1. Penyair Arus Sebatang Kara
Pada tahun 1970-an — hampir 40 tahun yang silam — kalau kita mengunjungi pertunjukan kesenian, terutama pembacaan puisi dan drama, kita dengan mudah menjumpai lima orang penyair besar di Pekanbaru, yakni Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, Wunulde Syaffinal dan Taufik Effendi Aria. Tempat pertunjukan semasa itu ialah Gedung Wanita di Jalan Diponegoro, Gedung Dang Merdu dan Taman Budaya di Jalan Sudirman dan Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Riau di Jalan Pattimura. Pada tiap penampilan seni tersebut, mereka ini akan kelihatan duduk pada barisan depan. Dengan gaya senimannya masing-masing, mereka berbual den berkelakar sampai tertawa terbahak-bahak, sebelum pertunjukan dimulai atau ketika mereka akan berpisah setelah penampilan seni usai.
Penampilan mereka akan memperlihatkan kualitas ekspresinya masing-masing, yang tentu akan berhubungan dengan watak puisinya. Ibrahim Sattah — penyair Pucuk Mali-Mali — akan tampil dengan permainan kata yang menyentak, bahkan bisa mengejutkan hadirin oleh suaranya yang diikuti dengan pukulan tangan pada podium, seperti misalnya dia membacakan puisinya bertajuk ‘’Laut’’.
Idrus Tintin — raja improvisasi bagaikan rajawali hutan — akan mempermainkan kata sambil bergurau, seperti dapat kita saksikan ketika dia membacakan sajak ‘’Amboi-Amboi’’. Sedangkan Ediruslan Pe Amanriza, membaca sajak bagaikan bercerita dalam keadaan duka, seperti terkesan ketika dia membacakan sajak ‘’Surat-Suratku Kepada GN’’. Sementara Wunulde Syaffinal dan Taufik Effendi Aria, memang punya kesamaan gaya dalam baca puisi. Perhatikanlah misalnya puisi Wunulde Syaffinal ‘’Sungai Kecil dari Gunung’’, kita seakan berhadapan dengan peristiwa kehidupan yang tenang dan sunyi, meskipun pada permukaannya penuh dengan riu-rendah den sorak sorai keramaian. Wunulde Syaffinal dan Taufik Effendi Aria, lebih suka menampilkan ruas-ruas kehidupan yang belum tentu terpikirkan atau terbayangkan oleh orang dalam hidup kesehariannya. Agaknya kesamaan kualitas ekspresi dan gaya itulah, yang membuat mereka bersatu meluncurkan kumpulan sajak bersama dengan tajuk Arus.
Allah SWT menciptakan malam dan siang untuk menggilirkan kehidupan di muka bumi, sehingga ada yang datang dan ada yang pergi. Setelah hampir 40 tahun, lima orang penyair yang suaranya pernah bergema di Pekanbaru itu, ternyata telah berangkat pulang, satu demi satu. Kalau tidak silap, mula-mula berpulang Ibrahim Sattah tahun 1987. Kemudian menyusul Ediruslan Pe Amanriza dan Idrus Tintin. Sedangkan Wunulde Syaffinal berpulang tahun 2007 yang lalu. Jadi tinggallah Taufik Effendi Aria sebatang kara dari lima orang penyair Pekanbaru 1970-an serta sebatang kara pula dari penyair Arus.
2. Urat Nadi Sajak Taufik Effendi Aria
Kumpulan sajak Arus karya Wunulde Syaffinal dengan Taufik Effendi Aria terbit tahun 1975. Pada masa itu berarti Taufik Effendi Aria berumur 33 tahun. Sekarang tahun 2009 dalam usia Taufik 67 tahun, dengan tidak disangka-sangka dia meluncurkan kumpulan sajak Menuju Ruang Kosong Menjemput Firman, tahun 2008 yang lalu. Kumpulan sajak ini memuat puisi yang ditulis 1960-an, 1970-an, 1990-an sampai tahun 2000-an. Kumpulan sajak yang berisi 51 sajak ini, boleh dikatakan berisi rentangan waktu 40 tahun. Ini memberi bukti, Taufik hampir tak pernah berhenti menulis sajak. Barangkali cukup sulit mengumpulkan sajak yang berada dalam arsip tulisan dalam rentangan waktu yang begitu panjang.
Rentangan tahun yang begitu panjang dalam kumpulan sajak Taufik, cukup menyulitkan mencari urat nadi puisinya. Urat nadi kumpulan puisi adalah, beberapa rangkai puisi yang menjadi dasar kualitas ekspresi. Pada urat nadi puisi inilah dilarutkan pesan yang paling mendasar dari ide seorang penyair. Jika suatu kumpulan puisi tidak punya urat nadi, maka penyair itu barangkali memang tidak punya ide yang mendasar dalam proses kreatifnya. Dengan kata lain dia hanya menulis puisi untuk bermain-main dengan kata, tanpa ada suatu yang bernas (bernilai) yang ingin dibungkusnya dalam rangkaian puisinya.
Memang watak puisi bagaikan seligi tajam bertimbal yang dalam bahasa lain disebut ambiguitas. Jika karya sastra semisal puisi tidak punya tajam bertimbal, maka puisi itu akan mati. Maka tugas utama seorang pengamat, adalah menemukan satu di antara ambiguitas itu. Dengan menerangkan satu di antaranya, pembaca awam dapat dibantu memahami lalu kemudian dapat menghayati serta menikmati puisi itu. Mengapa banyak kalangan tidak tertarik kepada puisi, satu di antaranya karena tidak ada pihak yang dapat menjelaskan apa sebenarnya yang hendak ‘diucapkan’ oleh sajak tersebut.
Setelah memperhatikan rangkaian puisi Taufik sebanyak 51 sajak, dibandingkan sesamanya, maka dapat diarahkan satu di antara tajam bertimbalnya kumpulan puisi ini yang hendak ‘diucapkan’ ialah liang lahat akan membuktikan firman Allah. Urat nadi puisi ini terletak pada sajak ‘’Ruang Kosong’’ dirangkai dengan sajak tanda seru (!) berkelindan dengan sajak ‘’Firman’’. Sementara urat cabangnya berada pada sajak ‘’Zikir’’ dirangkai dengan sajak ‘’Kepada Sang Maut’’.
3. Semua Orang Akan Melalui Liang Lahat
Perjalanan hidup Taufik Effendi Aria menulis sajak dalam rentangan tahun sekitar 40 tahun, rupanya tidak membuat dia jadi mabuk syair, sehingga lupa kepada yang lain, terutama tentang makna hidup ini. Dari urat nadi sajaknya dapat terbayang, bagaimana kehidupan ini akan ditutup. Dalam perjalanan umurnya mendekati rembang petang, Taufik Effendi Aria lewat sajaknya dapat membayangkan betapa akhir hidup ini akan terlantar pada ruang kosong, yakni kata lain untuk liang lahat. ‘’Tuhan. terimalah aku dalam ruang kosong ini, ridhailah suarakaku, ridhailah langkahku…’’
Inilah ruang yang sepi air mata, sepi resah dan sepi rindu. Lantas bagaimana mempersiapkan diri menghadapi ruang kosong? Taufik menjawab lewat sajak, ‘’Hanya pada-Mu aku rukuk, hanya pada-Mu aku sujud’’. Liang lahat alias ruang kosong sungguh mengerikan. Betapa tidak, ‘’dalam ruang kosong kami melata, meraba-raba, menjerit, memekik seperti kuda meringkik’’. Karena itu (!) ‘’baca ulang riwayat yang tertulis pada lembaran usia kita. Tanya diri, mau ke mana dengan hidup ini?’’
Kata Taufik dalam sajak ‘’Zikir’’, ketika penyair menghadapi maut dia akan kehilangan kata. Yang tinggal hanya desah. Dia sebaiknya menjaga kalimah La illaha illallah. Ingatlah Allah dengan 99 nama sanjungan. Ketahuilah betapa alam semesta ini tunduk dan bertasbih memuji-Nya siang dan malam. Perhatikanlah firman Allah bahwa Alquran itu adalah petunjuk dan rahmat. Kitab yang tiada keraguan padanya. Jadi petunjuk bagi orang yang bertakwa.
Taufik Effendi Aria pernah menanyakan dalam kalbunya lewat sajak ‘’Kepada Sang Maut’’ bilakah helaan nafas terakhir akan tiba? Dia sudah lama menantinya. Dia lepaskan derai air mata agar tangisnya bermakna. Jalan lurus itu menuju rumah-Nya. Berjalan harus dengan jubah Al-Kitab, melangkah dengan tongkat Al-Hadits. Cobalah mengingat Allah dengan sepenuh hati. ‘’Menangislah, siram nurani dengan air mata , berjalan di alur cahaya-Nya’’. Bayangkan sangkakala serta pencabutan ruh. Hitunglah, berapa langkah lagi hidup ini? Akhirnya Taufik Effendi Aria dalam sajak ‘’Zikir’’ berucap, ‘’Ya Allah, jemputlah aku, dikala aku masih dapat menyebut nama-NYA’’.***