Saya menulis karena ingin memelihara tradisi cendekiawan Melayu yang bernafaskan Islam. Tradisi mengarang telah berjaya dalam dunia Melayu paling kurang 500 tahun yang lalu. Dimulai oleh Hamzah Fansuri dengan Syair Perahu pada abad ke-16, diteruskan oleh Tun Sri Lanang dengan karangannya Sulalatus Salatin yang lebih dikenal dengan Sejarah Melayu pada abad ke-19.
Kemudian pada abad ke-19 tampillah pengarang Melayu yang piawai, Raja Ali Haji dengan karyanya paling kurang 13 buah, di antara yang paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas. Di belakang Raja Ali Haji muncullah Rusydiah Klab yakni perkumpulan cendekiawan Riau di penghujung abad ke-19 sampai awal abad 20. Perkumpulan kaum cendekiawan Riau ini merupakan perkumpulan yang terbesar masa itu di rantau Asia Tenggara. Para anggotanya di samping anak jati Riau juga meliputi Pattani (Thailand), Minangkabau, bahkan punya perwakilan di Makkah Al Mukarramah.
Rusydiah Klab lah yang memberi syarat bahwa seorang cendekiawan paling kurang harus bisa membuat satu karangan. Para tokohnya antara lain Raja Ali Kelana yang telah mengarang Pohon Perhimpunan, Abu Muhammad Adnan pengarang tata bahasa Melayu dengan nama buku Pembuka Lidah, Raja Aisyah Sulaiman dengan Syair Khadamudin dan Badriyah Muhammad Taher dengan karya Adab Al Fatah.
Lalu menjelang pertengahan abad 20 dunia Melayu melahirkan lagi dua pengarang yang cemerlang yakni Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip dan Soeman Hs. Tuan Guru Abdurrahman Siddik yang juga merangkap Mufti Kerajaan Indragiri, mengarang paling kurang tujuh kitab, di antaranya Syair Ibarat Kabar Akhirat, sedang Soeman Hs menampilkan lima karya kreatif di antaranya Mencari Pencuri Anak Perawan.
Membaca karangan para pengarang Melayu yang cemerlang lagi piawai ini kita dapat memperoleh keterangan, data, gagasan, serta ide maupun pemikiran untuk mengarang. Tapi tidak hanya itu. Karangan mereka ternyata memberikan pesan-pesan kebenaran sehingga makin jauh dibaca kita akan ditarik oleh medan magnet spiritual. Perhatikanlah bagaimana Hamzah Fansuri bersyair :
Wahai muda kenali dirimu
ibarat perahu tamsil tubuhmu
tiada berapa lama hidupmu
ke akhirat juga kekal diammu
Perhatikan, Hamzah Fansuri berpesan kepada anak muda mengapa tidak kepada orang-orang tua? Lalu dia seakan mengatakan, masa depan yang hakiki bukanlah hidup di dunia masa tua dengan harta melimpah tetapi di akhirat. Pesan ini disambung lagi oleh Raja Ali Haji dengan ikat gurindam :
Barangsiapa mengenal akhirat
Taulah dia dunia melarat
Perhatikanlah, bahkan juga renungkan, hanya orang yang punya ilmu tentang akhirat yang dapat menyadari betapa dunia ini sebenarnya melarat. Melarat di dunia masih belum seberapa, sebab baru hanya dalam bilangan tahun. Tetapi melarat di akhirat karena ulah kita di dunia, tak dapat dibayangkan betapa dahsyatnya penderitaan.
Pesan dengan nada yang sama, dengan medan magnet spiritual bergetar lagi dengan syair Tuan Guru Abdurrahman Siddik :
Angan-angan jangan terlalu panjang
Kasih kan dunia bukan kepalang
Diri kita tidaklah disayang
Di akhirat titian halus terbentang
Perhatikan, Tuan Guru berpesan kepada semua orang. Rupa-rupanya angan-angan kitalah yang membuat kita lalai, bahkan sansai. Kita mengasihi diri kita, tapi rupanya yang kita kasihi itu adalah hawa nafsu kita. Sementara diri kita yang sebenarnya akan berhadapan dengan titian halus terbentang di akhirat, yang belum tentu dapat dilaluinya.
Saya berpandangan, jika tradisi cendekiawan Melayu yang mengarang dengan muatan medan magnet spiritual ini terpelihara, in syaa Allah dunia Melayu akan mampu menghadapi cabaran budaya dunia yang egois, hedonis, sekuler, materialistik, bahkan munafik. Berpijak pada budaya materialistik munafik, hanya bagaikan berdiri di atas lumpur. Semakin banyak bergerak, semakin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan. Sementara budaya Melayu dengan medan magnet spiritual bagaikan meluncur di atas lumpur dengan papan tongkahan. Bebas pergi ke mana-mana menawarkan hidup mulia di atas kebenaran Islam yang datang dari Allah Rabbul Alamin.
Membaca karya-karya pengarang Melayu yang piawai, lalu melihat dunia Melayu masa kini terutama di Riau, saya mempunyai kegelisahan ruhani untuk mengarang. Maka saya pun mengarang. Tetapi, adakah di antara karangan atau tulisan saya yang bernas? Jangan-jangan hanya hampa semuanya. Kalaulah ada yang bernas, alhamdulillah. Tapi jika hanya hampa semuanya, apa hendak dikata.***
Orasi budaya saat menerima Anugerah Budayawan/Seniman Pilihan Sagang 2007