Taaarrrrrrrr. Bunyi bedil menggelegar membahana memecah angkasa. Segera setelah itu, dua buah jalur pun saling berpacu.
Tukang tari dengan pakaian bak orang kerajaan unjuk kebolehan meliuk-liuk dan menggoyang-goyangkan badan di atas luan (bagian depan) jalur. Tukang timbo ruang (menimba air untuk dikeluarkan dari dalam jalur) yang ada di bagian tengah pun tak mau ketinggalan beraksi. Sambil menimba air, ia meniup peluit memberi spirit sambil sesekali mengayun-ayunkan upih pinang ke air sungai.
Para anak pacu pun dengan kisok (giat) mengayuh jalur. Di bagian belakang, tukang onjai pun menjungkat-jungkitkan badannya agar jalur cepat meluncur. Selain mereka, peran tukang concang dan tukang kemudi pun tak bisa dikesampingkan. Ketika berhasil melewati pancang ketiga alias pancang terakhir, para anak pacu yang jalurnya menang pun bersorak gembira sambil mengangkat pengayuh mereka ke atas udara.
Itulah sekelumit adegan pacu jalur yang digelar tiap tahun di tepian Narosa, Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau pada setiap bulan Agustus. Arena perlombaan sepanjang kurang lebih satu kilometer pun sesak oleh penonton baik dari 209 desa di Rantau Kuantan maupun yang berasal dari luar.
Selain menampilkan atraksi budaya yang sungguh menarik dan unik, ulah para penonton yang maniak jalur pun terkadang bisa membuat kita tersenyum. Ketika jalur berpacu, para penonton di tepi Batang Kuantan pun bersorak-sorai untuk menyemangati dan memberi dukungan pada jalur mereka. Apalagi jika dalam berpacu, kedua jalur nyaris podo (seri).
Bahkan, tingkah mereka ini tak kalah dengan aksi supporter sepakbola yang fanatik. Mereka akan berteriak dan melambai tangan untuk ma-arean (memberi semangat dengan suara dan gerak tangan). Arean ini pun banyak ragamnya. Di antaranya ‘’malajak niak’’ (meluncurlah dengan cepat), ‘’tintiang niak’’ (kalahkan lawan dengan halus) dan ‘’siluak’’ (kalahkan lawan dengan bijak) banyak terdengar. Intinya hanya satu, bagaimana bisa memberi spirit agar jalur jagoan mereka bisa menang.
Pacu jalur memang sudah menjadi gambaran hidup yang unik bagi masyarakat adat puak Melayu di Rantau Nan Oso Kurang Duopuluah (rantau yang memiliki 19 kenegerian) yang sekarang dialih nama menjadi Kuantan Singingi ini. Betapa tidak demikian. Peristiwa pacu jalur yang diadakan di Teluk Kuantan sekali dalam setahun adalah keramaian yang terbesar bagi rakyat di rantau itu.
Pada upacara pacu jalur yang berlangsung sekitar 3-4 hari, hampir semua orang kampung sepanjang Batang Kuantan pergi menonton dan ikut pacu jalur. Dalam 3-4 hari itu kampung dan banjar lengang sebab hampir semua penduduk sudah pergi ke Teluk Kuantan. Yang tinggal hanya orang tua-tua mengasuh anak-anak.
Bahkan sampai ada gurauan di antara masyarakat Rantau Kuantan. Kalau bisa, janganlah sampai meninggal dunia saat pacu jalur. Alamat akan susah mencari orang yang akan menyelenggarakan jenazah. Karena kampung jadi sepi, yang kedengaran hanyalah kokok ayam dan kicau burung.
Boleh percaya boleh tidak, jika diadakan rapat mengenai pacu jalur, meski jumlah peserta hanya sekitar 50 orang, tapi uang yang terkumpul bisa mencapai Rp10 juta. Masyarakat Rantau Kuantan yang sudah identik dengan pacu jalur memang membuat mereka mau mengeluarkan sumbangan demi jalur di kampungnya. Tak hanya yang di kampung, yang sudah di rantau orang pun rela mengirimkan bantuan.
Tak hanya uang, waktu dan tenaga pun rela diberikan untuk jalur. Yang sudah tua, meski tinggal di rantau orang, tetap berupaya agar bisa balik kampung. Apalagi bagi yang masih muda dan lajang. Sebab pacu jalur juga dijadikan ajang mencari pendamping hidup. Mulai dari yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga hingga kalangan profesional maupun para pejabat, semua berusaha balik kampung. Bagi yang swasta, kalau bisa ambil cuti agar bisa mudik.
Maka, bagaimanapun juga harus pergi ke Teluk Kuantan menyaksikan pacu jalur. Semua keperluan terutama belanja harus diadakan. Belanja ini meliputi tambang oto (ongkos naik mobil ke Teluk Kuantan) dan keperluan makan minum tiap hari.
Kalau mau hemat? Ya silakan jalan kaki, bawa bekal yang cukup. Yakni sa-upia raok (nasi dibungkus sebanyak-banyaknya dengan upih) dan buli-buli (botol air minum) yang penuh. Anak takik, yakni petani penyadap getah, biasanya sudah mengumpulkan uang jauh hari sebelum pergi pacu.
Tapi jika tak cukup, apa boleh buat, terpaksa hutang pada tauke. Hasil-hasil bumi yang ada pun dijual, murah atau mahal. Yang terpenting dapat uang untuk belanja pacu jalur. Tetapi bagaimana kalau semuanya ini kandas atau tak mencukupi? Masih ada jalan terakhir. Periksa kandang ayam. Mungkin masih ada ayam yang mengeram, sebab yang lain sudah dijual. Ayam yang sedang mengeram pun segera istirahat, angkat dan segera dijual.
Uang Beredar Selama Pacu Jalur
Pacu jalur memang telah jadi magnet. Helat tahunan ini bahkan telah menelan dana hingga Rp1 miliar hanya untuk belanja panitia. Bahkan kabarnya, jika helat ini dibuka oleh pejabat negara sekelas wakil presiden, biaya pun bisa membengkak hingga Rp2 miliar.
Pengamat ekonomi Riau yang juga putra Kuantan Singingi, Edyanus Herman Halim punya data menarik seputar ini. Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau ini, selama helat pacu jalur di Teluk Kuantan yang berlangsung empat hari, setidaknya setiap jalur harus menyediakan dana paling kurang Rp3 juta.
Jika ada 150 jalur saja, berarti perlu dana Rp450 juta. Bahkan, rata-rata jalur yang prestasinya cukup bagus tahun 2007 lalu (sampai masuk final) menghabiskan biaya sekitar Rp6-8 juta selama empat hari. Biaya ini umumnya dipergunakan untuk membayar orang yang menjaga pacu serta menanggung biaya makan minum anak pacu. Umumnya, satu jalur menghabiskan biaya minimal Rp600 ribu sehari. Itu baru untuk jalur.
Jika yang menonton kita asumsikan saja kurang lebih 75 ribu orang, dengan rata-rata pengeluaran per orang Rp50 ribu per hari, maka selama empat hari satu orang telah menghabiskan biaya Rp200 ribu. Maka total belanja masyarakat mencapai Rp15 miliar. Sungguh suatu jumlah yang tidak sedikit.
Jumlah pengeluaran Rp50 ribu ini dianggap sangat minimal. Jika seandainya dinaikkan jadi Rp100 ribu sehari, maka 75 ribu penonton ini selama empat hari telah menghabiskan uang sebanyak Rp30 miliar. Uang sebanyak ini, seperti dikatakan Edyanus, umumnya 40 persen dialokasikan untuk belanja makan, untuk sarana fisik dan infrastruktur (seperti tribun) sebesar 15 persen, untuk jasa-jasa dan transportasi (ongkos ojek, pergi ke pasar malam, nonton kesenian randai dan sejenisnya) sebesar 20 persen dan belanja non makanan (pakaian, aksesoris penunjang dan lain-lain) sebesar 25 persen.
Menurut Wakil Bupati Kuantan Singingi, Drs H Mursini MSi, dana untuk helat pacu jalur tahun ini semula telah dianggarkan di APBD Provinsi Riau sebesar Rp1 miliar. Tapi entah karena apa, hingga kini realisasinya tak kunjung ada. Akibatnya, mau tak mau, biaya ini terpaksa dibebankan ke APBD Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi sebesar Rp650 juta. Karena itu, ada anggapan di tengah masyarakat bahwa helat pacu jalur tahun ini tak semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Tapi, Ketua DPRD Kuantan Singingi, Marwan Yohanis punya penilaian lain. Selain memang dana berkurang, kemungkinan besar masyarakat juga sudah jenuh. Bagaimana tidak, dulu pacu jalur hanya diadakan 3-4 kali di tingkat kecamatan dan satu helat penutup sekaligus terbesar di Teluk Kuantan.
Kini, pacu jalur dihelat di sembilan kecamatan dan satu helat akbar di Teluk Kuantan. Berarti total ada sepuluh helat pacu jalur. Helat pacu jalur tingkat kecamatan ini bahkan telah dimulai sejak 25 Juli lalu. Berarti, kurang lebih selama satu bulan ini masyarakat Rantau Kuantan disuguhi pacu nyaris tiap hari. Mau tak mau makin banyak uang keluar.
Bahkan, kata Marwan, pacu kini juga diadakan ketika ulang tahun kecamatan sampai sosialisasi calon kepala daerah yang ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Di samping itu, acara seremonial jalur mulai dari menebang, maelo (menarik jalur dari hutan pakai tali), hingga mendiang (meletakkan jalur di atas api) semuanya juga perlu biaya dan pengerahan massa. ‘’Sementara yang dimintai sponsor orangnya itu ke itu juga,’’ ujar Marwan.
Menurut pengamatan penulis, di sisi lain, pacu jalur juga membawa dampak sosial ekonomi yang cukup besar. Betapa tidak, musim pacu jalur berarti musim banyak keluar uang. Mulai dari biaya menonton pacu, sampai memberi sumbangan untuk jalur.
Karena bagaimanapun, jalur juga menyangkut marwah kampung dan diri pribadi. Padahal, selama helat pacu jalur, banyak waktu masyarakat yang beralih jadi menurunnya produktivitas. Biasanya kerja sehari, kini jadi setengah hari. Contohnya, jika mereka menakik getah, anggaplah per hari paling rendah seseorang bisa menakik getah sebanyak lima kilogram. Jika harga getah Rp12 ribu per kilogram. Berarti sudah kehilangan pendapatan Rp60 ribu per hari. Jika misalnya dia cuma tiga hari menonton pacu, berarti sudah hilang pemasukan sebesar Rp180 ribu. Belum lagi umumnya jika sudah bulan Agustus, harga getah pun selalu turun. Seminggu jelang helat pacu jalur, harga getah alam yang biasanya mencapai Rp13 ribu per Kg, turun jadi Rp11 ribu per Kg.
Masyarakat Dapat Apa?
Sementara itu, apa baru dampak langsung yang dirasakan masyarakat Rantau Kuantan dari helat yang menelan biaya miliaran rupiah ini selain soal gengsi daerah atau marwah semata? Apakah perekonomian mereka bisa terangkat? Karena, uniknya, semakin bagus prestasi jalur mereka, justru berbanding terbalik dengan penghasilan masyarakat.
Jika jalur mereka lolos babak penyisihan semi final atau bahkan final itu berarti makin banyak uang keluar karena mereka menonton pacu tiap hari. Ini belum lagi jika mereka menonton pacu di tiap tingkat kecamatan yang dihelat mulai dari Lubuk Jambi di Kuantan Mudik hingga ke Cerenti di hilir.
Apalagi, karena sudah begitu mendarah dagingnya pacu bagi masyarakat Rantau Kuantan, sangat jarang mereka hanya menonton satu helat. Umumnya mereka juga menonton pacu jalur yang dihelat di beberapa tingkat kecamatan. Padahal kini, dari 12 kecamatan di Kuantan Singingi, sembilan di antaranya mengadakan helat pacu jalur tingkat kecamatan. Sehingga biasanya, paling sedikit masyarakat menyaksikan 2-3 helat pacu jalur tingkat kecamatan ditambah satu helat penutup di Teluk Kuantan. Bahkan, walaupun jalur sudah kalah bisa saja masih ada masyarakat yang belum mau pulang karena masih tetap ingin menonton hingga final.
Di sisi lain, kenyataannya apa yang baru diberikan pemerintah untuk menaikkan taraf hidup masyarakat dari helat yang kini telah masuk salah satu agenda nasional ini? Untuk jalur yang menang paling tidak dia harus bertanding selama 3-4 hari.
Jika seorang anak pacu saja anggaplah menghabiskan biaya transportasi dan makan-minum Rp50 ribu per orang. Maka jika jalurnya diisi oleh 50 orang saja berarti sudah perlu biaya Rp2,5 juta. Jika empat hari berarti Rp10 juta. Belum lagi untuk biaya operasional jalur selama lomba.
Jika jalur ikut sampai babak final, maka biaya operasional jalur (biaya transportasi membawa jalur ke Teluk Kuantan, membayar orang yang akan menunggui jalur selama lomba dll) bisa mencapai 6-8 juta untuk satu jalur selama empat hari. Itu baru untuk satu jalur dan anak pacunya.
Menurut Ketua Panitia Pacu Jalur 2008, Ir H Helfian Hamid MSi, dalam helat pacu jalur tahun 2008 ini ada 163 jalur yang bertanding di Teluk Kuantan. Rata-rata ada penambahan sedikitnya 50 buah jalur baru dalam setahun. Itu belum dihitung biaya latihan anak pacu yang umumnya telah dilaksanakan sejak Januari.
Belum lagi jika dihitung biaya membuat jalur. Mulai dari mencari kayu, menebang kayu, mencari tukang, maelo, mendiang hingga membayar dukun pacu. Sudah bukan rahasia lagi jika helat pacu jalur juga kerap melibatkan dunia magis. Dan kini sangat jarang satu jalur hanya memakai jasa satu orang dukun jalur. Mereka minimal memakai jasa dua orang dukun jalur.
Sementara itu, nilai hadiah untuk juara pertama masih belum begitu seimbang dengan total biaya yang dikeluarkan. Untuk helat pacu jalur tahun 2008 ini, juara pertama mendapat hadiah tiga ekor kerbau, dua ekor sapi ditambah uang tunai Rp10 juta, piala bergilir, piala tetap dan tonggol juara sehingga total mencapai Rp37 juta. Jika hadiah itu dibagi-bagi pada orang sekampung, untuk 50 anak pacu saja kurang lebih sudah ada 100 kepala keluarga (KK). Sementara uang keluar justru lebih besar dari hari biasanya. Kalau tak pandai-pandai, tentulah cash flow pun bisa kacau.
Masyarakat Tempatan Belum Mampu Bersaing
Kenyataannya, masyarakat adat di Rantau Kuantan juga belum punya kemampuan yang memadai untuk dapat keuntungan ekonomi dari helat ini. Hanya segelintir orang-orang di kampung yang menggunakan helat ini sebagai kesempatan meraih untung dalam hal ekonomi. Itu pun baru sebatas berjualan makan minum ala kadarnya atau menyewakan lahan pekarangan rumah sebagai tempat parkir.
Jadi siapa yang menikmati manisnya ‘gula’ pacu jalur ini? Sebesar 90 persen dinikmati pendatang dari provinsi tetangga yang memanfaatkan helat ini untuk mengeruk keuntungan dengan cara berdagang. Umumnya mereka berasal dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Belum mampunya masyarakat tempatan menggunakan kesempatan ekonomi ini ada hubungannya dengan masalah kurang memadainya hasil-hasil di kampung yang akan diperjualbelikan. Kalaupun ada, meski bagus, tapi kemasannya tidak menarik. Salah satu contohnya adalah gula enau. Gula yang terbuat dari air nira asli ini bisa dijual sebagai bahan pembuat makanan. Hanya saja, karena selama ini gula enau dijual dengan bungkus karisiak (daun pisang yang telah tua), bentuknya jadi kurang menarik. Padahal jika produk ini bisa dapat kemasan yang menarik, bukan tidak mungkin akan banyak diminati pembeli.
Kemudian masih minimnya modal yang memadai dan masih sedikit pihak yang berani tampil untuk memberi modal. Belum lagi jika dikaitkan dengan tempat berjualan yang masih kurang strategis dan masih kurang promosi. Kalau masyarakat tempatan tak bisa menangkap peluang ini, maka ibarat kata orang Rantau Kuantan, ‘’awak barolek, awak pulo nan tande rorah’’. Artinya, kita yang punya helat, kita pula yang kering kerontang jadi tak punya uang. Ini karena uang masyarakat tempatan justru banyak yang lari ke provinsi tetangga. Kita punya helat tapi justru orang lain yang untung.
Padahal sebenarnya, pacu jalur erat hubungannya dengan kondisi ekonomi masyarakat. Ini terbukti pada era tahun 1958-1960. Pada kurun waktu itu jumlah jalur yang dipacukan meroket dari yang biasanya hanya 30 buah naik sampai pernah 60 buah. Karena di tahun 1957-1960 harga karet alam cukup mahal sehingga penduduk Rantau Kuantan yang ketika itu diperkirakan 75 persen adalah petani karet punya taraf hidup yang lumayan.
Belum lagi efek sosial lainnya seperti meningkatnya tindak kejahatan atau rawannya perkelahian antar kampung karena jalurnya kalah. Oleh sebab itu, Bupati Kuantan Singingi Sukarmis, saat pembukaan pacu jalur mengingatkan masyarakat Rantau Kuantan agar helat pacu jalur jangan dijadikan ajang perkelahian dan perpecahan. Tapi ajang bersilaturahmi.
Di sisi lain, masyarakat juga jadi cenderung konsumtif. Bahkan sampai ada pameo di masyarakat Rantau Kuantan, biarlah hari raya Idul Fitri tak pakai baju baru, asal saat pacu jalur bisa melagak (berdandan) nomor satu. Belum lagi biaya untuk menonton kesenian setempat seperti randai atau menonton berbagai kemeriahan seperti festival dan pasar malam yang biasanya selalu ada. Akibatnya, hasil kerja dan menabung sebulan pun lesap hanya dalam tempo beberapa hari.
Untunglah, menurut Pimpinan Seksi Pemasaran Bank Riau Cabang Teluk Kuantan, Indra Gunawan, jumlah permintaan masyarakat untuk meminjam uang di bank jelang helat pacu jalur (Juli-Agustus) tidak menunjukkan peningkatan yang cukup ketara. ‘’Jumlah orang mengajukan pinjaman hanya mengalami peningkatan ketika menjelang masa tahun ajaran baru kemarin. Mungkin untuk biaya anak masuk sekolah,’’ katanya.
Edyanus sendiri mengakui, dulu memang demikianlah kenyataannya. Tapi kini, lanjut pria kelahiran Pulau Aro Kuantan Singingi ini, diperkirakan hanya tinggal 60 persen yang dinikmati pendatang. Sebesar 40 persennnya kini sudah bisa dimanfaatkan oleh penduduk asli.
‘’Dari segi transportasi, yang menjadi tukang ojek sudah orang Kuantan Singingi. Berjualan makanan pun kini sudah banyak dilakukan masyarakat tempatan. Seperti menjual air tebu, pisang rebus, kacang rebus, lontong, rumah makan bahkan membuka toserba. Belanja fisik seperti membuat tribun pun sepenuhnya kini telah dilakukan penduduk Kuansing. Tak ada lagi orang luar yang membangun tribun. Belum lagi penginapan-penginapan yang selalu penuh,’’ ungkap Edyanus.
Hanya, kata ayah dua anak ini, untuk belanja non makanan lainnya memang masih banyak dipegang oleh pendatang. Seperti berjualan aksesoris, baju, ikat pinggang dan sebagainya. ‘’Perlu diingat, orang Kuansing juga sudah banyak yang bekerja sebagai tukang jahit sehingga baju baru non konveksi massal kini sudah bisa ditempahkan kepada masyarakat tempatan,’’ tuturnya.
Ini mungkin ada benarnya juga. Menurut penuturan Lena (27), ia sengaja balik kampung dari Palembang untuk memanfaatkan helat ini menjadi pedagang. Bersama suaminya yang asal Lubuk Jambi dan dibantu keluarga, ia membuka warung bakso dan empek-empek di Jalan A Yani Teluk Kuantan. ‘’Kalau pacu jalur kan banyak orang, mudah-mudahan dagangan saya bisa laris,’’ harapnya.
Peluang ini pun coba dimanfaatkan anak jati Rantau Kuantan lainnya, Sardi (31). Pria asal Desa Teberau Panjang Kecamatan Gunung Toar ini membuka toko ponsel juga di Jalan A Yani. ‘’Bahkan dalam helat pacu jalur tahun 2007 lalu, penjualan voucher pulsa handphone sempat terputus karena saking banyaknya pembeli,’’ kata Sardi. Tapi karena krisis ekonomi dan naiknya harga BBM, ia memperkirakan penjualan voucher dan handphone tahun ini tak sebagus tahun lalu.
Rimbo Larangan Makin Kritis
Salah satu masalah yang cukup penting diperhatikan Pemkab Kuansing selain pemberdayaan ekonomi masyarakat terkait pacu jalur adalah kondisi hutan yang sangat memprihatinkan sehingga sudah semakin sulit mencari kayu jalur. Menurut budayawan Riau yang juga kelahiran Rantau Kuantan, UU Hamidy, kayu yang ideal untuk dijadikan kayu jalur kini sudah semakin susah dicari. Kalaupun ada, letaknya sudah sangat jauh di dalam rimba sehingga biaya pembuatan jalur pun makin besar.
Apalagi hutan-hutan di Rantau Kuantan kini sudah banyak dikuasai perusahaan yang tak ayal lagi tentu juga akan menggunduli hutan dan menebang kayu-kayu besar yang bisa dijadikan kayu jalur. Ini jugalah yang menjadi jawaban mengapa ukuran jalur sekarang lebih kecil dibandingkan dengan jalur zaman dahulu. Dulu satu jalur bahkan bisa diisi oleh 75 orang. Kini rata-rata jalur hanya diisi 40-50 orang. Karena kayu yang besar sudah habis maka hanya tinggal kayu kecillah yang akan bisa dijadikan kayu jalur.
Kepala Dinas Kehutanan Kuantan Singingi, Ardi Nasri ketika ditanya tentang kondisi hutan di Rantau Kuantan mengaku tetap optimis stok kayu jalur tak akan kekurangan karena masih ada rimbo larangan (hutan simpanan) yang tersebar di berbagai kecamatan.
‘’Saya optimis kayu jalur tidak akan habis. Kalau untuk mencari kayu seperti kualitas masa dulu tentu memang sudah agak susah. Tapi sekarang kita sudah mulai memakai kayu meranti sebagai kayu jalur. Tahun ini saja ada 15 ribu bibit meranti yang ditanam di sela-sela perkebunan karet dan sawit. Bahkan sejak tahun 2000 lalu, di areal perkantoran Kabupaten Kuantan Singingi juga sudah banyak ditanam meranti. Ini semua dalam upaya penyediaan bahan baku jalur,’’ kata Ardi Nasri.
Kalau nanti kayu yang besar sudah tak ada lagi? ‘’Ya kita ganti saja kayu jalur dengan yang lebih kecil. Jadi mungkin nanti ukuran jalurnya saja yang berubah, jadi lebih kecil. Tapi saya optimis pacu jalurnya tetap ada,’’ lanjutnya.
Wakil Bupati Kuantan Singingi Mursini mengatakan, rimbo larangan memang ada tersebar di tiap kecamatan. ‘’Cuma sekarang eksistensinya sudah makin berkurang,’’ kata Mursini.
Meski demikian, data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Kuantan Singingi mestinya harus membuat para pengambil kebijakan di Negeri Jalur ini prihatin dan segera melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan hutan. Menurut data tahun 2006, Kuantan Singingi memang memiliki 13 buah rimbo larangan yang tersebar di beberapa kecamatan dengan total luas 1.347,06 hektare.
Luas area rimbo larangan yang terbesar ada di Kecamatan Kuantan Tengah, tepatnya rimbo larangan Jake dengan luas kurang lebih 400 hektare. Sedangkan luas rimbo larangan yang terkecil ada di Kecamatan Gunung Toar yakni rimbo larangan Bukit Marontang seluas kurang lebih 1,5 hektare. Tapi, sebagian besar rimbo larangan itu kini ada kondisi kritis.
Fakta menunjukkan, rimbo larangan di Jake dengan luas kurang lebih 400 hektare, kini hanya bersisa 325,6 hektare akibat penebangan liar. Rimbo larangan di Rawang Ronge dengan luas 10 hektare, kini 50 persennya sudah jadi kebun masyarakat. Rimbo larangan Pematang Pogal/Pematang Samak Sumpuh di Kecamatan Hulu Kuantan dengan luas 500 hektare, 300 hektarenya kini sudah jadi kebun karet tua milik masyarakat.
Rimbo larangan Kopuang Berhutan seluas 90 hektare kini kondisinya rusak parah. Rimbo larangan Bukit Penarahan Lubuk Ramo Kecamatan Kuantan Mudik seluas 200 hektare, 50 persennya telah jadi kebun masyarakat dan sisanya rusak. Kondisi hutan yang luluh lantak ini diduga akibat maraknya pembalakan liar alias dan banyaknya hutan dibabat untuk dijadikan perkebunan, terutama sawit.
Sebagai suatu helat akbar, pacu jalur bagaimanapun tentu membawa banyak dampak plus dan minus dalam pelaksanaannya. Dengan memperebutkan piala bergilir Menteri Pariwisata RI dan total hadiah Rp181,5 juta untuk tahun ini, dampak langsung helat ini terhadap perekonomian masyarakat secara langsung tentu juga harus senantiasa dipikirkan.
Jadi bagaimana helat ini tetap ada, dilaksanakan tanpa foya-foya, dan masyarakat tempatan bisa langsung mendapat keuntungan ekonomi dari pacu jalur. Jangan sampai tradisi budaya yang sudah ada sejak tahun 1900 ini hanya menjadikan masyarakat sebagai objek (yang menguras kantong) dan bahkan dipolitisir untuk kepentingan tertentu sehingga masyarakat juga bisa dapat keuntungan yang memadai dari sisi finasial.
Jangan masyarakat hanya jadi penonton dalam helat pacu jalur yang kemudian bahkan dijadikan ajang sosialisasi calon legislatif atau bahkan Pilkada calon kepala daerah. Jangan sampai nanti, ayam mengeram pun terpaksa dijual masyarakat demi ongkos pacu. Wallahu’alam.***
Tulisan ini dibuat pada tahun 2008. Beberapa keterangan mungkin sudah berubah dan tidak sesuai lagi.