Mereka berkonco pelangkin sejak lama. Paling tidak sejak tahun 1971. Kadang berbeda pendapat. Tapi ketika sang waktu membuktikan kebenarannya, salah seorang di antaranya akan dengan redha berkata: “Ternyata memang Bung yang betul waktu itu.”
Jika terjadi sesuatu, terkadang yang seorang memimpikan yang seorang lagi sebab terlalu memikirkan sahabatnya. Selain suka membaca buku, mereka juga sama-sama suka makan. Kalau lihat lagi foto-foto zaman dulu, ternyata kebanyakan lokasinya adalah di rumah makan. Apalagi yang namanya makan durian, sekali duduk, habis seguni. Pernah juga saling tertukar guni durian sepulang dari penelitian.
Anehnya, jika sakit, keduanya sama-sama kompak tak mau saling berkabar berita. Nanti kalau sudah sembuh, sudah pulang dari rumah sakit, barulah tahu.
Mereka juga punya cara yang tidak biasa untuk membela sahabatnya. Ketika yang seorang diamanahi menjadi peneraju tertinggi di sebuah perguruan tinggi, selama periode itu pula yang seorang lagi tak pernah menjejakkan kakinya di kantor sang sahabat. Demikianlah cara mereka menjaga marwah dan nama baik satu sama lain. Mereka khawatir orang akan berpikir bahwa yang seorang akan ‘memanfaatkan’ sahabatnya karena dia telah menjadi pemimpin.
Dulu tahan bebual berjam-jam hingga kadang pulang sudah hampir larut malam. Kalau anak dan istri ikut, maka sang istri yang sudah terkantuk-kantuk akan mengasung anak-anaknya untuk melerai pembicaraan keduanya.
Kini keduanya sudah menempuhi usia senja. Karena faktor kesehatan, yang seorang sudah dilarang menyetir kendaraan. Yang seorang lagi, meskipun masih bisa menyetir mobil dengan rute tertentu (rumah-kampus, rumah-pasar pp), tapi sudah suka naik tensi menghadapi lalu-lintas Pekanbaru yang sudah mulai padat dan macet serta aturan jalan satu arah yang berubah-ubah.
Tanggapan mereka terhadap makanan juga sudah berubah. Yang seorang sangat patuh terhadap pantangan menjaga makanan. “Jangan” kata dokter, “siap laksanakan” kata dia. Sementara yang seorang lagi, begitu dokter mengatakan bahwa “bapak tidak boleh lagi makan telur, ayam, dll, dst,” maka dia langsung menjawab: “dokter nyuruh saya mati?”
Sebelum pertemuan ini, keduanya sempat temu bual di kampus pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR). Cukup lama bebual, yang seorang mengusulkan pembicaraan dilanjutkan di rumah makan. Yang seorang terpaksa berat hati menolak. Sebab khawatir banyak berjumpa makanan pantang dan merasa sudah kenyang karena sudah bawa bekal ubi rebus dari rumah.
Satu yang pasti, kini, bertemu sahabat tak lagi mudah. Perlu ada orang lain yang mengantar. Apalagi sebagai orangtua, mereka cenderung tak mau menyusahkan anak-anaknya.
Akhirnya, kami sebagai sekretaris tak resmi ini akan berusaha mencocokkan jadwal keduanya agar dapat bersua. Alhamdulillah yang seorang masih mau menggunakan handphone sehingga relatif lebih mudah dihubungi. Karena yang seorang lagi justru tidak pernah punya handphone. Walaupun kadang diantar sambil menjemput cucu sekolah, atau sambil mengantar cucu les, senang juga hati dapat berjumpa. Dua jam pun jadilah.
Salah satu nikmat Allah yang belum tentu dirasakan oleh semua orang adalah memiliki sahabat yang saling mencintai karena Allah. Sahabat taat di atas jalan-Nya. Sahabat hingga ke usia tua. Sebab dari pintu manapun kamu masuk untuk menilik seluruh alam ini, niscaya engkau akan selalu tertumbuk pada kasih sayang Allah.
Semoga Allah menjaga keduanya beserta zuriatnya.
Note: kesimpulan penting tadi malam: jumlah cucu sudah seri, baik jumlah cucu laki-laki ataupun jumlah cucu perempuan.
***