Bekerja sebagai peneliti membuat lelaki itu punya dua amunisi andalan: tustel dan tape perekam. Dua benda itu memang sangat membantunya dalam menulis buku-buku yang kemudian diterbitkan.
Tapi, dua alat itu juga punya kegunaan lain untuk keluarga. Dengan tustel Canon-nya, lelaki itu telah berubah mendadak menjadi fotografer. Model idolanya tentu saja bocah-bocah salemo alias ingusan di rumah. Tetapi, dapat dihitung dengan jari foto yang diambil dengan arahan si tukang kodak. Kebanyakan adalah foto candid bak kata orang putih.
Saat beraksi, lelaki itu jarang sekali mengarahkan gaya atau menyuruh bebudak itu melihat ke kamera. Dia membiarkan foto modelnya ‘bergaya semena-mena’, sesuka hatinya. Si objek foto pun lebih banyak tak peduli bahwa sebenarnya tingkah polahnya sedang diabadikan. Mereka hanya tau si ayah senang memotret dan mereka lah model favoritnya.
Minatnya untuk meneliti manusia dan budayanya telah membuat lelaki itu suka membuat potret-potret bernuansa antropologis. Hasilnya adalah foto-foto yang tidak biasa, apa adanya, tanpa rekayasa. Bidikan lensanya menghadirkan gambar-gambar anti mainstream dan anti pencitraan.
Pernah suatu pagi, dia bergegas membawa tustelnya ke kamar bebudak. Ternyata dia ingin memotret tampang busuk para bocah yang baru saja bangun tidur. Hasilnya, si sulung difoto dengan pose menguap di atas dipan dengan wajah berisi liur basi.
Kadang, dia juga seperti paparazzi yang hobi memotret diam-diam. Ketika belum bersekolah, si bungsu sering diajak untuk menjemput ibunya di sekolah tempatnya mengajar. Biasanya, si ayah duduk menunggu di atas Vespa di jalan di depan sekolah. Lalu si kecil akan disuruhnya untuk memanggil sang ibu di ruang majelis guru. Ternyata, saat si anak pergi, lelaki itu memotretnya dari belakang saat sedang berjalan di teras sekolah. Padahal, saat itu anak tersebut hanya mengenakan baju monyet dan kaki ayam alias tanpa sandal.
Lelaki itu senang sekali memotret keseharian buah hatinya. Akibatnya, jarang sekali para foto model gratis itu tampil rapi saat dijepret. Yang ada kebanyakan ialah anak-anak berkostum celana pendek dan kaus singlet. Anak yang bertelanjang dada. Anak yang mukanya cemot. Anak yang rambutnya acak-acakan. Anak yang pakai kaus kaki hanya sebelah (entah apa maksudnya). Anak yang hobi pakai sandal dan sepatu yang kebesaran (senang memakai kepunyaan orang dewasa). Anak yang suka menumpah-numpahkan bedak ke atas bantal dengan wajah cengengesan, dan penampilan tidak bermarwah lainnya.
Hampir semua aktivitas anak-anak itu difoto oleh si ayah. Bangun tidur di ayunan (padahal badan udah segede gaban), pulang dari pasar, pulang mengaji, memelihara ayam, berangkat dan pulang sekolah, main banjir dengan pelampung benen, berlari di teras menyambut ayah pulang dari luar kota, belajar naik sepeda, belajar menulis, belajar mengikat tali sepatu, balik kampung dan lain sebagainya.
Gigi ompong si bocah juga tak luput dari bidikannya. Apalagi ketika dua gigi kelinci di depan sudah berguguran dan difoto edisi close up mana tahan. Ada juga anak yang kadang suka mengganggu saudaranya sehingga terjadilah kejar-kejaran. Semua moment itu sempat ditangkap oleh si tustel.
Lelaki itu juga pernah datang ke sekolah untuk memotret si gadis dan lelaki kecil. Dia datang ke Taman Kanak-kanak saat jam keluar main. Maka difotolah mereka saat tengah asyik bermain bersama teman-teman. Tentu tak lupa juga foto kenangan bersama para cikgu.
Karena hobi memotretnya itu, anak-anak lalu dibuatkan album foto tersendiri. Kadang, beberapa klise (anak milenial masih tau apa itu klise?) sengaja dicetak hitam putih sehingga lain pula kesannya.
Lalu apa kegunaaan lain dari tape perekam? Alat itu dipakai si ayah untuk merekam suara masa kecil anak-anak saat masih pelat bin cadel. Dia memperlakukan mereka persis seperti narasumber untuk bahan penelitian. Dia akan bertanya tentang banyak hal dan memancing mulut mungil itu untuk bercerita. Hasilnya adalah celoteh dan bualan anak kecil mengenai berbagai hal dalam durasi 1 jam.
Ketika beranjak dewasa, kami suka duduk-duduk di teras pada malam hari untuk bebual-bual. Ayah kadang iseng memutar kembali rekaman masterpiece itu. Maka tersengir-sengirlah selalu kami tertawa saat mendengarnya.
Tentu bagi orang zaman sekarang, kisah ini tidak ada apa-apanya. Tapi pernahkah tuan dan puan membayangkan melakukan semua benda alah ini pada tahun ‘70 sampai ‘80-an di saat tustel dan handycam belum berlambak digunakan orang?
Berkat hobi ayah, alhamdulillah kami punya dokumentasi masa kecil yang sungguh berharga. Rasanya semua baru kemaren saja. Eeehhh… tau-tau sekarang kami sudah tua. Masa berlalu begitu cepatnya. Ibarat lampu flash di kamera. Sirna dalam sekelip mata. Itulah pertanda akhirat segera menjelma. Sudah punya bekal apa? ***
Catatan mustahak : Foto aseli sengaja tidak ditampilkan demi marwah kami adik beradik.