Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Bayangan Orang Mukmin dalam Gurindam Duabelas Karya Raja Ali Haji, Oleh : UU Hamidy
Foto: eskipaper.com

Bayangan Orang Mukmin dalam Gurindam Duabelas Karya Raja Ali Haji, Oleh : UU Hamidy

Raja Ali Haji telah memainkan peranan dalam hidupnya pada berbagai dimensi kehidupan. Beliau seorang bangsawan Kerajaan Riau-Lingga, pengarang tata bahasa Melayu pertama dari puak Melayu, penulis sejarah yang teliti, penulis kitab hukum, penasehat yang jujur terhadap raja-raja Riau dan pengarang yang piawai. Di atas segalanya itu, bermuaralah segala peranan ini pada suatu buhul yang kokoh, yakni ulama yang cemerlang, disegani oleh kerajaan dan masyarakatnya.

Semua karyanya boleh dikatakan telah ditulis sebagai cara menyampaikan kebenaran pada khalayak, dalam rangka memberikan ketenteraman dan keselamatan –sebagaimana ulama sebagai pewaris Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, pembawa rahmat bagi segenap alam. Maka dalam karya-karya pengarang ini telah terpancar nilai-nilai Islam. Itu sekaligus memberi gambaran akan kemampuannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga layaklah segala jerih payahnya itu sebagai kebajikan di sisi Allah Rabbul Alamin.

Maka dari segala karya Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas merupakan karya yang sulit dicari bandingannya. Keutamaan karya ini bukan semata-mata atas keindahan sajak dan pilihan kata dalam bentuk yang artistik, tetapi terlebih-lebih atas keindahan batinnya, yakni kandungan pesan-pesannya yang amat mendalam, jernih dengan sinar kejelasan yang murni. Gurindam Duabelas agaknya telah ditulis oleh Raja Ali Haji sebagai hasil apresiasi beliau atas Surah Ibrahim ayat 24 yang maksudnya ‘’Kalimat yang baik bagaikan sebatang pohon yang rindang berbuah lebat; akarnya terhunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke angkasa’’.

Begitulah manfaat kalimat yang bermuatan kebenaran. Kalimat itu tidak hanya dapat menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan (tertindas) dan bisa memberi buah yang segar (jalan yang lapang) bagi kesejahteraan hidup. Tetapi ia juga memberikan panduan agar memandang pada angkasa yang luas, untuk menyadari kebesaran Allah, pemilik jagad raya ini.

Bersabit dengan itu Gurindam Duabelas telah menyerap nilai-nilai Islam yang tinggi, lalu kemudian memancarkannya dalam bentuk gurindam, perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya; yang pertama itu syarat, yang ke dua jawab. Dengan rendah hati pengarang yang piawai ini berpesan bahwa gurindam ini boleh jadi juga diambil faedah sedikit-sedikit daripada perkataannya itu pada orang yang ada menaruh akal.

Demikianlah, tiap pasal gurindam tersebut telah bermuatan makna yang mendalam serta dapat dihayati oleh kalangan khalayak atau pembaca. Tiap pasal telah membendangkan satu dimensi kehidupan, sehingga dapat dibuatkan rangkaiannya sebagai berikut:

Pasal pertama, mengenai tauhid, mengenal Allah;
Pasal ke dua mengenai syariat;
Pasal ke tiga, pengendalian pancaindera dan anggota;
Pasal ke empat, sifat-sifat yang buruk;
Pasal ke lima, sifat-sifat yang baik;
Pasal ke enam, panduan atau tanda masyarakat yang baik;
Pasal ke tujuh, kesalahan perbuatan;
Pasal ke delapan, kritik pada diri sendiri;
Pasal ke sembilan, kejahatan syaitan;
Pasal ke sepuluh, adab pada ibu-bapak dan kawan;
Pasal ke sebelas, panduan bergaul dalam masyarakat;
Pasal ke duabelas, tanda raja dan orang yang berilmu.

Pada pasal pertama, pengarang telah membentangkan tentang tauhid. Jadi sebagai ulama Raja Ali Haji telah membuka karyanya dengan pokok ajaran Islam yang paling dasar. Barang siapa mengenai Allah suruh dan tegah-Nya tiada menyalah. Orang beriman yang benar-benar mengenai Allah, niscaya tidak akan membantah suruh yakni perintah dan tegah yaitu larangan-Nya. Untuk mengenai Allah itu dengan sesungguhnya, maka hendaklah pula mengenai diri sebagai hamba Allah semata, mengenai dunia sebagai barang yang terpedaya (memberi tipuan) dan mengenai akhirat sebagai tempat kembali kesudahan hidup.

Pasal ke dua memberi apresiasi mengenai syariat. Pertama dari syariat ialah sembahyang, sebab barangsiapa meninggalkan sembahyang seperti rumah tidak bertiang. Rumah yang tidak bertiang akan mudah dapat bahaya. Begitu juga orang tidak sembahyang, tidak akan terpelihara hidupnya. Selanjutnya hendaklah menjalankan puasa agar dapat dua tamasya; pertama tamasya atau kesenangan waktu berbuka dan ke dua tamasya di surga yang tiada tara. Zakat harus dipenuhi agar harta berkat, yakni bernilai di sisi Allah. Karena harta yang tidak digunakan di jalan Allah akan selalu mengundang malapetaka, jika tidak di dunia akan menjadi beban di akhirat. Lalu ditunaikan pula haji untuk memenuhi janji dalam syahadat kita.

Dalam bayangan Gurindam Duabelas, mukmin sejati itu adalah orang yang memelihara pancaindera dan anggotanya, sehingga tidak sampai melakukan perbuatan yang ceroboh. Hal ini terpancar dalam pasal ke tiga. Maka peliharalah mata, agar sedikit cita-cita, sebab makin banyak yang dilihat makin banyak yang kita inginkan. Peliharalah kuping agar kabar jahat tidak damping. Peliharalah lidah agar dapat faedah. Kemudian pelihara pula tangan, perut dan anggota tengah yakni kemaluan serta pelihara pula kaki daripada berjalan yang membawa rugi.

Selanjutnya perjalanan manusia menuju Tuhan yang bahri itu harus memagari dirinya dari sifat-sifat tercela. Hal itu diutarakan dalam gurindam pasal ke empat. Dalam hal sifat ini hati memainkan peranan utama, sebab hati bagaikan raja. Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun rubuh. Hatilah yang menimbulkan kedengkian; hatilah yang mengumpat dan memuji. Hatilah yang menimbulkan takabur, bohong, bakhil, sehingga akhirnya tiada tahu akan aib dirinya. Inilah orang yang amat celaka.

Maka segala sifat buruk itu harus ditinggalkan. Cerahkanlah sifat-sifat baik, sebagaimana diberi panduan oleh gurindam pasal ke lima. Pertama kita harus menjadi orang yang berbangsa, yakni yang punya martabat, punya jati diri yang terpuji. Ini harus dipantulkan oleh budi dan bahasa. Manusia harus hidup mulia, berilmu, berakal dan punya perangai yang baik, sehingga dunia dapat menjadi bekal menuju kampung akhirat.

Hidup di dunia penuh duri dan onak. Atau bagaikan melalui ombak yang ganas, sehingga harus dilalui dengan hati-hati. Karena itu dalam gurindam pasal ke enam, manusia sejati pencinta Tuhan itu, benar-benar melakukan seleksi ketika berhadapan dengan medan dunia. Dia mencari sahabat yang dapat dijadikan obat, mencari guru yang memberitahukan seteru. Dia mencari isteri yang menyerahkan diri, yakni yang rela menerima perjalanan hidup yang akan diambil oleh suaminya. Kawan yang baik itu ialah kawan yang setia, sedangkan abdi yang harus dipakai ialah pembantu yang tahu berterima kasih, atau membalas budi.

Dalam gurindam pasal ke tujuh dibentangkan, apabila orang cuai dalam perbuatannya, maka kerugian dan penyesalan yang akan dituainya. Jika banyak berkata niscaya masuk atau timbul peluang untuk berdusta. Berlebihan suka akan mengundang duka. Kurang siasat akan sesat. Jika anak tidak dilatih (dididik) akan meletihkan ibu-bapaknya dan banyak tidur terbuanglah umur.

Sebab itu tinjaulah diri sendiri dengan jujur sebagaimana diarahkan oleh gurindam pasal ke delapan. Jangan khianat pada diri sendiri. Jangan aniaya diri dan jangan suka membenarkan diri. Jangan suka memuji diri serta jangan pula suka menampakkan jasa. Yang utama bagi diri ialah kejahatan diri sembunyikan, kebajikan diri diamkan, keaiban orang jangan dibuka, keaiban diri hendaklah sangka. Sementara itu hamba Allah yang ingin memeluk Islam dengan kaffah (sempurna) hendaklah mengenal musuh yang akan membuat bencana baginya.

Musuh itu tidak hanya manusia biasa, baik orang lain maupun dirinya sendiri, tetapi musuh yang amat nyata lagi ialah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi manusia, seperti yang ternukil dalam Al-Qur’an. Inilah yang diingatkan oleh gurindam pasal ke sembilan. Tanda manusia pengikut syaitan, pertama sudah tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan juga. Syaitan itu bisa memperalat perempuan tua, hamba-hamba raja. Menggoda orang muda-muda apalagi kumpulan lelaki dan perempuan.

Orang mukmin itu mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi keridhaan Allah dan Rasul-Nya juga bersabit dengan keridhaan ibu-bapaknya. Sebab itu dalam gurindam pasal sepuluh, mukmin sejati itu diberi panduan adab terhadap ibu-bapak, anak dan kawan. Dengan bapak jangan durhaka supaya Allah tiada murka, dengan ibu hendaklah hormat supaya badan dapat selamat. Dengan anak janganlah lalai, sedangkan dengan kawan hendaklah adil.

Dalam pandangan yang islami, akhiratlah masa depan yang hakiki. Seorang hamba Allah harus menyadari betapa panjangnya perjalanan itu, mulai dari kandungan ibu, lahir dan hidup di dunia sepanjang umur yang ada, lalu mati memasuki alam kubur ratusan bahkan ribuan tahun. Kemudian hari berbangkit berjalan di padang mahsar menuju mizan Allah yang maha teliti. Berakhir dengan celaka masuk neraka atau selamat masuk surga.

Karena itu manusia harus membawa amal kebajikan yang banyak untuk bekal menyelamatkan diri, menghadapi perhitungan Yang Maha Adil itu. Keadaan ini dibayangkan oleh gurindam pasal sebelas. Dia harus berjasa kepada yang sebangsa, memegang amanat dan membuang khianat. Manusia yang condong kepada kebenaran itu hendaklah dimalui, bukan memalui serta punya perangai yang murah.

Akhirnya pengarang yang piawai itu menutup Gurindam Duabelas dengan pasal duabelas, memberi pedoman kepada raja sebagai pengawal kehidupan kerajaan dan masyarakat. Raja harus mufakat dengan para menterinya, sehingga segala keputusan dan tindakannya dapat memberikan kemaslahatan bagi warganya. Dia memberi hukum yang adil kepada rakyat, sehingga tak ada yang tertindas. Kasih pada orang yang berilmu dan hormat pada orang pandai. Pemimpin atau raja itu hendaklah sederhana tetapi berbudi mulia, karena ia ingat akan mati seperti manusia lainnya. Kesadaran itulah yang akan mendorong dirinya berbuat bakti atau kebaikan, sehingga dia punya bekal yang memadai menuju akhirat yang tak diragukan lagi.***

(Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau, UU Hamidy)

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *