* Tulisan ini adalah kisah nyata. Seperti diceritakan oleh UU Hamidy kepada Purnimasari. Dituliskan kembali oleh Purnimasari.
Untuk menulis buku Kasin Niro Penyadap Enau Rantau Kuantan, UU Hamidy beberapa kali pulang ke Rantau Kuantan mengambil data dan gambaran, bagaimana orang Melayu membuat gula enau di sana.
Tiap pulang ke Kuantan, dia menumpang bus dari Pekanbaru ke Teluk Kuantan. Di Teluk Kuantan, dia punya teman sama sekolah dulu di Sekolah Guru B (SGB) bernama Albar, yang bekerja sambilan sebagai agen bus antar Pekanbaru ke Teluk Kuantan.
Pada suatu hari setelah mengumpulkan bahan penelitian, dia pesan karcis bus pada Albar. Albar memberikan karcis CC, tempat duduk di sebelah kiri supir, sebagai tanda dia menghargai temannya.
Maka tibalah saatnya penumpang dipersilakan naik. UU Hamidy pun duduk pada kursi CC di depan, pakai baju kaus sambil mengepit ransel yang sudah lusuh.
Sebentar kemudian, datang seorang tentara berpangkat sersan mendekat pada UU Hamidy. Tentara itu berkata padanya, ‘’Kamu di belakang sajalah!’’
UU Hamidy segera turun dan pindah mencari tempat duduk di belakang. Ternyata semua kursi penumpang sudah ditempati atau terisi. Dia terpaksa mencari tempat dan mendapatkan kursi serep yang biasa dipakai stokar di tepi pintu belakang bus.
Akhirnya, bus akan segera berangkat, setelah agen memberitahukan agar semua penumpang naik. Sebelum bus bergerak, Albar memeriksa semua penumpang.
Dia heran tidak menjumpai UU Hamidy di kursi CC. Di situ malah sudah duduk tentara. Akhirnya Albar melihat UU Hamidy duduk pada bangku stokar dekat pintu belakang.
Albar segera mendekati UU Hamidy, sambil bertanya, ‘’Mengapa ini terjadi?’’ UU Hamidy berkata kepada temannya Albar, ‘’Ah, tak usahlah ini jadi pikiran Bung, sebab nanti malah Bung jadi kesulitan akibatnya. Tentara itu memang lebih beharga sebab dia menjaga negara ini dengan bedil, sementara saya hanya ikut menjaga dengan pena. Ini harus kamu pahami.’’ ***