datuk malah balik bertanya, “Dompet tu yang penting apa?”
“Apanya Tuk?”
“Dompet tu yang penting isinya, bukan bentuknya.”
Lalu dengan gagahnya dia lapor pada Ibunya, “Aku nanti mau jadi kayak Datuk aja. Biar dompet jelek, tapi banyak isinya. Buat apa dompet bagus tapi ndak ada isinya. Dompet Datuk, jelek-jelek gitu, banyak uangnya. Uang merah (pecahan Rp100 ribu) pulak lagi tuh. Widiiiihhh…”
Apakah tanggapan Ibu soal perangai suaminya yang hobi ke pasar? Ibu adalah tipe perempuan taat suami dan cinta damai. Walaupun kadang Ibu kurang berkenan dengan kualitas bahan makanan yang dibeli Ayah, Ibu paling-paling hanya diam saja.
Ya namanya saja lelaki yang belanja. Apalagi belanjanya di pasar tradisional yang kualitas produknya sangat beragam. Belum lagi kadang, bahan makanan itu bukan dipilih sendiri oleh Ayah. Tetapi dipilihkan oleh si pedagang. Dan tentu saja kembali ke niat baik si pedagang. Apakah dia akan memberikan yang terbaik atau bukan.
Pernah sekali, belanja Ayah ketinggalan. Sesampai di rumah, plastik asoy berisi ikan tak kunjung ditemukan. Penat mencari tiada bersua. Kucing di rumah yang menjadi tersangka utama sudah pasang wajah tak berdosa. Akhirnya terpikir, jangan-jangan tertinggal di pasar. Pas balik lagi, ternyata si asoy masih duduk manis di meja tukang ikan. Bahkan si penjual pun tak sadar kalau ikan itu ketinggalan.
Ibu juga jarang mau tau harga barang. Bukannya apa-apa. Hampir sebagian besar barang yang Ayah beli harganya memang agak kemahalan. Khususnya untuk standar ibu-ibu yang kadang untuk Rp50 aja rela nawar sampai tegang urat leher. Jadi, biar sajalah kemahalan. Toh yang beli juga uang Ayah. Tak perlu pening kepala.
Bagi Ibu, bergaduh di rumahtangga, apalagi cuma untuk hal-hal kecil, sedapat mungkin dihindari. Bersyukurlah punya suami yang mau belanja ke pasar. Enak kan tak perlu berbecek-becek di pasar basah.
Kadang pula, Ayah suka ‘pamer’ kehebatannya belanja di pasar.
“Tukang ikan tu, kalau sudah lihat aku, padahal masih jauh, sudah digamitnya. Ayahanda, ini ada patin kunyit khusus untuk Ayahanda.” (Ya iya lah, namanya juga pedagang. Masa ada pembeli mau dimarahi?)
“Lihat nih, sebagus ini pepaya, aku dapat murah di pasar.”
Dan Ayah tidak hanya membantu setakat belanja ke pasar. Percaya tak percaya, Ayah membantu Ibu dalam proses masak memasak sejak dari hulu hingga hilir.
Nanti, saat akan memasak, Ayah akan memotong sayur dan menggilingkan cabai. Ibu praktis hanya tinggal cemplang-cemplung. Bahkan kadang, memeras santan pun juga Ayah. Berdua mereka memasak sambil mendengarkan siaran radio Hidayah 103,4 FM.
Jangan tanya kenapa Ayah menjadi lelaki seperti ini. Selain karena rahmat dan berkah Allah yang paling utama, tentu saja karena didikan orangtuanya. Masa kecil, Ayah hidup berdua dengan Bapaknya dalam rimba. Setelah itu merantau sekolah ke mana-mana. Jadi urusan betanak menggulai sudah tak canggung lagi.
Awal ‘70-an, ketika baru menikah dulu, Ayah dicemooh oleh orang-orang di kampung. Pasalnya, Ayah mengangkutkan air di Batang Kuantan untuk keperluan Ibu di rumah. Dalam pandangan orang ketika itu (dan mungkin juga masih sekarang), suami yang membantu istrinya (terlebih untuk hal pekerjaan rumah tangga) adalah lelaki yang hilang marwahnya. Lelaki macam ini dikatakan lelaki yang diperbudak istri. Padahal, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun melakukannya.
Ayah dan pasar adalah salah satu hal yang tak dapat dipisahkan. Ketika lelaki-lelaki kecil kami sudah merantau, para pedagang di pasar sibuk bertanya-tanya, “Ke mana cucunya ndak ikut lagi Tuk?”
Dan saat pulang liburan, anak-anak pun senang bisa kembali menemani Datuk ke pasar.
Kini, sejak pandemi, aktivitas ke pasar otomatis berhenti. Sudah kurang lebih 1,5 tahun Ayah tak pernah ke pasar lagi. Sekarang, tinggal telepon orang kedai, pesan, dan belanja akan diantarkan ke rumah besok pagi.
Dan kini, dalam fase hidup yang lain lagi, kebiasaan Ayah berbelanja ke pasar adalah salah satu berkah dan hikmah terbesar dalam kehidupan keluarga besar kami. Alhamdulillah ala kulli hal.***