Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Rekonstruksi Nilai Budaya Masyarakat Aceh dalam Membangun Peradaban Melayu, Oleh: UU Hamidy
Foto : accountingweb.com

Rekonstruksi Nilai Budaya Masyarakat Aceh dalam Membangun Peradaban Melayu, Oleh: UU Hamidy

1. Pentingnya Rekontruksi Nilai Budaya

Rekonstruksi nilai budaya mau tidak mau harus disadari sebagai suatu hal yang amat penting, bahkan hampir dapat dikatakan akan sangat menentukan jalan hidup umat manusia masa depan. Budaya dunia dewasa ini yang mendapat pengaruh dominan dari budaya Barat yang sekuler, sebenarnya sedang menuju kehancuran.

Tanda-tandanya dengan kenyataannya tak diragukan lagi. Dalam bidang ekonomi, krisis sudah timpa-bertimpa, tanpa dapat diatasi dengan tangguh. Dalam bidang kemanusiaan, jangan disebut lagi. Kezaliman pemerintah berlaku di mana-mana. Hebatnya, kezaliman pemerintah itu dilakukan dengan memperalat merek hak-hak asasi manusia, yang rupanya hanya dipakai sebagai topeng.

Jika kaum muslimin membalas sebagai qisash terhadap kezaliman yang menindas mereka, maka pengusung budaya sekuler Barat, berteriak mengutuk di mana-mana. Tetapi kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Israel yang tiada henti terhadap kaum muslimin, dunia hanya memandangnya biasa-biasa saja. Inilah kenyataan budaya keadilan dunia, yang amat berbahaya abad ini. Ini akan berlaku terus, selama belum ada budaya keadilan yang dapat menandinginya.

Manusia yang buta iman, memandang budaya Barat yang sekuler munafik, dengan silau, sehingga dengan ceroboh mengambil nilai-nilai budaya Barat tanpa seleksi. Mereka terpana melihat budaya teknologi Barat, tetapi cuai tidak melihat kenyataan, bagaimana dunia Barat menyalahgunakan teknologi itu untuk penindasan serta pemuas hawa nafsu yang liar.

Sebenarnya dunia Barat dengan budayanya dewasa ini, bagaikan manusia yang sedang sakit parah oleh penyakit yang kronis. Perhatikanlah, mana lagi perkataan budi pekerti dalam budaya Barat. Lihat nilai perempuan sebagai barang dagangan dengan kedok emansipasi. Peradaban Barat telah porak-poranda oleh narkoba dan seks-bebas, karena tak ada nilai yang handal sebagai pedoman dan kendali.

Maka tidak heran, dunia Barat berusaha habis-habisan mengekspor budayanya yang karut itu kepada dunia Timur, terutama kepada kaum muslimin. Tindakan itu sebenarnya tidak lain daripada memindahkan atau menularkan wabah penyakit yang mereka derita kepada orang lain.

Tetapi agar laku, lalu dibungkus dengan merek yang bagus seperti HAM dan demokrasi. Budaya Barat yang hanya bertumpu kepada pikiran (filsafat) dan kemauan bebas, hanya akan membawa kehancuran umat manusia. Sebab, segala yang tidak berpijak kepada yang hak, niscaya akan hancur.

Kita kaum muslimin yang punya panduan Al-Qur’an dan Hadist yang bertumpu pada kebenaran yang hak, harus menyadari, bahwa kehadiran budaya Barat seperti demokrasi, HAM, liberalisme, sekulerisme dan materialisme, adalah jerat yang akan dimainkan untuk meracuni dan menipu kita, agar kita meninggalkan budaya kita yang dipandu oleh iman, kepada budaya hawa nafsu. Memandang bahaya ini, maka kita memang amat perlu merekonstruksi nilai-nilai budaya kita, agar dapat membangkitkan kreativitas budaya kepada generasi anak cucu kita, dalam bingkai yang islami.

2. Peranan Aceh dalam Jagad Melayu

Aceh harus tampil memainkan peranan penting dalam rekonstruksi budaya Melayu yang memancarkan citra iman dan Islam. Ini suatu konsekuensi sejarah yang tak terelakkan. Sebab, yang pertama, Aceh punya kedudukan dalam sejarah jagad Melayu, sebagai pihak yang mampu mempertahankan harga dirinya dari gedoran kekuatan penjajah. Aceh berhasil mempunyai citra sebagai jagad Melayu (kaum muslimin) yang tak terkalahkan oleh Belanda, meskipun telah mengurbankan beribu tentara dan mesiu.

Yang kedua, Aceh telah menampilkan dirinya sebagai pusat budaya Melayu di Nusantara mendekati rentang waktu sekitar 500 tahun. Di Acehlah melalui pena ulama dan pengarang bahasa Melayu ditaja serta dipelihara menjadi bahasa ilmu dan bahasa sastra yang islami.

Sementara sebelumnya dalam zaman Sriwijaya hanya dipakai sebagai bahasa kerajaan, bahasa dagang dan sedikit untuk kepentingan agama Hindu-Buddha. Pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu dan sastra itu dari sejak zaman Aceh, telah melahirkan beribu naskah Melayu, yang sekarang tersebar luas sampai ke Eropa.

Kemudian yang ketiga, di Aceh lah dalam jagad Melayu, dimulai tradisi yang baik dalam karya tulis. Para pengarang dunia Melayu sejak zaman Aceh, telah diasah penanya, agar menulis atau membuat karangan dengan dasar untuk kepentingan dunia menuju akhirat.

Karena itu para pengarang Melayu punya kesadaran, bahwa mengarang adalah bagian dari amal saleh. Mereka tidak akan mengarang sebatas kepentingan hawa nafsu yang sempit seperti materi, popularitas dan kesombongan, sebagaimana berlaku pada pengarang sekuler-munafik yang mendominasi budaya pengarang pada pelantar Indonesia serta hamparan dunia.

Jadi di Aceh telah terbentuk tradisi mengarang yang bertanggung jawab, yang mampu memberikan pencerahan kepada pembaca, karena karya itu dapat berguna untuk hidup dunia, tetapi juga dapat ditumpangi untuk menghadapi ajal atau kematian. Tidak tradisi pengarang yang konyol, yang hanya berputar-putar sebatas kepentingan perut, memuja diri dan kesombongan, lalu kemudian mati dalam keadaan sia-sia seperti dalam keadaan kafir, murtad atau munafik.

3. Membangun Peradaban Melayu

Harga diri di Aceh yang pernah terpelihara, tidak berada dalam keadaan hina di bawah telapak sepatu penjajah dan karya para pengarang atau ulama yang cemerlang di Aceh, adalah modal yang amat beharga untuk membuat langkah membangun peradaban Melayu kemasa depan. Kejayaan Aceh itu telah dirangkai oleh Melaka sampai ke Riau.

Ini adalah kekayaan masa silam yang terpendam. Sedangkan yang amat strategis lagi ialah kedudukan Aceh sebagai daerah otonomi syariat Islam di tengah belantara dunia Melayu di Nusantara. Dengan otonomi syariat Islam ini, Aceh mempunyai peluang besar tampil sebagai pelopor membangun peradaban Melayu yang islami.

Jagad Melayu khasnya –dunia Islam umumnya– benar-benar memerlukan suatu semangat budaya yang berpijak kepada nilai-nilai Islam. Pada satu sisi, budaya yang demikian akan dapat mengangkat kembali martabat dunia Melayu yang sudah suram. Pada belahan lain, hal ini insya Allah akan menimbulkan gelombang besar semangat budaya pada dunia Islam, agar bergegas kembali membangun peradaban Islam, yang dulu pernah jaya 1.300 tahun yang silam.

Jika ini mendapat kelapangan dari Allah Yang Maha Kuasa, maka inilah satu-satunya budaya yang akan mampu menyelamatkan umat manusia dari kehancurannya. Inilah yang akan menandingi budaya Barat yang sekuler dan materialis-munafik, dengan budaya yang mendapat ridha dari Tuhan semesta alam.

Demikianlah, budaya yang terpelihara di Aceh bertumpu kuat kepada ajaran Islam, sehingga kebudayaan dipandang sebagai amanah Tuhan. Tradisi dan semangat budaya seperti itulah yang harus kembali mengisi nafas pengarang, budayawan, cendekiawan dan ulama di dunia Melayu, agar jagad Melayu itu kembali cerah dan bersinar dalam kehidupan.***

Makalah Seminar Internasional Pekan Kebudayaan Ke-5 Aceh, Banda Aceh, Agustus 2009

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *