Metafor mempunyai dua sisi. Pada satu sisi dia memberikan perlambangan sedangkan pada sisi yang satu lagi diberikannya kiasan. Oleh sifatnya yang demikian, metafor memberikan kepada kita sesuatu yang ganda. Dia tidak hanya sekedar menunjukkan, tetapi juga memberikan hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Keadaannya yang serupa itu, amat menentukan baginya dalam kehidupan manusia.
Kemampuan dan sifatnya yang demikian, menyebabkan metafor telah menjadi suatu cara atau gaya oleh manusia untuk menyampaikan ekspresinya. Gaya ini mendapatkan tempat yang demikian rupa, sehingga sejarahnya barangkali hampir bersamaan dengan timbulnya pandangan ganda serta pikiran yang analogis dalam tindak rasa dan pikiran manusia.
Metafor sekali lagi harus disebut sebagai perlambangan dan kiasan. Sebagai perlambangan dia berarti menggantikan sesuatu atau mewakili sesuatu. Sebagai kiasan berarti dia memberi saran atau arah dari sesuatu yang biasa kepada sesuatu yang lain. Dari yang tersurat kepada yang tersirat.
Dengan demikian, metafor merupakan satu cara, bagaimana manusia telah menghindarkan cara yang terus terang, kepada cara yang ‘tersembunyi’. Dalam hal ini, jika kita salah faham, kita akan tergesa-gesa memandang betapa metafor memberi petunjuk akan sifat rendah diri serta serba ketidakmampuan. Itu suatu hal yang perlu ditinjau kembali. Sebab, dalam realitas ekspresi manusia, ternyata tidak semua manusia mampu mengapresiasi metafor dan lebih dari itu, tidak semuanya dapat membuat metafor dalam tindakan yang ekspresif.
Dengan demikian, kemampuan manusia membuat metafor dalam budayanya adalah suatu cara untuk memperhalus budi bahasa manusia itu sendiri. Anda hendaklah tahu, tidak segalanya yang terus terang itu indah. Tidak semua yang terus terang itu memberikan kesan yang positif. Ada sisi ekspresi yang tidak layak disampaikan dengan terus terang. Dalam ketidakterus-terangan itu kita mendapatkan sesuatu nilai, yang justru lebih besar nilainya daripada yang disampaikan dengan terus terang. Di situlah kancah metafor itu.
Pendukung kebudayaan Melayu, baik pengertian Melayu dalam arti kawasan Nusantara yang masih tergolong ke dalam satu rumpun bahasa (yaitu bahasa Melayu-Polinesia) dan terlebih-lebih pengertian Melayu untuk kawasan yang menunjuk kepada Semenanjung Tanah Melaka serta pesisir timur pantai Sumatera, merupakan daerah pemakaian metafor yang amat menarik diperhatikan. Dalam tindak kehidupan sehari-hari, tidak sedikit jumlah metafor yang telah dipakai, sebagai wakil dari ekspresi serta cara berkomunikasi.
Bermacam bentuk keris, besar dan panjang pendeknya, telah mewakili suatu makna sosial. Warna-warna telah ditentukan dalam kerajaan-kerajaan Melayu dengan maknanya masing-masing. Rasa kebencian dan penyesalan juga telah disampaikan melalui metafor-metafor oleh duta-duta kerajaan kepada kerajaan tetangga.
Kita sering memandang sejarah, betapa dia berkisar karena suatu tindakan yang lancang dari seorang agresor. Tapi jika kita mau lebih teliti, agaknya sejarah lebih sering bergeser hanya oleh sebuah metafor saja.
Anda, begitulah cara ekspresi atau kualitas ekspresi telah mengambil tempat dalam kehidupan kita. Kita sering tidak memperhatikannya, karena kita telah pongah mengatakan kepada diri kita, ‘’Wahai kau yang gagah dan anggun, kau hanya akan menghadapi yang besar dalam hidup ini. Kau bukanlah orang sembarangan.’’
Meskipun demikian, dengan tidak begitu menyenangkan, Anda saya bawa juga untuk memperhatikan sejenak segala sesuatu yang telah dan masih berlangsung itu. Dia kita lihat dalam sisi yang kecil saja. Metafor dalam kasih sayang.
Anda boleh membayangkan, bagaimana suatu perasaan dan suasana kasih sayang. Anda juga dapat membayangkan, bagaimana jika gelora kasih sayang disampaikan dalam bentuk bahasa verbal keseharian. Anda bayangkan, ucapan kasih sayang yang berterus terang dalam ucapan yang datar tanpa lambang dan kiasan. Kemudian Anda bandingkan penyampaian kasih sayang yang metaforik, yang singgah di lubuk hati Anda melalui suatu proses perlambangan.
Penyampaian yang pertama dengan mudah dipahami, namun dia tidak mampu menggerakkan sukma. Sebaliknya yang metaforik, akan lambat difahami—bahkan buat sekian lama mungkin penuh dengan keraguan dan rasa cemas—namun dia hadir dengan gerakan sukma. Dia menggetarkan bagian yang terhalus dari senar hati kita, oleh karena itu dia datang dengan sesuatu daya gerak.
Ucapan kasih sayang yang keseharian dan datar itu, tidak memberikan irama kehidupan kepada kita. Atau kalaulah ada, riaknya terlalu kecil. Tetapi ekspresi kasih sayang, yang sampai melalui proses metaforik, memberikan alunan kehidupan yang begitu rupa, sehingga kasih sayang itu hadir kepada kita sebagai lambang daripada kehidupan itu sendiri.
Dengan rangkai kata yang terakhir itu, saya hampir hendak mengatakan kepada Anda bahwa ada sisi kehidupan kita yang amat memerlukan metafor. Jika metafor dalam keadaan yang memerlukannya tidak dipakai, maka kehidupan hadir dalam keadaan berkeping-keping. Tetapi ketika dia disampaikan melalui metafor, maka kehidupan akan tampak sebagai alam yang terangkum dalam satu kesatuan yang utuh—dalam bahasa orang yang memandang dirinya di atas angin ‘ekosistem’.
Begitulah, ‘’senyum pertama’’ dalam pertemuan yang awal, sering tak dapat dilupakan. Dalam keadaan serupa itu, senyum pertama telah menjadi suatu metafor. Dia tidak dapat diterjemahkan begitu mudah. Tetapi ketika pandang bertemu pandang. Kemudian disusul dengan tanpa kata, lalu diakhiri dengan senyum oleh perempuan itu, maka sang pemuda, bagaikan runtuh jantung hatinya. Begitulah kekuatan sebuah metafor.
Setelah mesin kapal dihidupkan, sirine dibunyikan. Setelah tanda pertama disusul oleh tanda kedua, lalu akhirnya sirine tanda berangkat, sehingga kapal itu segera menarik sauhnya, dan bergerak pelan menjauhi pelabuhan. Ketika itu anak-anak dan ibunya melambaikan tangan kepada ayahnya. Lambai dibalas lambai, tidak ada kata sedikitpun, sebab pada masa itu lambai yang metaforik jauh lebih final sifatnya daripada kata.
Nanti, tahun akan berganti tahun. Musim akan susul menyusul, sehingga bilangan masa semakin panjang. Masa dan kasih sayang berbanding terbalik. Semakin panjang masa, semakin besar kasih sayang. Metafor hadir dalam bentuk surat-surat. Sungguhpun begitu, surat juga tidak memadai. Anak yang merindukan ayahnya sampai mengigau dalam tidurnya. Kemudian dia tampak lesu dan akhirnya sakit.
Dalam keadaan serupa itu, obat-obat yang dibuat dengan kemampuan hebat otak manusia, sering tidak banyak menolong. Rupanya dengan izin Tuhan, sebuah metafor jauh lebih unggul dari sebuah resep dokter. Ketika selimut ayahnya yang kumal diselimutkan kepada anak itu, dia tampak tidur tidak gelisah lagi. Wajahnya setelah beberapa kali memakai selimut ayahnya itu, tampak makin cerah, sedangkan harapan-harapannya tampak makin bercahaya kembali pada mukanya. Dengan izin Tuhan pengendali alam raya itu juga, sang anak akhirnya mendapatkan kembali kehidupannya yang semula.
Anda, hampir saja saya hendak berucap dengan nada yang lantang, hendak menukikkan metafor itu. Namun berilah saya waktu sedikit lagi. Sejenak saja. Para pendahulu kita telah mencoba mempertahankan martabat dirinya, juga dengan mempergunakan metafor. Bagaimana bisa demikian? Anda lebih arif dari saya tentang masalah kisah kasih sayang itu.
Manusia telah melambangkan cinta dengan laut yang selalu bergelora, namun itu juga bermakna penuh bahaya. Manusia melambangkannya dengan panah, yang juga tiada lain maknanya sebagai tikaman. Bahkan cinta akhirnya dilambangkan dengan api, karena dia dapat mempunyai kekuatan membakar jiwa dan raga manusia. Bayangkan, betapa pada satu sisi kasih sayang tampak sebagai keindahan, tetapi pada sisi lain dia merupakan ancaman dan bahaya yang besar.
Memandang kepada keadaan serupa itulah, orang-orang yang tahu martabat dan harga dirinya, mencoba berhati-hati menerima cinta berlabuh pada hatinya. Dia tidak menerimanya dengan penuh ambisi dalam gejolak raga yang tak terkendali. Ketika dia berjumpa dengan orang yang disayanginya, dia tidak melepaskan kasih sayangnya, dengan tindak jasmaniah yang kasar.
Sebab cara itu, meskipun tampak mengurangi atau dapat mengimbangi kasih sayang dalam batas-batas badaniah, namun membahayakan bagi martabat manusia itu sendiri. Meskipun cinta dan kasih sayang memerlukan yang jasmaniah sifatnya, namun penyampaian yang badaniah itu, ada ketika dan waktunya. Ketika dan waktunya itu telah ditentukan oleh agama dan adat, agar manusia tidak sampai mendapat celaka dan kehinaan dari hasil kasih sayangnya.
Setelah Idrus menulisnovel Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, maka orang berkata ‘’tidak satu jalan ke Roma’’. Ucapan itu sekaligus mengandung metafor, yang memberi saran arti, betapa tersedia banyak jalan untuk mencapai sesuatu maksud dalam hidup ini. Apa yang dikatakan orang ‘’tidak ada jalan lain’’ tidak bisa menghapus kebenaran dalam ‘’bukan satu jalan ke Roma’’. Oleh sebab itu, ucapan ‘’tidak ada jalan lain’’ hanya berlaku pada orang yang tidak kreatif, tidak mau bertolak angsur, atau bagi seorang egois yang tirani.
Begitulah, dalam penyampaian kasih sayang, juga terbuka berbagai jalan. Dari jalan yang paling sadis, kasar, tidak mengenal malu sampai kepada cara yang punya martabat, halus dan tidak merusak budi manusia. Lantas jalan yang terakhir itulah yang telah diterima oleh pendahulu-pendahulu kita masa silam.
Mereka telah mengambil cara yang metaforik untuk menyampaikan kasih sayang, sebelum waktu dan ketika menurut agama dan adat kita memberi izin kepada mereka bersentuhan secara jasmaniah. Penyampaian itu telah berlangsung dari pandang dan gerak yang metaforik kepada baris-baris pantun yang amat mempesona. Tetapi masih ada satu cara lain lagi yang lebih lengkap penyampaiannya, tanpa menimbulkan kerusakan moral kepada sepasang yang berasih sayang itu.
Untuk mengimbangi rindunya yang begitu rupa, sang lelaki lazim dalam tradisi Melayu meminjam kain panjang kepunyaan perempuan yang dicintainya. Kain panjang itu akan menjadi semacam selimut baginya, ketika tidur di surau bersama temannya yang lain. Kain itu akan jadi sumber jenaka dan gelak tawa bagi rekan-rekannya di surau.
Tapi bagi dia sendiri, kain perempuan itu adalah sebuah metafor, sebagai penyampaian kasih sayang perempuan itu secara utuh kepadanya. Dengan kain itu dia dapat membaca lembaran hati perempuan itu. Tetapi juga sekaligus berawalnya kebersamaan mereka dalam hidup, yang kelak akan menghadapi badai dan topan kehidupan, sebagaimana telah dilambangkan oleh kasih sayang.***