Jika para maling sendal justru tertunduk malu tak sanggup memperlihatkan wajah, para tersangka koruptor justru tersenyum melambaikan tangan bak bintang iklan. Ketika para pelaku kejahatan lainnya kerap diseret dalam keadaan sekarat, para koruptor malah masih berani tampil mewah di depan publik. Nilai kejahatan beda jauh, tapi tingkahlaku justru berbeda 180 derajat.
Para tersangka koruptor selalu didampingi pengacara terkenal. Penampilan mereka pun tak kalah hebat. Lihatlah gaya hidup glamor Nunun Nurbaeti, Miranda S Goeltom dan Djoko Susilo yang terjerat korupsi. Nunun mengenakan kerudung Louis Vuitton seharga Rp3,8 juta dan menjinjing tas Hermes model Birkin yang dibanderol di Rp105 juta. Nunun juga memiliki koleksi tas Hermes model Kelly yang harganya bisa mencapai lebih dari Rp211,2 juta. Miranda membawa tas jinjing Sergio Rossi yang harganya paling murah Rp13,4 juta. Dia juga memakai sepatu hak tinggi Sergio Rossi yang dijual dengan harga paling murah Rp6,6 juta. Djoko Susilo yang diduga merugikan negara hingga Rp100 miliar juga tak mau ketinggalan. Ketika diperiksa KPK, Djoko mengenakan ikat pinggang Hermes Gold H Buckle yang harganya antara Rp2,5 juta hingga Rp9,6 juta. Ia juga mengenakan cincin emas putih bermata batu safir kuning ukuran besar dengan kisaran harga Rp19,2-Rp48 juta.
Ketika melihat para koruptor masih bisa tersenyum, melambaikan tangan dan bahkan menyebut nama Tuhan, apa yang kira-kira ada di benak Anda? Mereka tidak merasa malu dan menganggap bisa menjengkal hukum negeri ini. Pelaku korupsi merasa mampu mengatasi hukum dan KPK. Mereka melihat ada celah hukum yang bisa dipermainkan. Coba seandainya dihukum potong tangan atau sejenisnya, niscaya mereka akan menangis sepanjang jalan. Koruptor juga takkan lagi berani memandang apalagi sampai melambaikan tangan.
Selain itu, koruptor adalah pekerjaan yang menggiurkan. Dengan hukuman 10 tahun dan remisi 5 tahun ditambah uang korupsi minimal Rp10 miliar, dengan bunga bank 0,4 persen, tiap bulan koruptor sudah dapat Rp40 juta. Di penjara pun masih bisa beli fasilitas ruangan mewah lengkap dengan penyejuk udara, pesan antar makanan dari restoran terkenal dan lain sebagainya. Makanya tak heran jika regenerasi koruptor berjalan sukses.
Bahkan tak jarang, koruptor malah dielu-elukan seperti orang yang berjasa karena telah memberi bantuan. Yang mengelu-elukannya pun bukan pula orang biasa, tapi oleh orang yang dipandang sebagai ‘’orang patut’’. Inilah pangkal bala bencana yang sesungguhnya sangat besar. Jika hal ini dilihat oleh anak-anak dan generasi muda, berarti hanya apa lagi nilai kejahatan di mata mereka? Inilah kemudian yang mengakibatkan masyarakat kita menjadi semakin permisif terhadap korupsi. Padahal, bantuan yang diberikan itu tak sampai seujung kuku dibanding nilai yang dikorupsi.
Kepentingan materi telah membuat orang patut menggadaikan martabatnya. Sejatinya, orang patut adalah orang berharga yang menjadi ‘’pergi tempat bertanya, pulang tempat berberita’’. Mereka saat ini bukannya tidak ada, tetapi sudah langka dan terkelimbun oleh orang-orang yang cerdik mempermainkan simbol-simbol untuk kepentingan dirinya dan justru merusak citra kaum cerdik pandai.
Korupsi pernah begitu merajalela di Cina. Bahkan, sebuah statistik resmi pemerintah Cina mengungkapkan, kerugian negara akibat korupsi mencapai 16 miliar dolar AS (sekitar Rp120 triliun) sampai tahun 1999. Ini belum termasuk kasus korupsi pada skandal penyeludupan senilai 10 miliar dolar AS yang melibatkan para pejabat teras Provinsi Fujian di Tenggara Cina.
Tapi, pemerintah Cina bersungguh-sungguh memberantas korupsi di negaranya. Suratkabar resmi Cina, China Daily, mengungkapkan, upaya itu telah berhasil mengembalikan dana publik sebesar 400 juta yuan atau senilai Rp440 miliar lebih ke kas negara. Caranya juga tidak luar biasa. Mereka ‘cuma’ menyelidiki 10.000 pejabat setingkat kabupaten yang diduga korupsi. Gaya hidup mewah para pejabatnya diselidiki. Namun, hukumannya yang luar biasa. Mereka yang terbukti bersalah dihukum seumur hidup hingga dihukum mati.
“Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai,” demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu “Mr Clean”. Pemerintah Cina membuktikan bahwa mereka tidak hanya gertak sambal. Zhu Rongji sendiri bahkan berjanji, takkan ada satu pejabat pun, seberapa pun tinggi jabatannya yang akan diloloskan dari jerat hukum. Apalagi jika benar-benar terlibat.
Uang adalah darah kejahatan. Di Indonesia, korupsi tak lagi hanya melibatkan pejabat negara, politikus bahkan pegawai rendah seperti Gayus dan Labora. Di negeri ini, korupsi bahkan telah mendapat ‘pengesahan’ dari orang patut yang ikut mengelu-elukan para koruptor.
Agaknya, perlu kita renungkan ungkapan berikut: ‘’At the first we make habits and at the last habits make us’’. Awalnya, kita membentuk kebiasaan. Selanjutnya, kebiasaanlah yang membentuk diri kita.***