Berbicara mengenai pengemis mungkin orang hanya membayangkan kemiskinan. Sebab di sana yang sering disaksikan ialah penampilan orang cacat seperti lumpuh dan buta, badan yang sarat oleh penyakit dan serta usia tua dengan fisik yang rapuh. Mereka ini memang sudah menjadi kenyataan daripada kekuasaan Tuhan dan sering dipandang bernasib malang.
Sebab di samping tak dapat menikmati hidup dengan layak, terpaksa pula meminta-minta untuk memenuhi keperluan hidupnya. Berbeda dengan keadaan yang sebaliknya, orang yang sehat tanpa cacat, tampil dengan penuh gairah dan menikmati hidup dengan harta dunia yang banyak. Mereka dipandang bernasib baik, terkesan mampu mengurus keperluan hidupnya serta menikmati hidup dunia sesuai dengan selera mereka.
Tapi benarkah sepenuhnya pandangan ini? Mereka yang menjadi pengemis dengan penampilan yang mengundang belas kasihan, dikesan punya nasib malang, hanyalah dari sudut pandang dunia. Kita memandang mereka tidak dapat menikmati kehidupan dunia seperti yang dinikmati orang banyak.
Namun dari sudut ketuhanan, belum tentu demikian. Tuhan Maha Adil, memberi peluang yang sama terhadap semua anak cucu Adam untuk mendapatkan kebajikan dan keselamatan di sisi-Nya. Hal itu akan ditentukan oleh sikap dan perbuatan mereka terhadap karunia Tuhan yang mereka terima.
Maka, orang yang cacat miskin dan tua renta dapat melalui kehidupannya dengan selamat di jalan Allah justru oleh keadaannya yang demikian. Sebab dengan keadaan itu mereka merasa dekat pada Allah, sehingga dapat menjadi hamba yang bersyukur. Jika tidak punya keadaan serupa itu, barangkali mereka menjadi makhluk yang melupakan Khaliknya, sehingga akhirnya menjadi orang yang merugi ketika berhadapan dengan Tuhan Maha Pemurah di kemudian hari.
Demikian pula halnya dengan orang yang dipandang bernasib baik dari sudut pandang dunia. Mereka juga bisa celaka oleh pangkat atau jabatan, kekayaan dan keadaan fisik yang menarik. Mereka malah bisa berbalik menjadi bernasib buruk, karena menyalahgunakan karunia Allah itu. Berbeda dengan para pengemis tadi, justru kemalangan mereka menjadi titian nasib baik di akhirat.
Itulah gambaran pengemis dari sudut pandang dunia pada umumnya. Tetapi sebenarnya kalau kita suka memperhatikan sedikit jalan sejarah umat manusia, masih ada lagi paling kurang dua macam pengemis. Dua macam pengemis yang terakhir ini benar-benar berbeda dengan pengemis yang pertama tadi. Jika pengemis yang pertama tadi lazim dikenal khalayak, kalangan dhuafa (orang lemah) yang mengemis dengan motif ekonomi, maka dua macam pengemis yang terakhir justru punya tujuan keruhanian yang tinggi.
Pengemis jenis kedua ialah, orang-orang yang menampilkan dirinya sebagai pengemis, tetapi mereka tidak meminta-minta. Jika mereka diberi, mereka terima. Pengemis jenis ini, melakukan perbuatan itu pertama-tama untuk membasuh ego dan kesombongan pribadi.
Mereka menyadari betapa yang paling sering mencelakakan nasib manusia ialah keakuan dan kesombongannya. Itu timbul karena merasa diri lebih dari orang lain. Merasa lebih mulia oleh pangkat dan jabatan, merasa lebih kaya, merasa lebih cantik atau tampan daripada orang lain, sehingga orang lain dipandang enteng dan hina.
Dengan menampilkan diri sebagai pengemis, keangkuhan itu dapat digilas. Sebab sang diri diletakkan bukan lagi pada tataran di atas orang lain, tetapi justru pada lembah kehinaan, sebagaimana statusnya bisa terjadi di hadapan Allah. Dengan cara ini, si pengemis malah makin mengenal dirinya dan Tuhannya. Bukan sebaliknya, dengan kesombongan justru si insan menjadi durhaka kepada Tuhannya, sebagaimana diperlihatkan oleh iblis.
Kemudian pengemis jenis ketiga ialah orang yang menampilkan diri sebagai peminta-minta tetapi mereka tidak meminta, dan jika diberi malah menolak. Inilah pengemis yang lebih tinggi lagi makam spiritualnya daripada pengemis jenis ke dua. Inilah jalan yang ditempuh oleh manusia pilihan.
Pengemis jenis ini ketiga ini menampilkan diri sebagai pengemis, bukan lagi sekadar untuk membuang ego kesombongan diri sendiri. Mereka sendiri memang suka memilih jalan hidup miskin dan melarat. Mereka merasa kuat karena lapar dan merasa lemah karena kenyang. Mereka memang ingin meninggalkan yang berbau dunia dan hanya hendak berurusan dengan yang punya redaksi dengan Allah.
Dalam pandangan mereka, segala urusan dunia hanya membuat mereka lalai dan terperangkap dari permainan yang satu kepada permainan berikutnya. Sebab, dunia sebagai tempat persinggahan sementara, telah tampil sebagai permainan yang akan melengahkan manusia mengingat Tuhannya. Padahal, apabila sesaat saja kita berhenti merenungi-Nya, niscaya binasalah kita.
Dengan tampil sebagai pengemis, bahkan kalau perlu dengan pakaian bertambal, mereka menjadi bebas dari segala ikatan dan pengaruh sesuatu, selain Allah. Mereka memang dengan sadar memilih hidup melarat. Sebab itu, tak jarang jenis ini pada mulanya adalah orang kaya, bahkan punya kedudukan tinggi. Tetapi semuanya mereka campakkan. Berpaling dari dunia dan mau menghadap kepada Allah semata. Mereka khawatir kekayaan akan jadi beban sedangkan jabatan akan jadi penyesalan di kemudian hari.
Bagi pengemis jenis ke tiga ini, malah penyakit pun dipandang sebagai nikmat Tuhan. Sebab dalam keadaan sakit, mereka merasa sangat dekat kepada Allah dengan hati yang tenang damai. Bagi mereka, tak ada waktu sedikit pun yang pantas terbuang dari mengingat Allah.
Tidak ada kata paling manis, kecuali pujian terhadap-Nya dan tiada waktu paling dirindu kecuali saat pertemuan dengan-Nya. Inilah hidup paling indah, kehidupan yang tenang damai mengingat Allah.***
(Rahasia Penciptaan, UU Hamidy)