Home / Bunga Rampai / Ketika Kerajaan Riau-Lingga Minta Bantuan pada Khilafah Turki Utsmani
Dari kanan ke kiri: , Ustad Musthafa Umar, Profesor El-Awaisi, UU Hamidy dan tim Tafaqquh. Foto: Dokumentasi Tafaqquh.

Ketika Kerajaan Riau-Lingga Minta Bantuan pada Khilafah Turki Utsmani

Pada Ahad (13/8), Bilik Kreatif mendapat kunjungan dari guru besar ilmu sejarah dan hubungan internasional di Universitas Istanbul Sabahattin Zaim, Profesor Abd Al Fattah El-Awaisi. Pendiri IslamicJerusalem Research Academy (ISRA) yang berpusat di Istanbul, Turki ini datang bersama tim Yayasan Tafaqquh yang diterajui oleh ulama Riau, Ustad Musthafa Umar Lc MA.

Dalam perbincangannya dengan UU Hamidy di Bilik Kreatif, Profesor El-Awaisi sempat membahas tentang masuknya Islam ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-7 melalui surat menyurat antara Raja Sriwijaya dengan khilafah Bani Umayyah. Di samping itu masih ada juru dakwah agama Islam yang datang berdakwah sambil berdagang.

‘’Ini antara lain dibuktikan oleh adanya ruangan khusus untuk ulama yang menjadi musafir yang disediakan oleh Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat serta tempat untuk mereka melakukan muzakarah,’’ ujar UU Hamidy.

Menurut penulis lebih dari 60 buku tentang Melayu ini, seorang diplomat Kerajaan Riau-Lingga yakni Raja Ali Kelana pernah pergi kepada khilafah Turki Utsmani untuk minta bantuan mengusir Belanda di Riau. Ini terjadi sebelum Kerajaan Riau-Lingga bubar pada tahun 1913. Raja Ali Kelana diperkirakan pergi sekitar tahun 1911, bersamaan dengan diplomat Riau, Raja Khalid Hitam yang juga minta bantuan pada Jepang dan akhirnya wafat di Negeri Sakura.

Rupanya, Profesor El-Awaisi tertarik ingin tahu bagaimana UU Hamidy mendapat informasi tentang Belanda. Dijawab UU, pada zaman agresi Belanda tahun 1947-1948, ayah UU Hamidy yakni Haji Harun menjadi mata-mata gerilya (mujahidin) untuk melawan Belanda. Pada panggung (pondok) Haji Harun di tepi rimba Guloan, Rantau Kuantan, tersimpan bensin untuk bumi hangus markas Belanda serta bermacam senjata seperti pedang, keris, dan tombak untuk senjata para gerilya melawan Belanda.

Pertarungan ini, berlaku antara Lubuk Jambi di hulu dengan Cerenti di hilir Batang Kuantan. Maka, panggung Haji Harun ini merupakan jalan pintas di kebun getah dan hutan belantara antara Lubuk Jambi dengan Cerenti, yang sekaligus menjadi lintasan perjalanan para pejuang melawan Belanda. Waktu Haji Harun disergap oleh satu regu tentara Belanda Ambon, Haji Harun berhasil mengelabuinya dengan melumurkan arang ke mukanya sambil pura-pura sakit dan mengatakan namanya bernama Ahmad.

Yahudi dari Sudut Pandang Melayu

Profesor El-Awaisi juga sempat menanyakan kemungkinan dibukanya Kajian Baitul Maqdis di Riau terutama pada Universitas Islam Riau (UIR). Menurut UU, peluang itu sangat terbuka lebar. Alasan pertama dan paling penting adalah tradisi kebencian orang Melayu terhadap Yahudi sangat besar pada dunia Melayu. Budak-budak Melayu dari kecil sudah mengetahui dari emak, bapak serta ulamanya bagaimana kejahatan dan tipu daya Yahudi sebagaimana juga yang tergambar dalam Al-Quran.

‘’Jika sifat tamak orang Belanda telah dibidas oleh orang Melayu dengan pepatah ‘’seperti Belanda minta tanah; minta sejengkal mau sehasta, diberi sehasta mau sedepa’’, maka terhadap orang Yahudi telah disematkan semua sifat lokek, pelit, cerdik buruk, kikir, kedekut dan sejenisnya,’’ ungkap budayawan Riau tersebut.

Dikatakan UU, mahasiswa yang belajar pada Fakultas Agama Islam (FAI) UIR yang telah tamat S1 dengan mudah melanjutkan ke University Utara Malaysia (UUM) yang juga telah punya studi Kajian Baitul Maqdis. Sepulang dari sana, mereka dapat menjadi tenaga pengajar untuk jabatan/akademi Baitul Maqdis di UIR.

‘’Di samping itu, beberapa mahasiswa dari Patani, Thailand juga belajar di FAI di UIR. Mereka ini tentu akan sangat berminat melanjutkan studi di UUM pada bidang kajian Baitul Maqdis karena negeri mereka berdekatan dengan UUM,’’ tutur UU.

Sementara itu, lanjutnya, tenaga pengajar fakultas yang lain, yang berminat untuk kajian Baitul Maqdis ini tentu juga dapat diberi kesempatan oleh pimpinan UIR untuk belajar di UUM yang setelah tamat juga memperkuat barisan tenaga pengajar akademi pengkajian Baitul Maqdis di UIR.

Profesor El-Awaisi sendiri juga adalah salah seorang pengajar di UUM. Kabarnya, kajian Baitul Maqdis di UUM dibuka berdasarkan saran dua bekas Perdana Menteri Malaysia yakni Dr Mahathir Mohamad dan Abdullah Ahmad Badawi.

Seperti dilansir sahabatalaqsha.com, studi Baitul Maqdis merupakan bidang riset dan kajian ilmiah yang mendalami ilmu dan informasi tentang Masjidil Aqsha dan Baitul Maqdis baik dalam dimensi Rabbaniyah, Nabawiyah, sirah, tarikh, fisiologi bangunan dan arsitekturnya, sosiologi, maupun geostrategisnya.

Menurut El-Awaisi, hanya dengan ilmu dan informasi yang shahih tentang Baitul Maqdis, perubahan dan perjuangan memerdekakan Masjidil Aqsha dan Negeri Syam bisa ditujukan ke arah yang benar. ‘’Seperti yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi,” ungkap El-Awaisi.

Studi tentang Baitul Maqdis atau IslamicJerusalem sudah dimulai di sebuah universitas di Skotlandia lebih dari 20 tahun lalu. Di Indonesia, ISRA bekerja sama dengan Institut Al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA) yang berpusat di Jakarta yang akan mempromosikan studi Baitul Maqdis ke sebanyak mungkin perguruan tinggi Indonesia.

Oleh Bilik Kreatif, Profesor El-Awaisi diberi hadiah kenang-kenangan berupa buku karya UU Hamidy yakni Naskah Melayu Kuno Daerah Riau, Islam dan Masyarakat Melayu di Riau, serta terbitan yang terbaru, Negeri Rantau.***

Check Also

Spesialis Pemeran Pengganti, Oleh : Purnimasari

Adakah yang punya Ayah yang enggan pergi ke undangan (majelis nikah kawin, aqiqah, sunat rasul, …

One comment

  1. Masya Allah, sungguh indah kehidupan di bawah naungan khilafah. semoga para mujahidin mampu mewujudkan kembali khilafah islamiyah. http://transparan.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *