Masjid kami punya muadzin baru. Sebenarnya, muadzin ini tidak bisa dikatakan benar-benar baru sebab selama ini memang pernah juga beberapa kali ku dengar lantunan adzannya. Tetapi sejak kurang lebih setahun belakangan ini, panggilan adzan sang bilal ini hampir terjadi setiap hari, khususnya pada waktu shalat Zuhur dan Ashar.
Dia adalah seorang lelaki tua yang insya Allah akan menempuhi usia 75 tahun. Beliau sudah cukup lama bermastautin di daerah tempat tinggalku dan cukup disegani. Dia memutuskan menjadi muadzin pengganti karena kebetulan gharim masjid kami adalah seorang pemuda yang masih menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dengan demikian ia tak bisa menunaikan tugasnya untuk melakukan bang (adzan) untuk shalat Zuhur dan Ashar karena ketika itu masih termasuk jam kuliah.
Bagi sebagian orang, lantunan adzan muadzin tua ini terasa bagai panggilan adzan di kampung-kampung pada tempo dulu. Suaranya terdengar lembut dalam alunan adzan yang lemah gemelai. Jauh beda dengan lantunan adzan sang gharim muda yang terdengar bersemangat dan suaranya cukup keras.
Menurut ibuku, lantunan adzan itu mengingatkannya pada panggilan adzan ayahku, ketika di kampung dahulu. Ayah dan ibuku adalah warga satu kampung. Antara rumah ibuku di mudik dan rumah ayahku di ulak, terdapat sebuah surau yang disebut Surau Palua. Ketika mendengar suara adzan ayahku di Surau Palua, saat itulah baru ibu tahu kalau ayah sudah pulang dari tanah rantau, Malang, Jawa Timur.
Ketika ku renungkan ucapan ibu, terasa olehku bagaimana romantisnya orang dahulu berkasih sayang. Mendengar suara adzan menjadi salah satu alat pelepas rindu. Mereka hanya beberapa kali bertemu –itupun dengan didampingi oleh mahram atau saudara perempuan—lalu bertunangan dan langsung menikah. Proses mereka agaknya mendekati periode ta’aruf dan khitbah yang kini banyak dianjurkan sebab sesuai syariat.
Biasanya, kurang lebih satu jam sebelum jatuh waktu shalat, sang muadzin tua sudah berangkat ke masjid. Kadang beliau membawa berbagai majalah, buku atau tulisan yang nantinya akan difotokopi di toko buku di sebelah masjid. Fotokopi tulisan itu biasanya ditempel di papan pengumuman masjid dan ada juga yang dibagi-bagikan ke jamaah. Isinya sebagian besar tentang agama.
Setibanya di masjid, dia biasanya akan berjumpa dengan seorang lelaki bernama Yono. Meskipun bukan gharim masjid, si Yono yang bisu ini rajin sekali membersihkan masjid kami. Umumnya, sebelum waktu shalat tiba, si Yono akan menyapu dan mengepel masjid.
Karena keduanya sering terlibat dalam penyelenggaraan shalat, maka sang muadzin tua pun akhirnya jadi bersahabat dengan si Yono. Ketika waktu adzan hampir tiba, biasanya si Yono akan menunjuk mimbar dan menyergah si muadzin tua sebagai isyarat untuk menyuruhnya segera melantunkan bang. Tak hanya itu, si Yono pun sudah punya ‘jatah’ khusus tiap bulan dari sang muadzin tua. Jika lelaki tua itu lupa atau terlambat memberikannya, maka si Yono akan menunjuk sepeda motornya dan mengayunkan telapak tangan sebagai isyarat minta uang. Seakan-akan lelaki bisu itu berkata: ‘’Mana uang bensin saya bulan ini?’’
Karena bertugas adzan paling tidak dua kali sehari, akhirnya muadzin tua itu kini sudah memiliki satu kunci cadangan masjid. Dengan demikian, dia semakin leluasa untuk menunaikan tugasnya. Dia pun bahkan sudah menyebut dirinya sebagai ‘’gharim cadangan’’ atau ‘’gharim ban serep’’. Dibantu oleh si Yono yang juga merangkap sebagai penanggung jawab sound system, duet keduanya telah membuat penyelenggaraan shalat di masjid kami jadi sangat terbantu.
Kadang, sound system di masjid rusak. Akibatnya, lantunan adzan sang muadzin tua pun terhambat. Malah pernah pula lucunya, si muadzin tua sudah semangat melantunkan adzan, ternyata si Yono belum mengaktifkan pengeras suara. Jadinya, adzan waktu itu tidak terdengar penuh dari awal. Tiba-tiba saja sudah di bait ketiga, baru kedengaran lantunan adzan sang bilal tua.
Waktu shalat Zuhur dan Ashar adalah waktu shalat yang paling ku nanti karena ingin mendengar suara adzan sang muadzin tua. Satu hal lagi yang sangat aku syukuri ketika mendengar lantunan adzan sang muadzin tua adalah celoteh anakku yang baru berumur 2 tahun 7 bulan. Setiap kali mendengar suara adzan dari sang bilal tua, si bungsu itu akan selalu berkata: ‘’Atuk adzan, ayo ambil wudhu, shalat lagi.’’
***