Salah seorang yang besar jasanya dalam hidup kita adalah orang yang mengajarkan kita mengaji. Bayangkan, dalam setiap huruf yang kita sebut hari ini, ada saham pahala untuknya.
Buat kami, orang itu adalah Bang Azhar. Alih-alih memanggilnya “ustadz”, kami selalu menyebutnya dengan predikat “abang”. Mungkin karena usia kami tidak terpaut terlalu jauh. Ketika itu, kami adalah budak salemo alias ingusan berseragam merah putih dan beliau adalah pelajar jenjang aliyah. Anak jati Indragiri Hilir keturunan Banjar.
Siang hari, sepulang sekolah dan makan tengah hari, kami belajar mengaji dengannya di masjid dekat rumah hingga masuk waktu Ashar. Tahun ‘80-an itu kami masih laskar alif ba ta walaupun sudah masuk Al-Qur’an besar. Biasanya, kami akan duduk berjajar lalu maju satu per satu ke depan untuk dibetulkan bacaan olehnya.
Beliau adalah orang yang berpenampilan rapi. Ujung kain sarungnya selalu hampir sama. Seperti benar-benar diukur dengan teliti. Sebenarnya beliau adalah gharim masjid. Selain adzan dan terkadang menjadi imam, mengajar mengaji adalah tambahan tugasnya.
Suatu ketika, beliau tak dapat mengajar. Konon sakit katanya. Di masa itu, rumah gharim terletak persis di belakang masjid. Belebatnya (jendela) cukup besar sehingga tubuh kecil kami bisa melongok hampir setengah badan ke dalam kamar Bang Azhar.
“Ngapa tak ngaji Bang?”
“Abang sakit.”
“Sakit apa Bang?”
“Pokoknya sakit. Main ajalah kalian.”
“Horeeeeeee….”
Maka bermain dan berlari-larianlah kami di pekarangan masjid. Lalu melintaslah Bu RT. Beliau heran melihat kami. “Ngapa kalian ndak ngaji?” Kami jawab, “Bang Azhar sakit Bu.”
Bergegaslah Bu RT masuk ke rumah gharim. Kami beramai-ramai mengikutinya seperti dayang-dayang.
“Sakit kau Azhar?”
“Iya Bu.”
“Sakit apa?”
“Kena bisul Bu.”
Ketika sudah selesai mengaji, kami senang membantu tugas beliau membersihkan masjid. Yang selalu menjadi rebutan adalah membersihkan lantai masjid dengan penyedot debu. Jangan pikirkan bahwa alat itu adalah vacuum cleaner listrik seperti sekarang. Yang ada di masa itu adalah alat penyedot debu manual yang dijalankan maju mundur dengan tangan. Gagangnya kurang lebih setinggi tangkai sapu dengan alat penghisap berbentuk kotak persegi kira-kira sebesar 30 x 30 cm. Dengan menjalankan alat ini, kami jadi punya alasan untuk lari-lari keliling masjid.
Tentu ada kelakuan kami yang membuat beliau naik tensi. Jika kesal menghadapi kerenah kami yang kadang degil, Bang Azhar selalu berkata, “Kalian tu sudah Abang anggap seperti adik Abang sendiri. Abang juga punya adik sebesar kalian ni di kampung. Jadi kalau kalian tu malas, sukanya main aja, Abang pun ikut sedih.”
Suatu hari, turunlah hujan. Lumayan juga lebatnya. Awalnya, aku berniat hanya permisi buang air di kamar mandi. Saat hendak masuk kembali ke masjid, ku lihat air cucuran atap yang mengalir dari paralon keluar dengan derasnya. Seperti air terjun saja. Maka terbitlah keinginan bermain-main menampung dan percikkan air hujan.
Melihat kawan tak kunjung kembali, teman yang lain pun ikut permisi. Ingin tahu, apakah gerangan kerja si budak di luar sana. Akhirnya, terbentuklah geng main-main air hujan di teras masjid. Main bukan pula agak-agak. Main sampai lencun (basah kuyup).
Bang Azhar melihat kelakuan kami dari jendela masjid. Beliau marah bukan kepalang. Akhirnya, kami dikurung dalam toilet dan disuruh membersihkan kamar mandi serta tempat wudhu. Senja hari baru kami dikeluarkan. “Abang ndak mau mengajar kalian lagi. Ngaji aja sendiri dengan mak bapak kalian di rumah.”
Dalam pikiran budak-budakku ketika itu, perkataan Bang Azhar memang benar adanya. Dan aku sungguh ketakutan pulang ke rumah. Dengan berkhidmat sebagai guru, tentu kedua orangtuaku akan merasa malu jika disuruh mengajar sendiri anaknya di rumah. Zaman dulu, jangan coba-coba mengadukan guru pada orangtua. Yang ada malah justru ditambah hukuman atau minimal kena marah dosis parah.
Waktu berlalu, cukup lama aku tak bertemu Bang Azhar. Agaknya adalah lebih 20 tahun. Ketika sudah tak lagi menjadi gharim, beliau mengontrak rumah bersama adik-adiknya tak jauh dari masjid.Setelah itu beliau menjadi pensyarah di salah satu perguruan tinggi dan pindah ke dekat kampus yang jaraknya cukup jauh dari rumah kami.
Suatu hari di tahun 2017, kami anak beranak pergi makan ke kedai empek-empek. Begitu memasuki pintu kedai, rupanya ada yang memanggilku. “Purni. Ini Purni kan?” Tetapi, aku tak mendengar sapaan itu karena terlalu fokus mencari meja makan yang nyaman.
Tiba-tiba si nomor dua mengingatkanku. “Bapak yang di sana sepertinya memanggil Ibu.” Maka berjalanlah aku menuju meja itu. Ternyata Bang Azhar sedang makan pula anak beranak. Sungguh tiada diduga akan bersua di sana. Beliau menanyakan kabar orangtua dan abangku serta tetangga-tetangga lama yang dulu pernah akrab dengan beliau.
Ketika selesai makan dan ingin membayar, si kasir mengatakan bahwa semua tagihan kami telah dibayar oleh “Bapak yang tadi”. Ma syaa Allah. Bukannya murid yang mentraktir guru, yang ada malah sebaliknya. Sayangnya, saat itu Bang Azhar beserta keluarga sudah pergi.
Dalam perjalanan pulang, sibuklah kami dua laki bini membahas bagaimana caranya menyampaikan terimakasih. Qaddarullah kami tak punya nomor kontaknya. Ke siapa nak ditanya?
Di tengah perbincangan siapa kira-kira orang yang dapat ditanya, dengan gaya selamba si nomor dua tiba-tiba berkata, “Patutlah sejak pergi tadi kita cuma kepikirannya mau makan empek-empek di situ aja. Rupanya mau dapat traktiran dari guru ngaji Ibu.” ***