Puasa pertama seperti hari ini senantiasa mengingatkan pada setangkai kenangan masa kecil ketika bulan Ramadhan tempo doeloe. Sudah tentu di Pekanbaru.
Hati orangtua mana yang takkan membuncah bahagia jika si cahaya mata berazam mau puasa penuh untuk pertama kalinya? Ikhtiar puasa perdana ini sedaya upaya tentulah harus disokong dengan berbagai cara.
Tapi runsing terselip jua. Akan mampukah bebudak ini bertahan seharian menahan lapar dan dahaga? Berpuasa di salah satu kota yang konon mataharinya paling terik di Indonesia. Panas bedengkang yang bisa jadi membuat kanak-kanak patah arang. Takkan tahan menahan cobaan walau itu hanya segelas air putih biasa.
Maka pagi-pagi, datanglah ide ini dari Allah dalam benak si ayah, “Mari kita pergi raun-raun. Merintang-rintang hari.”
Lantas bertolaklah tiga beranak itu raun-raun pagi. Naik Vespa aduh asyiknya. Si bungsu duduk di tengah dengan gaya kaki ayam. Terompahnya dimasukkan ke dalam plastik asoy. Lalu disangkutkan ke gantungan di bagian depan Vespa. Budak yang seorang ni, tiap edisi ‘makan angin’, selalu ada episode tetidur. Akibatnya, selipar lepas pun tak sadar lagi. Karena sudah banyak ‘sedekah’ sendal di jalan, maka terpaksalah Undang-undang Kaki Ayam ditegakkan. Kalau sudah sampai nanti, baru lah boleh pakai alas kaki lagi.
Tetapi, Pekanbaru awal tahun ‘80-an, ke mana betul lah mau pergi berjalan? Paling-paling hilir mudik Jalan Sudirman dari ujung ke ujung. Sudah itu bingung. Mau ke mana lagi?
Akhirnya si ayah memutuskan, “Kita jalan-jalan ke pasar saja.” Pertama, tentu saja ke pasar paling hebat di masa itu. Pasar Pusat alias Pasar Sukaramai sekarang. Tiga beranak keluar masuk lorong. Tengok-tengok penjual yang sibuk berdagang.
Pasar Pusat khatam. Hari masih ‘pagi’ juga. Pindah lagi ke Pasar Kodim. Keluar masuk lorong lagi. Masih juga belum siang. Pasar Kodim pun tamat. Hari baru mau siang. Pindah pula ke Pasar Pagi di Jalan A Yani.
Akhirnya, hingga menjelang Dzuhur, tiga pasar berhasil dijelajah. Dari tukang baju sampai tukang batu semua sudah dilihat. Dari tukang kain sampai tukang ikan semua sudah disensus. Hanya keluar masuk lorong saja. Tidak ada beli apa-apa.
Nasib baik trio ini tak ‘tersampang’ di lorong tukang jual batu. Di masa itu, ada beberapa lorong yang menghubungkan Pasar Pusat dengan Jalan HOS Cokroaminoto. Semacam jalan pintas yang diapit oleh dua ruko. Di lorong ini banyaklah berjualan pada pedagang batu akik. Mereka berniaga dalam kotak kayu yang dibuat sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai ‘etalase’ dan sekaligus pengangkut dagangan. Biasanya, penjual batu duduk di bangku kecil dari kayu. Ada pula yang tahan duduk mencangkung menanti pembeli. Jika penat, bersandarlah ke dinding toko. Lorong ini tentu saja tak ada atapnya. Para pedagang hanya dapat sedikit berteduh dari garangnya sang surya dengan mengandalkan tembok ruko yang tinggi. Ketika tepat tengah hari, panasnya tentu bukan main. Banyak kaum lelaki yang ‘tersangkut’ di lorong ini. Awalnya hanya mau lewat. Rupanya banyak batu memikat hati. Akhirnya berhenti, bahkan mungkin menjadi pembeli.
Kadangpula, di situlah ganjilnya orangtua. Buat mereka, merintang-rintang hari dengan melihat orang berniaga di pasar agaknya adalah hal yang menyenangkan. Tetapi buat para bebudak, niat baik itu terasa bagaikan ‘penyiksaan’ tersembunyi. Bagaimana tidak, apalah enaknya melihat orang berjualan sementara kita tak dapat membeli? Apalagi jika tak sengaja nampak penjual cincau atau kolang-kaling. Bulan puasa pula. Yang terbayang sudah auto menu berbuka.
Merasa bebudak sudah cukup penat, akhirnya wisata pasar resmi dinyatakan berakhir. Tiga beranak pun pulang lah ke rumah..Di rumah, hati si Ibu rupanya sudah rusuh. Ke mana lah perginya orang tiga beranak ini. Sejak pagi lagi sudah pergi. Ini sudah akan tengah hari masih juga belum kembali.
Setibanya di rumah, si ayah merasa bangga. Dia menganggap sudah ‘berjasa’. Berhasil melengah bebudak di hari pertama puasa. Bahkan hampir setengah hari. Rasanya sudah cukup lama ‘mengasuh’.
“Ini bebudak sudah penat pegi raun-raun. In syaa Allah puasa tinggal setengah hari lagi. Tinggal tidur siang. Tau-tau nanti bangun sudah akan dekat waktu berbuka,” katanya dengan nada puas hati.
Tapi si Ibu tak langsung percaya. Dilihatnya muka bebudak sudah merah karena berpanas-panas. Baju pun basah penuh peluh. Apalagi si bungsu. Tampaknya sudah sungguh dahaga tak tertanggungkan.
Dan memang hanya Ibu lah insan yang paling mengerti di dunia ini. Ditanyanya kepada si bungsu, “Ke mana saja kalian pergi berjalan selama nyaris setengah hari ini?”
Maka dijawablah oleh si bungsu bahwa mereka tamasya dari pasar ke pasar. Akhirnya si bungsu diajak ke dapur. Diberi minum, langsung disuruh buka puasa. Ibu pun segera paham duduk perkara. Si anak sudah lemas karena haus sebab lama berpanas-panas.
Si sulung pun nampaknya sama saja. Sudah terbit air liur melihat adiknya. Tapi dia masih jaga wibawa. Karena usianya jauh lebih tua. Malu pula mau minta ikut buka puasa. Akhirnya, dia tepar. Tertidur sambil menahan dahaga.
Di dapur, si Ibu pun mengomel. “Ada-ada saja Bapak kalian ni. Ada pulak bebudak dibawak raun-raun keluar masuk pasar. Ini bukan melengah puasa namanya. Tapi malah membuat terbuka puasa,” katanya geleng-geleng kepala tak habis pikir.
Tau-tau sudah Ramadhan lagi. Di tahun berikutnya. Si ayah tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Tapi tetap dia berpikir. Bagaimana caranya agar puasa tak terasa berat bagi anak?
Maka diberilah ilham lagi oleh Allah. Si bungsu akan diantarkan ke rumah sahabat karibnya. Kebetulan, sahabatnya itu punya dua orang anak perempuan. Usia putri mereka hampir sebaya. Jika asyik bermain dengan kawan, mungkin puasa pertama tak lagi terasa begitu berat.
Maka pagi-pagi diantarkanlah si bungsu ke rumah si sahabat karib. Gembira dapat kawan bermain bersama. Begitu tiba, semangat memang masih menyala-nyala. Tapi mendekati tengah hari, baterai sudah mulai menipis. Energi mulai habis. Tapi tak dapat ‘isi bensin’ karena masih puasa.
Maka tersadailah badan. Baring telentang di atas lantai. Mengharapkan tubuh dapat transfer dingin dari ubin. Sesekali, mata melirik ke jam di dinding ruang tamu. Alamaaakk… lamanya lagi waktu berbuka.
Istri sang tuan rumah adalah perempuan yang penyayang. Dia tertawa dan menyemangati. “Tidurlah dulu. Nanti tau-tau bangun sudah mau berbuka. Jangan ditengok terus saja jam dinding tu.”
Tapi, mata tak pula mau terpejam jika perut sedang lapar. Waktu Ashar pun tiba. Anak-anak disuruh cepat mandi agar sedikit lebih segar. In syaa Allah hari sudah menjelang petang. Tak lama lagi ayah akan datang menjemput. Nanti, dalam perjalanan pulang, Vespa akan berjalan jauh lebih lambat. Bahkan, kalau perlu, dipilih rute yang paling jauh. Berputar, melingkar-lingkar. Itu agar waktu pulang jadi lebih lama. Tau-tau nanti tak lama setelah tiba di rumah, bedug pun berbunyi.
Sejak saat itu, sampai jenjang sekolah menengah pertama, puasa pertama selalu dilewatkan si bungsu di rumah sahabat karib ayahnya. Padahal, ketika sudah makin besar, tentu puasa hari pertama tak lagi seberat ketika masa kecil dulu. Tapi dia tetap senang menjalani puasa pertama seperti itu karena sudah terbiasa. Kadang, sang tuan rumah menahan dulu untuk ikut berbuka puasa bersama. Katanya, menu buka puasa perdana selalu istimewa.
Kenangan lain bulan puasa tempo doeloe adalah membeli es batu. Tahun ‘80-an, kulkas masih barang mewah. Belum banyak orang yang punya. .Biasanya, saat bulan puasa, banyak orang berjualan es batu di jalan-jalan. Salah satu yang paling ramai adalah di Jalan Pelajar atau Jalan KH Ahmad Dahlan. Di sepanjang rute ini, orang menjual es batu dengan diletakkan di atas meja-meja kecil di pinggir jalan. Es batunya masih berbentuk balok-balok besar persegi panjang. Kesannya sungguh kekar dan berwibawa. Agar tak cepat mencair, es batu diselimuti dengan serbuk gergaji.
Petang-petang hari, menjelang waktu berbuka, ramailah orang ke Jalan Pelajar untuk membeli es batu. Beli sebongkah sudah cukup untuk orang serumah. Dapatlah menjamu selera berbuka puasa dengan menu teh es. Itu sudah hebat pada masanya. .Ketika semakin tua, terkadang ingatan kenangan masa kecil kembali bermunculan. Saat itu barangkali baru kita sadar, ternyata sudah begitu banyak yang berubah. Beberapa di antara teman-teman yang dulu sepermainan, kini sudah tak dapat lagi dijumpai. Baik karena sudah pindah kota ataupun telah pindah ke alam baka.
Tak ada lagi si Fulan dan Fulanah. Mereka telah disebut rahimahullah dan rahimahillah… ***