Jauh sebelum dunia cuci gosok (setrika) dihebohkan dengan menjamurnya layanan laundry kilo, laundry kilat dan yang sewaktu dengannya, kami sudah lama punya layanan super prima : Kenok Laundry.
Mulai berdiri paling tidak awal ‘80-an, Kenok Laundry telah berkhidmat lebih dari 30 tahun. Sungguh bukan waktu yang singkat. Sejak dari aku masih SD sampai punya si sulung yang sekarang sudah jenjang aliyah. Sejak dari kami hanya empat beranak, sampai kami beranak-pinak. Kami memanggilnya “Kak Kenok” dan anak-anak kami memanggil beliau “Bude Kenok”.
Perkara kinerja dan etos kerja usah lagi ditanya. Beliau tangkas dan cekatan dalam bekerja. Hemat air, cermat menggunakan deterjen, hati-hati menakar pewangi, teliti memakai pemutih dan pelicin serta sayang listrik. Semua alat kerja dirawat sedemikian rupa sehingga bersih dan tahan lama. Hasil kerja sudah teruji : bersih, rapi dan wangi.
Dia juga adalah tipe yang total dalam bekerja. Hasil cucian yang menurutnya di bawah standar, akan segera diulang. Dedikasinya pun tinggi. Jika ingin bepergian, dia akan memberi tahu jauh hari sebelumnya. Kalau waktu safar itu cukup lama, dia akan mengupayakan tetap ‘masuk kantor’ di pagi hari dan baru setelah itu berangkat. Cuti hari raya pun tak mau lama-lama. Dia tak ingin kain kotor menumpuk. Tak ada yang memintanya begitu. Hanya kesadarannya pribadi.
Yang tak kalah pentingnya, beliau sangat memahami karakteristik induk semang sehingga kami nyaman bersamanya. Dia paham bahwa ayahku adalah pribadi yang ganjil dan bukanlah orang yang banyak bicara. Dia khatam betul standar kerja yang disukai ibuku. Bahwa baju ini harus diampai di tempat yang teduh, baju putih harus diberi belau, yang itu cukup dikucek tangan dan lain sebagainya.
Kehadirannya sungguh mengurangi hari-hari penuh drama. Dia membantu kami mengurus bayi-bayi yang hobinya buang air tiap sebentar. Dia menolong kami membesarkan dua anak bujang yang lasak macam gasing sehingga pakaiannya penuh noda dan keringat. Dia meringankan beban karena stok baju kerja sudah bersih, licin dan harum.
Dengan masa kerja yang sedemikian lama, jarang kami mendengar dia mengeluh. Paling-paling kalau pakaian si duo bujang sudah minta ampun ledahnya, barulah dia akan bertanya.
“Ke mana anak-anak ni kemaren?”
“Ada kegiatan outbound di sekolah Kak. Orang tu mandi-mandi di kolam dan nangkap belut.”
“Patutlah banyak lumpur dan pasir pakaiannya.”
Dah. Cukup sampai di situ. Jika kami minta maaf kalau sekiranya ada pakaian yang begini dan begitu, dia hanya akan berujar singkat, “Dah, kasih aja lah sama aku. Nanti aku bereskan.” Sekian.
Tak hanya soal cuci gosok, dia juga ringan tangan. Ketika seisi rumah pergi, dia bersama keluarganya siap siaga membantu menjaga rumah. Ketika di rumah ada acara, dia adalah penolong serba bisa. Kalau qaddarullah Ibu tiba-tiba harus pergi sementara pekerjaannya terbengkalai, dia takkan segan menawarkan bantuan membereskan sisanya. Ketika ada yang harus dirawat di rumah sakit, dia akan mengambil alih apa yang dapat dia tolong. Pendek kata, beliau benar-benar andalan keluarga, merawat kami tiga generasi.
Dulu, di masa jayanya, cukup banyak keluarga yang menggunakan jasanya. Namanya adalah jaminan mutu. Ketika kian menua, dia memutuskan hanya bekerja di rumah kami. Saat orang demam membeli mesin cuci, beliau sempat berkata pada ibuku, “Ibuk jangan beli mesin cuci ya. Nanti ndak ada lagi aku kerja.” Ibuku pun menjawab menenangkan hatinya, “Ndak kan ada kami beli mesin cuci do Nok. Mana pandai aku pakai mesin-mesin tu.”
Dan Ibu memang setia memilih dirinya. Ketika zaman masih ada orang yang membantu Ibu untuk mengurus rumah, khusus perkara cuci setrika, Ibu tetap mempercayakannya pada Kak Kenok. Karena itu, meski asisten Ibu sudah silih berganti, namun dia tetaplah juara bertahan.
Dia adalah salah seorang saksi perjalanan hidup kami. Melihat kami dari kanak-kanak hingga menua. Dia juga akrab dengan keluarga besar kami, hapal nama-namanya, terutama mereka yang sering singgah ke rumah. Dia masuk daftar undangan majelis nikah kawin para sepupu.
Sebenarnya, sudah sejak beberapa tahun terakhir dia mengatakan hendak berhenti bekerja. Ibu mengatakan semua terpulang padanya. Jika dia memang penat, Ibu takkan memaksa. Dan selama dia masih ingin bekerja, Ibu akan senantiasa menerima.
Akad kerja pun telah lama diubah suai semula. Dia tak perlu lagi datang tiap hari. Begitu pula dengan menggosok. Beberapa pakaian rumah tak perlu lagi disetrika. Semua benda yang tebal-tebal dan berat sudah lama diserahkan ke laundry lain untuk mengurangi beban kerjanya.
Dia lah teman ibuku bercengkrama. Kawan curhat sesama perempuan. Sambil menunaikan tugasnya, dia ikut menyimak siaran radio Hidayah FM yang selalu diputar di rumah. Selesai bekerja, biasanya dia duduk di teras belakang menghabiskan teh yang selalu dibuatnya sendiri. Kalau sambal berselera di lidahnya, dia takkan sungkan ambil nasi dan lauk sendiri. Lalu dia akan bebual-bual sebentar dengan Ibu dan kadang juga ayah.
Sampailah suatu hari, dia mengatakan bahwa benar-benar akan berhenti mulai Desember ini. “Udah capek aku Buk. Sejak Purni kecil lagi ha. Sekarang dah besar pulak anak dia.” Mulai saat itu, tak ada lagi sepedanya yang biasa diparkir di sebelah garasi.
Ketika si bujang menelepon menanyakan apa kabar rumah, inilah salah satu hal yang rasanya sungguh patut disampaikan, “Mulai Desember ini, Bude tak lagi mencuci.”
Jazaakillah khayr Bude. Jasamu dikenang. Pergaulan kita selama ini in syaa Allah adalah salah satu bukti indahnya ukhuwah dan menua bersama.
Agaknya, inilah cogan yang tepat untuknya : “Kenok Laundry, Berdiri Sejak 1980, Merawat 3 Generasi”.***