Subuh baru saja melambaikan tangannya. Titik-titik embun masih menyelimuti dedaunan. Semburat sang surya sudah mulai mengintip di balik awan. Pagi yang tenang di Dusun Lalang, sekitar 18 kilometer dari Selatpanjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Tepatnya di Desa Tanjung, Kecamatan Tebing Tinggi Barat.
Setelah mengantar anaknya ke sekolah, Syafruddin (43) bergegas menuju Sungai Suir. Kira-kira lima menit menyeberang dengan sampan, ia berjalan kaki di tanah redang (tanah bergambut) yang di kanannya berjejer tiang listrik tak berkabel. Kurang lebih limabelas menit, ia sudah disambut gemuruh bunyi mesin. Itulah sekelumit serpihan kehidupan di kilang sagu.
Di belakang kilang, sejauh-jauh mata memandang yang tampak hanyalah kebun sagu yang membentuk hutan palma. Di kiri dan kanan jalan menuju ke kilang, tampak hamparan uyung (kulit sagu) yang dijemur. Persis di sebelah kilang, sebuah kuala sungai penuh dengan tual-tual sagu yang baru datang. Bangunan kilang sagu hampir mirip dengan gudang. Dindingnya tinggi-tinggi dengan atap dari seng. Di dalamnya, bekerja berbagai jenis mesin dan wadah untuk mengolah sagu menjadi tepung. Mulai dari mesin parut, tong pencuci, bak pengendap, hingga oven.
Kehidupan di kilang mulai berdentang sejak pukul 7.00 hingga 17.00. Untuk sebuah kilang dengan kapasitas cukup besar, seperti kilang sagu Harapan I mampu menampung paling tidak sekitar 35 orang pekerja. Sebanyak 18 orang adalah pekerja tetap dan sisanya pekerja borongan.
Sagu adalah salah satu urat nadi kehidupan di kabupaten paling bungsu di Provinsi Riau ini. Kebun sagu di sepanjang pesisir pulau, masyarakat yang membawa tual-tual sagu, kapal kayu yang membawa rangkaian sagu dan segala sesuatu hal yang berkenaan dengan tanaman yang salah satu nama latinnya ialah Metroxylon sago rottb ini, adalah pemandangan yang sangat mudah kita temui di sana. Bahkan, setidaknya sejak era tahun 1950-an, sagu Meranti telah dikirim ke salah satu pelabuhan di pesisir Utara Jawa, Cirebon.
‘’Batang sagu kini lebih kecil dan pendek. Sekarang, satu tual panjangnya sekitar 40-45 inchi dengan diameter 30 inchi. Dulu bisa diameter 40-50 inchi,’’ tutur pria yang akrab disapa Pak Din ini.
Digerogoti Pajak Alias Rentenir
Sagu dari Meranti (biasanya dikenal dengan nama sagu Selatpanjang, red) memang telah tersohor ke mana-mana. Tanaman keluarga palma itu telah menjadi tempat bergantung sebagian besar kehidupan masyarakat. ‘’Tapi, di sini (Meranti, red), kalau tak hati-hati, kebun bisa kena pajak. Itu sebenarnya hanya nama lain dari rentenir. Sekali kena jerat, susah untuk lepas,’’ tutur ayah tiga anak ini.
Lamanya masa panen sagu, menurut Pak Din, adalah salah satu penyebab para petani sagu jadi tak berdaya menghadapi ijon. Sagu paling cepat hanya bisa dipetik hasilnya setelah 8-10 tahun. Dalam rentang waktu selama itu, jika tak punya mata pencaharian lain yang bisa mencukupi untuk keperluan harian rumah tangga, maka menggadaikan kebun sagu adalah salah satu pilihan yang susah untuk dihindari. ‘’Menanam sagu memang tak bisa dapat hasil cepat. Kalau ditanam waktu anak masih bayi, kadang sampai sudah mau masuk sekolah pun tetap masih belum bisa dipanen. Sementara itu banyak keperluan lain yang mendesak. Mau tak mau terpaksa kebun sagu digadaikan dulu,’’ ungkapnya.
Dengan sistem pajak, lanjut Pak Din, sang rentenir akan menakar kondisi batang sagu saat itu untuk beberapa rentang waktu ke depan dan tertentu. Misalnya kebun digadaikan untuk jangka waktu dua tahun. Biasanya harga yang diberikan cukup murah dan tak sebanding jika kelak sagu bisa dipanen. ‘’Tapi kalau musim anak mau masuk sekolah, menikahkan anak, mau puasa atau hari raya atau ada keperluan mendesak lainnya, harga murah itu terpaksa diterima petani. Yang penting dapat uang tunai dulu. Di Meranti ni ada tradisi, tiap tanggal 17 Agustus anak-anak biasa pakai baju sekolah dan sepatu baru. Belum lagi sekarang semua harga makin mahal. Akhirnya jual kebun. Kalau tidak hati-hati, nanti lahan sagu bisa habis digadai dan akhirnya terjual ke tangan rentenir,’’ bebernya.
Sebab itu, kata Pak Din, tak heran, satu per satu kebun sagu masyarakat tempatan kini jatuh ke tangan warga Tionghoa yang umumnya memang terkenal bermodal besar. ‘’Sekarang sudah tak terhitung lagi banyaknya petani yang telah menggadaikan kebunnya. Jika dipersentasekan, kini perbandingan kebun orang Melayu dan orang Tionghoa bisa mencapai 20:80. Sudah banyak kebun sagu orang Melayu yang awalnya tergadai lantas kemudian terpaksa dijual karena tak sanggup lagi membayar hutang. Bahkan kini hanya tinggal tiga kilang sagu milik orang Melayu yang terbesar di Meranti. Sementara para tauke jumlahnya bisa mencapai sedikitnya 40 kilang,’’ ungkap Pak Din.
Dulunya, ayah Pak Din, Haji Muchtar Muhammad (alm) adalah salah seorang yang cukup risau dengan sistem pajak dan berusaha memutuskan mata rantai ijon. Seperti diceritakan Pak Din, sejak ada orang Melayu yakni ayahnya yang punya kilang, harga sagu ketika itu mulai bersaing. Akhir tahun 1980-an, satu batang sagu hanya dihargai Rp6. Setelah itu terus naik hingga jadi Rp15 ribu per batang di era 1990-an. ‘’Akibat monopoli, ada juga warga Tionghoa yang tinggal memberi modal, tapi orang kita yang menjalankan usaha sagunya,’’ ujar Pak Din.
Sebelumnya, sempat ada tujuh kilang yang dibawah binaan Haji Muchtar. Tapi setelah beliau berpulang dan karena pengelolaan yang salah, satu per satu kilang ini akhirnya jatuh ke tangan warga Tionghoa. ‘’Kini tinggal satu kilang yang masih jalan, tepatnya di wilayah Sungai Tohor, namun bahan bakunya sudah tidak dari kita lagi,’’ tutur Pak Din.
Hal senada diungkapkan petani sagu lainnya, Paridin (45). Menurutnya, akibat sistem pajak, peta kepemilikan kebun sagu yang dulunya banyak dimiliki orang Melayu kini berpusing arah menjadi milik warga Tionghoa. ‘’Kalau sudah kena pajak sekali, susah. Macam tak bisa lepas dari ikatan,’’ ujarnya.
Pekerja sagu lainnya Tugiman (53), juga sependapat. ‘’Kalau sistem pajak biasanya menghitung tinggi batang. Misalnya, digadaikan untuk 2 tahun, paling-paling cuma dapat Rp50 ribu per batang. Akibatnya petani jadi terikat dan harga jadi begitu-begitu saja, tak naik-naik,’’ bebernya.
Selain itu, lanjut Tugiman, anak-anak Melayu sekarang kurang berminat membuat kebun sagu atau meneruskan usaha sagu milik orangtuanya. ‘’Kalau anak sekarang, baru sekolah sikit, cita-citanya mau jadi pegawai. Jarang ada yang mau buat kebun. Tahan lama menganggur sebelum jadi PNS,’’ kata Tugiman.
Sementara itu, Ketua Koperasi Harmonis, Indra Wijaya mengatakan, hanya sebagian kecil kebun sagu milik Melayu yang telah dibeli oleh warga Tionghoa. ‘’Hanya sebagian kecil lah,’’ ujar pria yang juga akrab disapa Akok ini. Koperasi Harmonis adalah koperasi yang sebagian besar menaungi pemilik kebun dan kilang sagu milik warga Tionghoa.
Sedangkan pengurus Koperasi Harmonis lainnya, Baharuddin menolak berkomentar soal hal ini. ‘’Saya tak bisa komentar, itu sudah menjurus ke dalam,’’ jawabnya.
Alih Fungsi Lahan Jadi HTI
Selain digerogoti sistem pajak yang membuat kebun tergadai, kebun-kebun sagu di Meranti juga punya saingan lain: alih fungsi lahan menjadi hutan tanaman industri (HTI), terutama jenis akasia. Dengan masa ‘panen’ lebih cepat daripada sagu, menanam tumbuhan untuk HTI kini juga diminati masyarakat. ‘’Kalau nanam akasia, empat tahun sudah bisa ditebang. Lebih cepat dapat uang. Harganya pun dinilai pakai dolar. Wajar masyarakat jadi tergiur,’’ ujar salah seorang warga Meranti, Man (48). Sekarang, harga satu kubik kayu akasia paling kurang mencapai Rp100 ribu. Satu hektare lahan bisa menghasilkan sekitar 120 kubik akasia. Saat ini, setidaknya ada 12 ribu hektare lahan akasia di Pulau Rangsang, 40 ribu hektare di Pulau Padang dan 12 ribu hektare di Pulau Tebing Tinggi. Hal ini tak ayal juga membuat DPRD Meranti risau dan akhirnya mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan sementara beberapa aktivitas lahan HTI di Meranti.
Meski belum ada data pasti tentang jumlah lahan yang beralih fungsi menjadi HTI, tapi pemandangan kapal ponton yang mengangkut kayu sudah jadi hal yang biasa di perairan Kepulauan Meranti. Ketika kami sempat melakukan perjalanan di perairan Pulau Tebing Tinggi, iring-iringan kapal ponton pembawa kayu sangat mudah ditemui. Pagi itu, sekitar pukul 9.00 sudah ada lima kapal ponton pembawa kayu yang berangkat dari Meranti.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, H M H Bintoro pernah mengungkapkan, alih fungsi lahan/hutan gambut di Riau perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sebab, hutan gambut merupakan kawasan yang unik, bila dilihat dari luasnya jika dibandingkan dengan hutan yang tumbuh di tanah mineral. Lahan gambut dapat menahan air lebih banyak daripada tanah mineral. Bila dikeringkan, tanah gambut jadi rusak dan tidak dapat kembali lagi. Kubah gambut bila terpotong akibat dibuat saluran drainase, airnya akan keluar. Akibat air yang keluar secara berlebihan, volume lahan gambut akan menyusut sehingga permukaan tanah akan turun.
Hasil penelitian di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan, pengalihfungsian lahan gambut selama 20-30 tahun menyebabkan penurunan permukaan tanah sebesar 1-3 meter. Penurunan permukaan tanah di pulau-pulau besar mungkin pengaruhnya tidak seberapa. Tapi bila itu terjadi di pulau-pulau kecil, dikhawatirkan pulau itu akan tenggelam. Itulah kini yang dikhawatirkan kepulauan lempung di muara Sungai Siak dan estuaria Kampar ini.
Alam semula jadi Meranti sebagian besar adalah lahan gambut dan payau sehingga sebenarnya dari sisi ilmiah kurang pas dengan akasia yang sifat akarnya membuang air. Selain itu, kondisi kebun sagu yang bersahabat dengan alam mengakibatkan banyak kehidupan liar (wild life) bisa tetap hidup berdampingan dalam sebuah harmoni. Uyung (kulit sagu) juga telah terbukti mangkus menangkis hempasan gelombang sehingga wilayah pesisir kabupaten kepulauan ini bisa terhindar dari ancaman abrasi.
Untuk diketahui, keempat pulau di Meranti adalah istana bagi burung-burung di pantai timur Sumatera. Karena di sana adalah habitat kayu ara, yang buahnya jadi makanan burung. Kayu ara ini dan kerimbunan hutan tropis pulau selat telah menjadi bank deposit air untuk minuman rumbia. Jenis palma (tumbuhan dengan akar serabut) adalah pemakan air terkuat. Di Pulau Rupat dan Bengkalis, burung-burung tak sekaya empat pulau ini. Sebab itu, dulu, jika orang dari Dumai dan Bengkalis mencari burung, mereka akan berburu ke empat pulau ini, yaitu Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Rangsang dan Pulau Tebing Tinggi.
Bupati Kepulauan Meranti, Drs Irwan Nasir MSi mengaku cukup risau dengan hal ini. ‘’Alih fungsi lahan kerap menimbulkan masalah karena mengubah habitat lingkungan. Ini yang harus diwaspadai. Akasia itu habitatnya bukan di kita. Yang ramah itu sagu, bahkan kita bisa jual beli karbon. Ini (HTI, red) adalah kebijakan pusat. Tapi yang jelas masyarakat kita tidak bahagia dengan itu. Saya terus terang risau karena HTI diberi konsesi dengan jumlah lahan yang sangat luas dan waktu yang sangat lama. Lahan itu bisa dikontrak selama berpuluh-puluh tahun hanya untuk ditanam akasia dan itu masih bisa diperpanjang,’’ ujar Irwan Nasir.
Hal seperti itu terjadi diakui Irwan karena salahnya persepsi pemerintah pusat dalam menilai sagu. Sagu masih kerap dipandang sebagai tanaman hutan seperti yang terjadi di Papua dan Maluku. Padahal di Meranti, sejatinya yang telah terjadi adalah perkebunan sagu. Dalam hal teknologi pengelolaan sagu, Meranti juga sudah jauh lebih maju dari daerah penghasil sagu lainnya.
Sebab itu, bupati perdana di Tanah Jantan itu menyatakan tetap peduli pada pengembangan sagu. ‘’Kita sudah lama terkenal dengan sagu. Kita bisa jadi pusat pengembangan sagu. Food security itu ke depan adalah sagu. Jangankan di Indonesia, dunia saja sekarang sudah melirik sagu. Sagu punya masa depan karena sangat banyak manfaatnya dan produk turunannya juga sangat beragam,’’ tutur Irwan Nasir.
Minimnya Transfer Teknologi dan Industri Hilir
Meski telah lama jadi ikon Meranti, namun selain diproduksi jadi tepung sagu, tanaman rumpun ini paling-paling baru hanya dibuat sebatas makanan seperti mie, cendol, kerupuk, kuih-muih dan penganan lainnya skala industri rumah tangga. Padahal, sagu bisa dikembangkan dalam berbagai produk turunan yang harganya bisa lebih mahal berkali-kali lipat.
‘’Kalau kita baca, ada penelitian yang mengatakan sagu bisa untuk pembungkus kapsul, etanol, bahan kosmetik dan lain-lain, tapi bagi kami itu baru sebatas kabar. Teknologinya bagaimana nyatanya kita masih belum bisa. Padahal sagu dari daun sampai akar semua terpakai,’’ ujar pemilik kilang sagu Harapan I, Amiruddin (42).
Merujuk beberapa hasil penelitian, sagu bisa diolah jadi beberapa produk turunan seperti tepung, gula cair, bahan pembuatan roti, biskuit, campuran soun, mie, kue, penyedap makanan, bahan perekat, bahan untuk industri obat-obatan (untuk sampul obat baik kapsul dan kaplet), bahan kosmetik paling aman, bahan pembuat kertas, etanol hingga tekstil. Di Jepang, tepung sagu digunakan sebagai bahan dasar produksi glukosa, sirup berfruktosa tinggi, sorbitol, deterjen, dan sebagainya. Tepung sagu juga adalah penghasil polimer terbaik yang bisa membuat plastik mudah terurai secara alami (biodegradable). Limbah sagu (repu) dapat digunakan sebagai pakan ternak, tempat budidaya jamur, dibuat briket arang, serta batako dan papan semen untuk bangunan.
Bahkan, bagi orang Kamoro, Papua, ulat sagu (Rhynchophorus ferruginenus) atau dalam bahasa setempat disebut koo adalah salah satu sumber protein terbaik. Ulat ini umumnya hidup di batang sagu yang membusuk. Biasanya ia akan muncul pada batang pohon yang telah selesai ditebang. Ulat sagu ini juga dapat dimakan dengan cara dibakar setelah ditusuk seperti sate. Menurut pengamat kuliner Bondan Winarno, rasanya seperti santan, gurih. Ulat sagu juga sudah jadi santapan di Kabanjahe (Sumatera Utara), Blora (Jawa Tengah), Tanah Grogot (Kalimantan Timur) hingga Sarawak, Malaysia.
Menurut Pak Din, orang Korea dan Jepang yang sudah meneliti tentang repu bahkan sangat antusias dan menawarkan kerja sama. ‘’Setelah penelitian di sini, mereka datang dengan membawa surat perjanjian kerja sama. Berapapun banyaknya repu yang ada di kilang, silakan dikirim ke Korea. Mereka pernah menguji coba repu sebagai bahan anti nyamuk. Namun abang kami tak setuju. Menurut dia, kalau memang orang Korea tu berminat mengolah repu, mestinya hal itu dilakukan di Meranti sehingga ada transfer teknologi dan orang-orang tempatan juga mendapat lapangan kerja,’’ ujar Pak Din yang tak lain adalah abang Amir.
Menurut Amir, tidak seperti petani karet atau sawit, permasalahan petani sagu lebih komplit. Penelitian untuk komoditas lain seperti karet dan sawit rata-rata sudah banyak dilakukan. ‘’Kalau orang mau teliti sagu, waktu panennya kan lebih lama. Bisa-bisa sepuluh tahun lebih baru dapat doktor. Sekarang yang dirisaukan itu adalah soal limbah. Maunya Pemkab menjalin kerja sama dengan lembaga riset seperti LIPI atau universitas, sehingga sagu bisa dimanfaatkan lebih maksimal,’’ kata Amir.
Masuknya perusahaan besar sekelas Sampoerna Group ke bisnis sagu, menurut Amir adalah salah bukti bahwa sagu dinilai punya potensi yang cukup menjanjikan. ‘’Cuma yang kita khawatirkan, di awal-awal, Sampoerna memang mau beli sagu dari kita dengan beli harga tinggi. Tapi nanti kalau kita sudah ketergantungan, harga bisa anjlok karena monopoli. Bisa jadi macam nasib kopra di Tembilahan,’’ ujar Amir.
Azam Si Raja Sagu
Sampoerna Group kini memang tengah melirik sektor agribisnis salah satunya sagu. Setakat ini, perusahaan yang dulu bisnis utamanya adalah rokok itu telah mengambil alih sedikitnya 21.000 hektare lahan HTI milik PT National Timber and Forest Product di Meranti. Dulunya, PT National Timber bergerak di bidang pengusahaan hutan (HPH). Selain memiliki lahan sagu di Papua dan Sambas Kalimantan Barat, mereka masih mengincar lahan seluas 6.000 hektare di Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.
Februari silam, melalui anak usahanya PT Sampoerna Bio Fuels, PT Sampoerna Agro Tbk telah menandatangani kesepakatan jual beli 75,5 persen saham PT National Sago Prima (NSP). Saham ini akan dibeli seharga 6,48 juta dolar AS. Kini, NSP memiliki luas lahan 21.620 hektare, di mana lahan tertanam 12 ribu hektare, lahan belum tertanam 8.000 hektare, dan lahan konservasi 1.620 hektare.
Sampoerna ditengarai telah tertarik pada sagu sejak disarankan BJ Habibie sepuluh tahun silam. Selain itu, hingga kini belum ada pemain sagu baik lokal maupun internasional yang bisa dikatakan cukup bergigi.
\
Menurut GM Operasional PT NSP, Erwin, saat ini mereka tengah mencoba menggunakan dua macam bibit yakni dari BPTP dan IPB. Untuk itu ada dua perlakuan bibit. Yakni yang direndam dahulu di dalam air menggunakan rakit (seperti yang dilakukan petani tradisional) dan yang sudah ditanam dalam polybag seperti bibit karet atau sawit. ‘’Salah satu kelebihan sagu adalah ia tak perlu replanting (penanaman kembali). Sekali tanam, sagu akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun. Sagu memang sangat cocok ditanam di Meranti karena ia suka tumbuh di lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air,’’ tutur Erwin.
Politik Beras Akibatkan Sagu Inferior
Sayangnya, sebagian besar masyarakat hingga kini masih menganggap sagu sebagai bahan pangan inferior. Politik beras ala Orde Baru telah menyingkirkan beraneka ragam produk pangan nasional dan mendorong beras menjadi raja pangan satu-satunya. Akibatnya, saat ini, kita jadi bangsa yang memiliki ketergantungan amat besar pada beras. Data Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan, saat ini dari seluruh beras yang beredar di pasar dunia, 80 persennya diserap oleh Indonesia.
Dari sisi ketahanan pangan, sagu adalah salah satu sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi. Selain itu, Indonesia cukup potensial karena memiliki hamparan hutan sagu seluas lebih 1 juta hektare. Sayangnya, pemanfaatan areal sagu masih sangat rendah, hanya sekitar 0,1 persen dari total areal sagu nasional. Ini karena masih rendahnya kemampuan dan minat masyarakat memproduksi tepung sagu. Di Meranti sendiri, saat ini, hanya tinggal suku asli yang masih mau mengolah sagu dengan cara tradisional yang cukup melelahkan.
Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari potensi sagu nasional. Rendahnya produksi nasional juga diakibatkan teknologi pemanfaatannya masih sangat sederhana dan tradisional.
Sekadar catatan, Indonesia merupakan penyumbang 55 persen sagu dunia, disusul Papua Nugini 20 persen, Malaysia 20 persen, dan lain-lain 5 persen. Bisnis sagu kian menggiurkan ketika ia diolah jadi bahan bakar. Dengan bahan bakar fosil yang kian langka ditambah cadangan minyak yang menipis, sagu sebagai energi terbarukan akan sangat prospektif.
Menurut penelitian, sari pati atau karbohidrat yang dihasilkan sagu lebih banyak ketimbang tanaman lainnya. Satu hektare tapioka bisa menghasilkan 1,5 ton pati per tahun. Kentang bisa menghasilkan 2,5 ton per tahun, lalu jagung 5,5 ton per tahun, beras 6 ton per tahun. Sementara sagu mampu menghasilkan 25 ton per tahun.
Di Indonesia sendiri, tersedia 4 juta hektare lahan yang berpotensi ditanami sagu. Berarti, dalam setahun Indonesia berpotensi menghasilkan 100 juta ton pati sagu yang setara dengan 20 juta ton-25 juta ton bioetanol. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun. Tapi konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5 persen dari potensi produksi.
Perkebunan sagu yang diusahakan dengan baik dapat menghasilkan pati kering 25 ton per hektare per tahun, setara dengan 15 kiloliter etanol. Jika tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia dimanfaatkan secara optimal untuk bioetanol maka dapat diperoleh bioetanol 3 juta kiloliter per tahun dengan asumsi faktor konversi 0,6. Dengan kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per tahun. Bila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar 10 persen (campuran premium dan etanol 90:10) maka diperlukan etanol sebanyak 1,6 juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari pati sagu saja.
Bioetanol sebagai campuran premium tak mengandung timbal dan tidak menghasilkan emisi hidrokarbon sehingga ramah lingkungan. Diperkirakan dari pengolahan 1 Kg tepung sagu menghasilkan etanol sebanyak 0,56 liter.
Kendala utama bibit unggul sagu saat ini bisa diatasi dengan teknik kultur jaringan. Sehingga ke depan diharapkan bisa ada sagu yang masa panennya lebih cepat. Karena memiliki keragaman genetik yang besar dan tetap bersahabat dengan habitat liar di sekitarnya, kebun sagu juga dapat dijadikan obyek wisata dan obyek penelitian.
Mengutip Emil Salim, Riau sebenarnya memiliki sumber daya hutan dataran rendah dengan mikroorganisme terkaya di dunia. Jika dikombinasikan dengan pengetahuan bioteknologi, nilai tambahnya jauh lebih besar daripada konversi jadi kebun kelapa sawit. Ada pacet untuk bahan baku obat stroke dan serangan jantung, kulit kayu untuk kanker dan lain sebagainya.
Meranti adalah Tanah Fajar, karena ialah tanah perdana disinsing fajar di Riau saat ini. Posisi yang dulunya ditempati Natuna yang kini sudah menjadi Provinsi Kepulauan Riau. Inilah Negeri Pagi, the dawn land. Negeri di mana sang surya hadir dengan sinarnya yang hangat. Masalahnya, apakah kita mau semua anugerah yang bersinar ini menjadi sirna?***