Apakah yang paling diharapkan dari orang yang bepergian? Salah satunya tentu oleh-oleh. Sekecil dan seremeh apapun, yang namanya buah tangan tetap saja dinantikan dan membahagiakan.
Tapi, sayangnya, dalam kamus ayahku, tidak ada yang namanya oleh-oleh. Sesering dan sejauh manapun dia pergi, janganlah berani berharap dapat oleh-oleh. Karena, arti oleh-oleh menurut ayahku hanya satu : buku. Padahal, buku-buku yang dibelinya adalah bacaan untuknya sendiri. Jadi, alamat kepunan lah kalau menanti oleh-oleh.
Dulu, ayah sering bepergian. Tapi barang bawaannya tak pernah heboh. Paling-paling hanya satu tas tenteng. Isinya pun hanya beberapa stel pakaian. Sisanya diisi dengan buku karangannya sendiri. Buku-buku itu biasanya dijadikan hadiah untuk temannya sesama penulis atau dijual kepada yang berminat. Ketika pulang, isi tas kembali diganti oleh buku-buku hadiah atau buku-buku yang beliau beli. Malah isi tas lebih banyak buku daripada baju.
Alhamdulillah ibuku sungguh menyadari tabiat suaminya ini. Dia paham betul bahwa bagi suaminya, buku lah yang lebih berharga. Bapak anaknya itu bukanlah potongan orang yang akan tabah memilih oleh-oleh atau sekedar mampir di toko duty free di bandara. Takkan ada cerita. Kadang beliau pandai pula membuat kelakar, “Kalau Papa kalian bawa oleh-oleh, hujan lebat lah agaknya hari.”
Memang kadang ada juga oleh-oleh selain buku. Tetapi, ayah selalu berterus-terang bahwa oleh-oleh itu bukanlah inisiatif darinya. Yang lebih sering terjadi adalah, beliau bertemu dengan bekas mahasiswanya dulu yang ketika itu sudah jadi pejabat. Nah, Pak Pejabat ini lah yang biasanya membelikan oleh-oleh agar dibawa oleh ayah. Jadi ketika sampai di rumah, buah tangan itu akan diberikan dengan redaksi, “Ooohhh, ini si Fulan yang belikan. Ternyata dia sekarang di kota X. Dia rupanya sekarang sudah jadi anu di kantor anu.”
Tapi, khusus untukku, selalu ada yang istimewa. Apa itu? Kue pesawat.
Dulu, setiap penerbangan memberikan kotak makanan. Apapun maskapainya. Juga termasuk untuk penerbangan jarak pendek. Kotak makanan itulah oleh-oleh versi ayahku. Setiap penerbangan pulang, hampir dipastikan beliau tidak akan memakannya. Karena kue pesawat itu istimewa diberikan untukku. Maka aku adalah pemegang tunggal hak veto kue pesawat. Ibuku sudah tentu tak mengharapkannya dan abangku sudah terlalu besar untuk masih ikut-ikutan berebut hal-hal seperti itu. Jadi posisiku aman, tidak ada saingan.
Maka sungguh berbahagialah aku dengan kue pesawat. Oleh-oleh yang sebenarnya boleh dibilang perai alias gratis. Isinya memang tidak selalu kue. Kadang ada juga kacang atau cokelat. Masa itu, belum banyak toko kue yang enak di Pekanbaru. Jadi, kue pesawat adalah pelipur lara yang nikmat. Setelah kue habis, hal yang juga mengasyikkan adalah tisu basahnya. Salah satu cara terbaik menikmatinya adalah dengan meletakkannya dulu di dalam freezer. Setelah agak beku, baru digunakan. Amboooiii, sejuk-sejuk dingin rasanya.
Ketika sudah punya cucu, hak veto kue pesawat beralih ke tangan yang lebih kecil.
Tahun 2009, ayah dan ibu berkesempatan menghadiri Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-5 atas undangan dan kemurahan hati Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Mereka dibayari tambang kapal terbang pulang pergi. Maka pasangan Datuk dan Tino (Nenek) ini rela menenteng-nenteng kue pesawat demi cucu-cucu, turun naik burung besi dan pindah gate karena saat itu penerbangan harus transit.
Itulah hebatnya sebuah nama. Ketika sebuah benda yang mungkin sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi dia diberi predikat “oleh-oleh” atau “hadiah” atau apalah yang sewaktu dengannya. Tiba-tiba rasa makanan itu berubah jadi lebih nikmat. Padahal boleh jadi kita sudah pernah makan yang rasanya jauh lebih enak daripada itu. Mungkin inilah yang namanya disebut keberkahan. Ketika hati yang memberi dan yang menerima diselimuti oleh limpahan kasih sayang. Maka Allah pun turunkan rahmat-Nya. Hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.
Ternyata, bahagia itu memang mudah dan sederhana. Hanya dengan tidak memakan sesuatu, kita bisa membuat orang lain bahagia.***