Kabar duka itu begitu tiba-tiba. Hampir setiap orang yang mendengarnya langsung terperanjat. Si Fulan telah dipanggil menghadap Allah. Sebelumnya, tak pernah terdengar kabar bahwa dia sakit. Tapi itulah hakikat ajal. Mati tidak harus tua dan tidak wajib sakit. Yang tua bisa jadi masih lama hidupnya dan yang sakit belum tentu akan mati. Bak kata orang Melayu : “belum ajal berpantang maut”.
Di antara kawan yang terperanjat itu adalah dua orang sahabat. Salah seorang di antara mereka lebih lagi tersentak. Karena, tepat pada malam sebelumnya si Fulan rahimahullah berkunjung ke rumahnya. Tiada tanda-tanda bahwa keesokan paginya dia telah meninggal dunia.
Bahkan, pada malam itu, si sahabat itu sempat berkelakar dengan si Fulan. Ketika itu, si Fulan rupanya berhajat hendak meminjam uang. Si sahabat lalu berkata : “Apa Bung pikir di atas loteng rumah saya ini isinya uang semua?”
Mereka berdua lalu tertawa terkekeh-kekeh. Keduanya berbual hingga dekat larut malam. Ternyata, itulah pertemuan yang terakhir.
Keesokan harinya, setelah penyelenggaraan jenazah selesai, sahabat yang seorang bergegas mengunjungi sahabatnya yang seorang tersebut. Padahal, saat itu hari masih pagi sekali. Si sahabat yang seorang itu pun terkejut pula, apa pasal si karib bertamu pagi-pagi.
“Bung, kemarin saya ikut mengusung jenazah si Fulan.”
“Lantas?”
“Ya Allah ya Rabbi, bukan main beratnya. Padahal sudah banyak yang mengusung, tetap saja terasa berat.”
Lalu keduanya terpegun dalam gerun selama beberapa saat.
“Lalu bagaimana baiknya menurut Bung?”
“Mari kita pergi haji.”
“Ayo lah kalau begitu.”
Maka segeralah mereka mendaftar untuk berangkat haji bersama-sama istri. Musim haji tahun itu, 1988, ongkos naik haji (ONH) kurang lebih Rp8 juta. Sekadar perbandingan, satu tahun sebelumnya, harga tunai satu unit mobil Suzuki Carry kurang lebih Rp7 juta.
Pada saat itu, Perang Teluk antara Irak dan Iran masih berkecamuk. Banyak orang yang mengundurkan diri untuk pergi haji karena khawatir masalah keamanan di Teluk berdampak pada perjalanan haji. Namun kedua sahabat sudah bertekad bulat. Mereka tetap berangkat walaupun ketika itu perang masih berlangsung dan anak-anak masih kecil.
Benarlah perkataan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa agama seseorang itu tergantung kepada siapa temannya. Maka pandai-pandailah memilih kawan. Lihatlah dengan siapa kita berteman, dengan pandai besi atau dengan penjual minyak wangi? ***