1. Cerita Malin Deman
Ada dua cerita rakyat yang luas geografi khalayaknya di Nusantara. Pertama, cerita Malin Kundang, yang kedua cerita Malin Deman. Malin Kundang punya khalayak di Minangkabau, yang sekarang disebut Sumatera Barat. Batu kapal Malin Kundang dapat disaksikan di pantai Sumatera Barat, yang mungkin tidak terpelihara. Di Aceh cerita ini bernama Hikayat Srang Manyang. Batu kapal Srang Manyang dikatakan berada di pantai Ulee Lheue. Di Tapanuli anak durhaka itu bernama Sampuraga dan orang Batak pernah menyumpahi anaknya yang durhaka dengan kata ‘’Na tilako marina’’. Di Malaysia bernama Nakoda Tenggang. Batu kapalnya bernama Batu Cape, menjadi obyek wisata di Kuala Lumpur. Di Riau disebut Si Miskin, dengan kainnya yang berlipat-lipat menjadi batu atau tanah di Lipat Kain, Kampar Kiri.
Cerita Malin Deman, lebih luas lagi kawasan khalayaknya. Cerita ini di Aceh bernama Hikayat Malem Diwa. Malem Diwa sudah sampai ke kayangan menyebarkan Islam, dengan cara menyamar menjadi guru mengaji, dalam perjalannya mencari Putri Bungsu di kayangan. Di Jawa dikenal dengan Jaka Tarup. Di Sulawesi disebut To Mampotawine To Langik Kai (orang yang memperisteri putri dari langit). Di pulau Kai disebut cerita ikan lodan. Lalu di Riau, di Petalangan Pangkalan Kuras bernama Nyanyi Panjang Balam Ponganjuw.
Cerita ini hampir dapat dipastikan telah memberikan gambaran bagaimana kehidupan Animisme-Hinduisme akan segera bergerak kepada kehidupan yang penuh berkah dengan datangnya agama Islam, yang membawa cahaya terang benderang bagi umat manusia. Dalam cerita itu masih jelas sekali bagaimana daki kepercayaan jahiliyah itu sudah mulai dibersihkan oleh ajaran Islam yang cemerlang lagi rasional. Pertarungan dua kepercayaan itu terlukis dengan baik dalam nama Malem Diwa, yang bisa berarti dewa yang sudah malem atau dewa yang sudah jadi ulama.
Malin Deman atau Malem Diwa adalah pemuda yang mabuk kepayang, ketika terpandang kecantikan Putri Bungsu, yang turun dari kayangan, lalu mandi dengan 6 orang putri lainnya. Gairah cintanya tanpa panduan iman, telah menyebabkan Malin Deman mencuri Songsong Banat (baju terbang) Putri Bungsu sehingga sang putri terpaksa tinggal di bumi. Dalam keadaan tidak ada pilihan lain, dia bersedia menjadi isteri Malem Deman.
Perkawinan Malin Deman dengan Putri tidak berjalan panjang. Putri Bungsu kemudian menemukan baju terbangnya. Setelah Malin Deman melanggar janji, Putri Bungsu dapat kembali ke kayangan. Namun demikian, Malin Deman juga dapat menyusul isterinya ke kayangan, sebagai bukti bahwa dia juga bukan manusia sembarangan. Betapa tidak, bukankah dia seorang malin? Jika Allah memberikan pertolongan kepadanya, niscaya tidak seorangpun dapat menghalanginya. Malah dalam Hikayat Malem Diwa, orang alim ini telah mengajarkan agama Islam kepada makhluk kayangan, orang atas angin, yang bisa merujuk kepada orang-¬orang kafir di Barat.
2. Nyanyi Panjang
Nyanyi panjang adalah sastra lisan masyarakat Melayu Petalangan di Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Riau. Disebut nyanyi panjang, karena nyanyi atau dendang ini memang panjang. Jadi disebut nyanyi, karena cerita ini ditampilkan dengan suara yang merdu, berirama. Dikatakan panjang, karena cerita yang disajikan berisi kisah atau riwayat yang panjang. Karena itu kesenian ini sebenarnya sepadan dengan syair dan hikayat, yang dikenal luas dalam sastra Melayu. Dalam karya sastra yang baru, boleh dikatakan sebanding dengan novel atau roman. Bedanya, nyanyi panjang dalam bentuk prosa liris (berirama), syair dan kayat dalam bentuk puisi yang juga ditampilkan dengan suara yang merdu. Sementara novel dan roman dalam bentuk prosa, sehingga terbaca agak hambar.
Herman Maskar dalam karyanya Nyanyi Panjang Balam Ponganjuw, tahun 2007, telah membuat keterangan yang bagus mengenai nyanyi panjang, sehingga kita dapat membuat ringkasan. Pertama, nyanyi panjang banyak sekali mempunyai pengulangan dengan memakai bunga kata. inilah juga yang membuat cerita begitu panjang. Kedua, nyanyi panjang tidak ditampilkan dengan iringan musik, seperti gendang atau talam pada pembacaan kayat. Nyanyi panjang hanya menghandalkan keindahan lagu dan suara senimannya. Ketiga, nyanyi panjang banyak berhubungan dengan adat dan asal usul nenek moyang serta dunia alam pikiran di Petalangan. Kesenian ini, yang keempat, memakai bahasa, yakni dialek Melayu Petalangan, dan memang terkesan indah boleh pemakaian dialek tersebut. Kelima, sebelum nyanyi panjang berlangsung, lebih dahulu biasanya diadakan babalam, yaitu berbalas pantun antara tukang nyanyi panjang dengan khalayak.
Berapa jumlah cerita nyanyi panjang belum dapat diketahui dengan jelas. Tenas Effendy — budayawan Melayu yang cemerlang itu — memperkirakan dalam tahun 2000, ada sekitar 100 judul nyanyi panjang. Sudirman Shomary dalam kajiannya Nyanyi Panjang Orang Talang di Riau tahun 1997 mencatat ada 27 judul cerita. Sedangkan Mak Pilih, seniman nyanyi panjang yang terkenal hampir 50 tahun, menghafal 35 cerita nyanyi panjang.
Nyanyi panjang yang dibawakan dengan irama alunan suara yang merdu itu dapat menyampaikan cerita fiksi, ketentuan adat pesukuan, tambo nenek moyang serta riwayat leluhur Petalangan. Sudah ada 3 judul cerita yang dibukukan. Pertama, Cerita Bujang Si Undang oleh Tenas Effendy dan kawan-kawan, tahun 1988. Kemudian oleh Tenas Effendy juga, Bujang Tan Domang, terbitan tahun 1997. Lalu yang ketiga, Nyanyi Panjang Balam Ponganjuw oleh Herman Maskar, tahun 2007. Sementara itu ada 7 judul cerita yang dapat ditampilkan oleh Mak Pilih, gudang sastra lisan Petalangan, yaitu Sutan Paminggie, Lanang Bisai, Tuanku Kombang Malin Dewa, Mogek Bimbang, Gindo Bujang, Kojo Intan dan Balam Ponganjuw.
3. Balam Ponganjuw
Nyanyi Panjang Balam Ponganjuw, dibandingkan dengan versi lain cerita ini seperti tadi disebutkan di atas, memang terkesan jauh lebih bagus dan lengkap. Balam Ponganjuw dengan tandingannya Malin Deman, punya riwayat yang relatif lengkap dalam nyanyi panjang. Cerita menjelaskan ibu-bapanya, bidan kelahirannya, dukun yang menujumnya, syeikh (orang alim) yang mendampinginya dan tentu saja Putri Bungsu yang jadi isterinya. Semuanya itu telah tercatat oleh Harman Maskar dalam salinan cerita sebanyak 2.563 baris.
Tersebutlah oleh cerita, Datuk Munawo Kayo dengan isterinya Datuk Omehmana, tak kunjung punya keturunan. Datuk Munawo Kayo minta bantuan pada dukun tenung Datuk Lobai Panjang. Maka Datuk Lobai Panjang menerima kedatangannya dengan pesan, ‘’Sama tuan hamba berimbau, kalau itu yang dipinta, kawan (hamba) tidak mengukur genting, putus tidak mengukur biang tombak, kalau mau dicoba sama Tuhan kita meminta, bawalah kemari limau sebuah. Tapi peganglah wakil hamba, kalau nyampang minta berlaku, supaya diberi tahu, walau jejak tanaman dikaisnya diberi tahu juga. Apabila jantan anak yang lahir sunat rasulkan dia, kalau betina tindik telinganya’’.
Setelah kedua suami isteri itu mandi belimau yang diberikan oleh Datuk Lobai Panjang, maka beberapa bulan kemudian Omehmana melahirkan anak lelaki, dengan bantuan Bidan Bertujuh. Kelahiran Balam Ponganjuw amat menakjubkan. Ketika budak itu lahir, tiba di lantai, lantai putus; tiba di peran, peran patah, tiba di rasuk patah pula, sehingga tercampaklah budak itu ke tanah. Melihat kenyataan itu Bidan Bertujuh lalu membaca istigfhar.
Balam Ponganjuw, yang mendapat nama dari Datuk Syekh Panjang Janggut, melalui mimpi Kombang Cino, besar bagai diembus-embus, cerdik bagai diajar-ajar, belum masa menangkup sudah menangkup, belum saat merangkak sudah merangkak. Maka, dari lahir, jejak tanah, sunat rasul sehingga pandailah dia mengaji. Namun janji untuk memberitahukan kelahiran Balam Ponganjuw kepada tukang nujum Datuk Lobai Panjang, tidak juga dipenuhi oleh Datuk Munawo Kayo, meskipun telah diingatkan beberapa kali oleh isterinya.
Pada suatu ketika timbullah keinginan Datuk Munawo Kayo untuk melihat nasib peruntungan Balam Ponganjuw kepada dukun tenung Datuk Lobai Panjang. Isterinya melarang, mengingat mereka ingkar janji kepada tukang nujum itu. Maka dinujumkanlah oleh Bidan Bertujuh. Setelah dilihat dalam tenung, maka tilik tenung memberi tanda bahwa Balam Ponganjuw anak bertuah besar, ukur genap tandanya kaya, tuahnya selilit pinggang, mujurnya selingkar kepada, sehat sampai besar panjang umur dan akhirnya menjadi raja besar.
Namun Datuk Munawo kayo tidak puas dengan tenung Bidan Bertujuh. Dia hanya yakin hasil nujum Datuk Lobai Panjang. Datuk Lobai Panjang telah tahu maksud kedatangan Datuk Munawo Kayo. Maka dibukanyalah surat tenung. Hasilnya sama dengan bacaan nasib yang telah disebutkan oleh Bidan Bertujuh. Lalu Datuk Lobai Panjang minta tangguh, supaya besok Datuk Munawo Kayo baru menerima hasil nujum. Kesokan harinya, dengan berpura-pura menangis merah matanya, Datuk Lobai Panjang menyampaikan bunyi surat nujum, Balam Ponganjuw anak celaka besar, kalau berada dalam negeri maka negeri akan binasa, kampung rusak, habis segala harta benda.
Datuk Munawo Kayo sangat percaya kepada tenung Datuk Lobai Panjang. Maka begitu pulang, ketika Balam Ponganjuw balik dari mengaji langsung dihardik oleh bapaknya. Dia disumpah, dimaki serta dilarang naik ke atas rumah. Hampir saja Balam Ponganjuw dipancung oleh ayahnya. Balam Ponganjuw harus berkirap, sebab kelahirannya membawa bencana. Karena Balam Ponganjuw tak tahan lagi menerima siksaan dari bapaknya, maka dia minta pertanda anak dibuang kepada bapaknya. Maka diberilah dia oleh Datuk Munawo Kayo tanda pembuangan berupa pakaian sepesalinan lengkap dengan keris panjang dan pendek dan uncang berantai pendek.
Balam Ponganjuw diusir oleh Datuk Munawo Kayo, kemudian diketahui oleh Datuk Lobai Panjang. Dia segera datang ke rumah Datuk Munawo Kayo, menyampaikan bahwa nujumnya itu adalah bohong. Dia berbuat demikian, karena Datuk Munawo Kayo tidak menepati janjinya. Betapa menyesalnya Datuk Munawo Kayo, apalagi Omehmana (ibunya) nasi sudah jadi bubur.
Maka mengembaralah Balam Ponganjuw, sampailah dia ke rumah Nenek Ando Kasian. Di situlah Balam Ponganjuw menjumpai kolam tujuh, tempat mandi putri kayangan. Pada suatu ketika Putri Bungsu turun dari kayangan, mandi bersama 6 orang saudaranya. Balam Ponganjuw menyuruh seekor beruk nenyurukkan baju layang dan kain layang Puteri Bungsu. Akibatnya dia tidak dapat kembali ke kayangan, lalu dititipkan oleh kakaknya yang berenam di rumah Nenek Ando Kasian.
Rumah Nenek Ando Kasian telah menjadi arena pertemuan dan medan percintaan oleh Balam Ponganjuw dengan Puteri Bungsu. Puteri Bungsu jatuh cinta kepada Balam Ponganjuw yang tampan lagi elok perangai, padahal dia sudah punya tunangan di kayangan yakni Raja Toluk Lindai. Balam Ponganjuw akhirnya juga pergi ke kayangan bersama dengan Puteri Bungsu. Di kayangan Balam Ponganjuw tentu saja harus bertanding kehebatan dengan Raja Toluk Lindai. Setelah Balam Ponganjuw menang dalam pertarungan, maka dinikahkanlah Balam Ponganjuw dengan Puteri Bungsu oleh Datuk Syekh Panjang Janggut. Cerita berakhir dengan turunnya Balam Ponganjuw dengan Puteri Bungsu ke bumi untuk menemui ibu bapanya, serta Nenek Ando Kasian, yang sudah begitu kasihan dan baik hati kepada mereka berdua. Nenek Ando Kasianlah yang telah memberikan titian kasih sayang kepada mereka berdua, sehingga mereka dapat menjadi suami-isteri yang bahagia.***