Mata yang paling ‘kaya’ adalah matapencaharian. Sebab itu, orang yang tak punya mata pencaharian segera akan bangkrut. Inilah yang sekarang banyak dikhawatirkan orang karena lingkungan telah binasa sementara perekonomian pun tak bermaya.
Dalam ruang lingkup matapencaharian tradisional, khususnya berkebun, punca kebangkrutan itu salah satunya diakibatkan oleh pola monokultur, khususnya kebun kelapa sawit. Berapa banyak kita dengar cerita masyarakat yang mengganti kebun getah atau sawahnya dengan menanam sawit. Sepintas, kita terbuai oleh hasil produksi yang serba gergasi dan fulus yang mengalir mulus.
Padahal, pengembangan pangan monokultur skala besar, rentan merugikan rakyat, merusak bentang alam dan ekologi. Pemaksaan dominasi satu komoditas terhadap satu sistem menyebabkan banyak mata rantai sistem terputus. Inilah yang menyebabkan perubahan ekosistem seperti wabah ulat bulu, belalang, sampai tomcat hingga mengubah migrasi babi.
Hutan alam yang habis digasak Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh sejumlah perusahaan dan alih fungsi rimba menjadi ladang perkebunan sawit skala besar berdampak nyata terhadap kualitas lingkungan dan menghancurkan habitat hewan endemik, salah satunya orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Praktik monokultur juga merusak ekosistem sungai karena rakus unsur hara dan tingginya pemakaian pupuk hingga banyak nitrogen lepas ke sungai yang mengakibatkan lonjakan populasi beberapa jenis ganggang. Hal itu menutup sungai sehingga kurang oksigen dan tak ramah bagi hewan air. Inilah mengapa keragamanan jenis ikan menurun. Di sisi lain, karena debit air jauh menurun, siklus hidrologi pun terganggu.
Dulu, orang bertani dengan pola polikultur yang berfungsi mengalihkan hama. Homogenitas pangan juga menyebabkan tak multinutrisi lagi dan mengancam pangan lokal. Monokultur pangan yang mensyaratkan jumlah lahan yang serba giga juga telah memberi jalan bagi manipulasi dan rasuah.
Kita selalu lalai mempelajari sejarah. Di zaman penjajahan Belanda, perkebunan kayu skala besar dirintis sejak abad ke-19, sekitar tahun 1847. Kayu dipakai untuk membuat kapal perang dan kapal dagang Belanda. Dampaknya, masyarakat di Jawa krisis pangan dan bencana kelaparan sejak 1843. Pengembangan skala besar inilah yang menyebabkan hutan Jawa hampir nol saat ini.
Padahal, kearifan lokal Melayu telah memperkenalkan macam-macam pekerjaan untuk matapencaharian. Oleh orang Melayu di Rantau Kuantan, istilahnya dikenal dengan nama ‘’tapak lapan’’. Yakni delapan tapak (tempat berpijak) mata pencaharian tradisional untuk mencari penghidupan. Tapak lapan itu ialah: beladang (baik padi maupun sayur), berkebun (terutama kebun getah), beternak, baniro (mengambil air nira untuk dijual airnya atau diolah menjadi gula enau), bapakarangan (mencari ikan), mendulang (mencari emas di sungai atau mencari hasil hutan di sepanjang aliran sungai), bertukang dan berniaga.
Dengan menjalankan tapak lapan, orang Melayu bisa terhindar dari bangkrut. Sebab jika salah satu pekerjaannya kandas, ia bisa pindah ke pekerjaan lain dalam sistem tapak lapan. Karena itu, orang Melayu tidak akrab dengan kata “rajin” (pandai dalam satu bidang) tetapi mengenal kata “tangkas” yaitu mahir dalam beberapa pekerjaan. Konsep “rajin” pada orang Melayu bukanlah fokus pada satu bidang kerja tapi selang-seling pekerjaan yang saling menyambung dalam sistem tapak lapan. Misalnya, jika hari hujan sehingga tak bisa menakik getah, maka orang bisa pergi menjala, mencari petai di rimba atau baniro sesuai kesenangannya.
Karena itu, sampai tahun 1970-an, orang di kampung tidak menanyakan apa pekerjaan seseorang, tetapi apa tapak lapan-nya. Itu karena seseorang bisa memiliki dua sampai tiga matapencaharian. Itu baru keuntungan dari sisi ekonomi. Dari sudut psikologi, tapak lapan bisa menghilangkan tekanan perasaan karena selang-seling pekerjaan yang dipilih berdasar kesukaan.
Sekarang, dengan sistem demokrasi yang merusak hutan tanah, rimba berkecai oleh HPH dan masyarakat dijuruskan untuk monokultur, sesungguhnya telah melapangkan jalan untuk kebangkrutan. Kini kalau hujan, orang tak bisa lagi pergi ke rimba karena hutan sudah binasa. Mencari ikan pun sudah payah karena sungai telah rusak. Dulu, dalam sistem tanah ulayat dikenal istilah padang ternak. Sekarang semua hilang karena dijadikan kebun.
Sistem tapak lapan dengan sendirinya membuat masyarakat memelihara alam dan menyesuaikan diri dengan alam. Bagi masyarakat adat di ceruk-ceruk kampung, rimba belantara yang tak terpemanai keanekaragaman hayatinya adalah ibarat supermarket untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Hutan telah menyediakan papan, pangan, nutrisi sampai obat-obatan. Mereka memiliki ikatan budaya dengan rimba.
Sekarang, di era gencarnya isu emisi karbon, orang sibuk mengajak surut ke pangkal jalan. Indonesia menjadi salah satu penghambur gas rumah kaca terbesar di dunia. Kontribusi terbesar berasal dari perubahan tata guna lahan dan hutan, diikuti energi, kebakaran lahan gambut, sampah, pertanian dan industri. Totalnya, Satgas REDD+ mencatat emisi Indonesia mencapai 1,4 juta Gg CO2e.
Jawabannya sungguh jelas di pelupuk mata. Rimba belantara yang terpelihara mengekang emisi karbon karena hutan adalah tandon alami karbon. Hutan yang terjaga memberikan banyak manfaat dalam satu genggaman: melestarikan keanekaragaman hayati, ekosistem yang terkendali, menyerap karbon, energi terbarukan dan petualangan dalam ekoswisata. Masalahnya cuma satu: kita sungguh-sungguh atau tidak.***