Allah Ta’ala yang berhak diibadahi dengan benar menciptakan manusia beragam suku bangsa agar saling mengenal, yang terbaik di antara mereka adalah yang paling takwa. Allah Yang Maha Kaya juga memberikan rezeki yang berbeda agar manusia menyadari kebesaran Allah sehingga tunduk dan patuh terhadap Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin Melayu masa silam yang berpegang kepada akidah dan iman yang benar menyadari bahwa orang yang terbaik ialah yang paling banyak gunanya terhadap orang lain. Pesan amalan itu terjalin oleh ikat gurindam Raja Ali Haji ulama Melayu yang terpandang, ‘’Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa’’.
Maka kenyataan hidup memberi bukti betapa harta benda sering menjadi pangkal perselisihan dan pertarungan. Orang kaya merasa bangga dengan hartanya lalu memandang hina orang miskin. Sedangkan orang miskin memandang iri dan dengki kepada orang kaya. Akibatnya, harta orang kaya tidak mendapat berkah dari Allah sedangkan amal kebajikan orang miskin jadi hangus bagaikan api memakan kayu bakar.
Karena itu, untuk melahirkan pergaulan hidup yang islami sesuai dengan panduan Alquran dan as-Sunnah, pemangku adat Melayu yang telah mengadopsi Syariah Islam menjadi adat bersendi syarak, membuat suatu aturan atau adat dalam dunia Melayu yang dapat membuat peluang kerjasama antara orang kaya dengan orang miskin. Satu di antara kerjasama si miskin dengan si kaya itu terjalin dalam adat mempeduai ternak.
Disebut mempeduai, karena ternak menjadi milik berdua antara yang punya ternak dengan yang memelihara ternak. Kemudian disebut juga demikian, karena anak atau keturunan ternak itu menjadi milik berdua oleh orang kaya yang punya ternak dengan si miskin yang memelihara ternak. Maka pihak yang punya ternak atau si kaya disebut induk semang, sedangkan yang memelihara yakni si miskin disebut anak semang.
Ternak yang diserahkan oleh induk semang kepada anak semang disebut ‘’pokok’’ sedangkan anak dan keturunannya disebut ‘’ujung’’. Bila persekutuan ini dibubarkan, maka pokok dikembalikan kepada induk semang sedangkan anak dan keturunan (ujung) dibagi dua oleh mereka berdua. Jika anak semang memerlukan pejantan, maka induk semang akan memberikan pejantan. Setelah dipelihara sebagai pejantan yang tentu makin besar, maka anak semang mendapat lagi bagian dari harga pejantan itu bila kelak dijual.
Bila anak semang kesulitan, dia dapat menjual lebih dahulu seekor pokok (sebelum ada ujung) asal nanti digantinya dengan ujung dari pembagian yang diterimanya. Misalnya, anak semang menerima dua ekar sapi betina sebagai pokok. Yang satu dapat dijualnya jika dia amat memerlukan uang. Maka tinggal satu pokok yang dipeliharanya, yang nanti diharapkan akan berkembang biak.
Jika persekutuan berjalan dalam jangka panjang, anak semang dan induk semang dapat menjual ujung bergantian untuk keperluannya masing-masing. Berapa lama persekutuan akan berjalan, bergantung kepada persetujuan (perjanjian) kedua belah pihak. Jika salah seorang meninggal dunia, maka ahli waris dapat meneruskan persekutuan atau membubarkannya.
Jika pokok dari induk semang habis mati atau kena bencana di luar kemampuan anak semang menyelamatkannya dan induk semang tidak memberikan pokok baru, maka pokok yang mati (termasuk ujung atau anaknya) dianggap hilang atau habis. Peduai (persekutuan) dianggap bubar dam anak semang tidak dituntut apa-apa oleh induk semang. Pasal yang terakhir inilah yang benar-benar menjadi bukti bahwa adat bersendi syarak benar-benar memberikan perlindungan dan keselamatan, sebab adat yang bertumpu kepada Alquran dan as-Sunnah itu dipandu oleh kategori hak-batil, halal-haram serta dosa-pahala.
Di sini tampak bagaimana tingginya nilai keikhlasan daripada induk semang. Dia tidak menuntut kerugian pada anak semangnya, walau berapapun nilai kerugian yang menimpanya. Induk semang benar-benar menerima takdir dengan dada lapang. Begitu pula anak semang yang kena bencana, rela menerima ketentuan Allah Yang Maha Kuasa.
Maka mari kita bandingkan kenyataan hidup kita hari ini dengan peristiwa adat mempeduai ternak tersebut. Bayangkan ada orang meminjam uang kepada bank konvensional (riba) untuk modal usaha. Kemudian dia ditimpa bencana sehingga seluruh modal dan keuntungan habis. Lalu dia mengadu kepada direktur bank, memberikan laporan dengan jujur. Adakah si peminjam ini akan dibebaskan membayar pinjamannya (tidak dituntut apa-apa) oleh direktur bank sebagaimana tadi dilakukan oleh induk semang kepada anak semang?
Maka lihatlah bahwa dalam adat bersendi syarak peri kemanusiaan dalam Pancasila benar-benar berlaku dengan baik, sehingga warga masyarakat dapat merasa terpelihara. Tapi pada bank konvensional tadi, adakah peri kemanusiaan itu dipraktekkan? Karena itu hanya hukum Islam yang menjamin terlaksananya Pancasila, bukan hukum demokrasi buatan manusia.***