Ini cerita persahabatan orang lama. Mereka punya minat yang berbeda. Yang seorang, suka bercucuk tanam. Yang seorang lagi menyenangi dunia ikan. Yang seorang pula suka menulis. Yang dua anak jati (sungai) Rokan, yang seorang budak (sungai) Kuantan.
Azam mereka pun berbeda. Yang seorang ingin mencari rezeki dari tanah. Yang seorang lagi ingin mendapat rezeki lewat sekolah. Yang seorang pula ingin memperoleh rezeki dari buku.
Qadarullah Allah mengijabah doa ketiganya. Yang seorang telah menjadi tuan tanah. Lahan yang luas itu penuh ditanami buah-buahan dan bunga-bungaan. Yang seorang lagi memang telah menimba ilmu ke mana-mana sehingga pernah menerajui salah satu universitas. Yang seorang pula memang telah tunak menulis buku.
Qadarullah, hanya seorang di antara mereka yang tidak mengenyam pendidikan di luar negara. Tapi dia senang berkelakar pada kedua sahabatnya. Suatu ketika dia pernah berkata, “Pada suatu hari di tahun ‘70-an, aku lewat di Jalan Hang Tuah. Lalu aku berpapasan dengan si Fulan. Ketika itu, dia baru pulang dari Jepang. Saat itu, dia membonceng istrinya dengan kereta angin, sedangkan aku sudah naik Honda.”
Agar dapat sering bersama-sama, mereka sepakat membeli lahan yang berdekatan. Yang hobi bercucuk tanam, telah berubah menjadi pemasok bibit untuk para sahabatnya. Yang hobi ikan, telah menjelma pula menjadi penyedia benih bagi yang dua lagi. Yang seorang pula, telah menjadikan keahlian dua sahabatnya ini sebagai titian untuk mengulang kembali masa kecilnya hidup di rimba belantara meski dengan cara yang berbeda.
Maka pernah ada suatu masa, ketika ketiga keluarga ini sering berkumpul pada Ahad pagi. Setelah sarapan pagi bubur kacang hijau dengan pulut, para ayah akan sibuk mencari peluh di lahan yang berdekatan tadi. Ada yang mencangkul, ada yang menebas, dan ada pula yang asyik memberi makan ikan.
Bagi anak-anak, inilah waktu piknik yang menyenangkan. Mereka dapat makan di bawah pohon rindang, ditiup angin sepoi-sepoi. Atau, mandi di sungai kecil yang jernih tak jauh dari lahan itu. Jika para Ibu rehat memasak, maka piknik keluarga itu akan berakhir di salah satu rumah makan di Teratak Buluh. Anak-anak akan bersorak karena dapat melahap udang galah goreng atau menjamu selera dengan gulai baung dan asam pedas patin.
Tapi, tiada persahabatan tanpa ujian. Di lain waktu pula, yang seorang menjual tanah pada yang seorang lagi. Dua bulan berselang, sementara tanah masih belum lunas, datanglah orang lain menawar tanah itu dengan harga jauh lebih tinggi.
Sang sahabat lalu segera mencari sahabatnya yang seorang lagi untuk menceritakan hal itu. Sahabat yang membeli lantas berkata, “Aduh, rugilah awak jual pada saya.”
Sahabat yang menjual kemudian membalas, “Saya niat cerita ini bukan apa-apa. Saya bukannya minta tanah itu dilunasi cepat. Tapi, kalau awak ingin dapat untung besar dalam waktu cepat, jual saja kembali pada orang yang menawar pada saya tadi.”
Di saat yang lain, yang seorang ingin memberi sebentuk hadiah kenang-kenangan pada yang seorang lagi. Ketika itu, dia punya piutang yang cukup besar pada seseorang. Dia ingin, sebagian kecil dari piutangnya itu dibayarkan dalam bentuk hadiah kenang-kenangan pada sahabatnya itu. Sayangnya, ada musuh dalam selimut. Ada pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dari niat baik itu.
Alhamdulillah, Allah punya skenario yang indah sehingga kedua sahabat tersebut terhindar dari muslihat itu. Hadiah kenang-kenangan itu akhirnya dibayarnya dari saku pribadi. Sahabat yang diberi hadiah ternyata tak sampai hati pula melihat kejadian itu. Hadiah itu pun kemudian ditebusnya kembali.
Seorang di antara mereka kadang dengan mudahnya berkata, “Pakai saja dulu uangku.” Tapi dua sahabat lainnya tidak serta-merta menerima tawaran itu. Mereka sungguh berhati-hati pasal uang.
Kini, ketiganya telah memasuki usia senja. Alhamdulillah sudah melampaui usia 70 tahun. Keadaan pun juga tentu sudah berbeda. Yang seorang sudah duduk di kursi roda. Yang dua lagi sudah pernah berhadapan dengan pisau bedah.
Meski tak dapat lagi bertemu sesering dahulu, tapi persahabatan itu tetap terbuhul. Jika dapat bersua, selain tertawa mengenang masa silam, mereka senantiasa berdoa untuk masa depan. Mereka selalu bersyukur, alhamdulillah ala kulli haal.
Baru-baru ini, dua di antaranya sempat bersua. Apakah kebahagiaan mereka di usia tua? Ternyata, salah satu yang paling membahagiakan itu adalah melihat anak cucu sudah ‘menghadap’. Atau dalam lidah orang Melayu Rokan dan Kuantan disebut dengan kata “madok”.
Kata “menghadap” memiliki arti lain dalam minda orang Melayu. “Menghadap” di sini berarti “menghadap” kiblat. Itu tak lain adalah jalan lurus yang diridhai Allah. Jadi ternyata, yang diinginkan oleh orangtua itu adalah anak shaleh dan bertakwa. Sebab bagaimanapun jua, transfer pahala takkan pernah dapat dikalahkan oleh transfer harta.
Lalu apa keinginan mereka? Ternyata tidak muluk-muluk. Mereka hanya ingin, jika punya anak lelaki, kiranya dapatlah menjadi imam shalat jenazah jika mereka nanti menghadap Ilahi. Jika punya anak perempuan, sudilah kiranya merawat mereka kalau-kalau nanti sakit. Sungguh keinginan yang sederhana tapi tak selalu mudah untuk dilakukan.
Lantas apa hubungannya kisah ini dengan foto di atas? Rumah itu adalah rumah salah seorang di antara tiga sahabat tadi. Di rumah itulah, pernah suatu masa, ketiga keluarga ini sering berkumpul pada Ahad pagi.
Punya sahabat itu ibarat kita punya rumah. Bagaimanapun hebatnya ujian dunia, setelah mengadu pada Allah, hidup kita in syaa Allah akan jauh terasa lebih mudah jika kita punya sahabat. Apalagi jika sahabat itu shaleh dan taat yang menyayangi kita karena Allah.
Semoga Allah menjaga ketiganya beserta zuriatnya dan mengumpulkan mereka kembali kelak di surga-Nya. Mudah-mudahan kisah ini dapat menjadi iktibar bagi para zuriat mereka. Bahwa dulu, ayah, datuk ataupun ninik mereka pernah punya hubungan yang istimewa. Dan dapatlah hendaknya zuriat ketiganya menjaga ukhuwah islamiyah itu sampai akhir masa.***