Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Warisan Budaya; Sisi Kehidupan yang Sering Diabaikan (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy
Tangguak, salah satu alat penangkap ikan di Rantau Kuantan, Riau. Foto: Dokumentasi Bilik Kreatif.

Warisan Budaya; Sisi Kehidupan yang Sering Diabaikan (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy

Masyarakat desa di Riau, bukan sama sekali tidak memahami apa artinya hidup bahagia. Mereka juga mengaharapkan hidup dengan bahan makanan, pakaian dan kondisi perumahan yang layak. Mereka juga sudah mengerti dan dapat membaca apa artinya pendidikan bagi perbaikan hidup. Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu saja. Mereka juga punya suatu kondisi katakanlah suatu ketertiban. Mereka akibatnya tidak bisa mengikuti begitu saja program pemerintah dengan kemampuan yang pasti dan hasil yang hebat.

Mereka sebenarnya memerlukan waktu untuk membuat penilaian. Mencari arah dengan membaca ulang segala bingkai yang hidup dalam masyarakat mereka, dan yang lebih penting mendapatkan perhitungan yang terpercaya tentang tingkat kemampuan modal fisik dan material yang tersedia. Mereka memerlukan semacam tenggang waktu juga, untuk mempelajari program yang diberikan oleh pemerintah –di mana sepatutnya mereka dapat didampingi oleh semacam juru tafsir. Mereka juga memerlukan suatu moment untuk melihat perspektif kehidupan melalui program itu.

Meskipun suatu program hadir kepada mereka dengan redaksi ‘’tidak ada pilihan lain’’, mereka memerlukan waktu untuk ubah-suai bagi diri mereka. Mereka memerlukan masa percobaan untuk melaksanakan program itu. Mereka sebenarnya bukanlah semacam tenaga yang siap-pakai begitu saja untuk suatu kepentingan serta kemampuan teknis tertentu.

Hal yang terakhir itu, jarang diberikan kepada mereka. Suatu program sering diberikan dengan sekaligus diikuti oleh perintah-perintah, sedangkan sebagian lagi dengan membuat surat perjanjian dengan ketentuan dan sanksi segalanya. Keadaan ini merupakan suatu hal yang ganjil dalam bingkai budaya mereka.

Suasana yang demikian tidak membuat mereka bekerja dengan iklim yang gairah. Mereka melakukan program dengan cemas, bahkan dengan rasa takut. Maka, meskipun ada pekerjaan yang cukup menakjubkan hasilnya sebagai akibat oleh rasa takut dan kecemasan, namun dalam bab peradaban manusia, bukanlah suatu pekerjaan yang menyenangkan. Ini juga memberi tanda kepada kita, bahwa pekerjaan belum dapat menjadi pangkal bahagia.

Harkat kemanusiaan dalam tradisi Melayu masih tetap condong kepada martabat yang tinggi, dalam arti hidup jujur dan mempunyai pribadi yang baik –seperti digariskan agama dan adatnya. Dalam pandangan itu, harga materi tetap berada di belakang harga diri. Menimbang keadaan itu, maka suatu program untuk meningkatkan kehidupan mereka dalam materi atau kebendaan, tidak mungkin diterima dengan baik, tanpa seiring dengan tingkah laku yang jujur. Oleh sebab itu, seorang petani kecil di desa tidak bisa memahami, bagaimana suatu program, jika program itu dilaksanakan dengan jalan yang curang.

Masyarakat Melayu dalam alur bingkai budayanya, cukup mempunyai tradisi yang baik sebagai rakyat. Pantangan bagi mereka berbuat durhaka kepada para pemimpin. Tetapi dalam pada itu, juga pantangan bagi mereka pemimpin berbuat penghinaan kepada mereka. Mereka memandang pemimpin pertama-tama adalah seorang pengasas, seorang pemikir yang mampu memberikan gagasan yang lebih baik dari mereka sendiri. Orang Melayu tidak memandang pemimpin sebagai orang atau pihak yang menguasai kehidupan mereka. Itulah sebabnya, mereka menyebut pemimpin mereka dengan kata ‘’orang patut’’ atau ‘’pemuka’’, bukan dengan kata ‘’penguasa’’.

Dengan demikian, hubungan antara pemimpin dengan rakyat lebih merupakan gambaran horizontal, di mana pemimpin merupakan pihak yang berada di depan karena mampu menghadapi berbagai masalah kehidupan dengan kemampuan merintis dan membuat jalan bagi rakyatnya. Mereka cenderung tidak dapat menerima pemimpin yang hanya bertindak dengan kata-kata verbal, atau dengan suara yang mengancam. Jika keadaan tindakan pemimpin sampai kepada keadaan yang terakhir itu, maka akar tunggang daripada sifat orang Melayu akan terbongkar.

Gambaran posisi pemimpin dan rakyat dalam bentuk horizontal itu, menyebabkan diterimanya suatu bingkai hubungan antara sang pemimpin dengan rakyat dalam suatu bentuk yang disebut aruk. Dalam hubungan atau kontak aruk, seorang Melayu tidak akan memanggil patik atau yang dipertuan kepada pemimpinnya. Dia akan mempergunakan hanya kata kamu.

Tingkah laku dalam nilai aruk merupakan suatu pernyataan terbuka kepada siapapun juga –baik yang dipandang patut dihormati maupun yang dipandang biasa—tentang bagaimana pikiran, perasa dan suasana hati seseorang terhadap sesuatu hal. Batasnya, bukan hanya boleh sampai di situ saja, tapi juga boleh sampai kepada bentuk tindakan yang hendak dilakukannya.

Jika tingkat aruk tidak mendapat perhatian, sehingga sang individu atau suatu pihak tidak lagi merasa dihargai, maka kalau kemampuan individu atau pihak itu cukup memadai, akan dilanjutkan dengan tindak berikutnya. Keadaan berarti makin jauh membongkar akar tunggang martabat dan harkat manusia, sehingga manusia memandang dirinya hampir tidak sebagai manusia lagi.

Maka dalam keadaan serupa itu, timbullah bingkai amuk. Pada perilaku amuk, seorang individu mencoba melakukan apa yang dapat dilakukannya, demi melepaskan segala tekanan dan segala rupa penghalang maupun ancaman yang berlaku pada dirinya selama ini –yang pada penilaian yang jujur atas dasar tradisi tidak dapat dibenarkan. Pada tingkat ini, dia tidak lagi membuat kategori baik dan buruk dalam ukuran sistem nilai yang biasa, karena fase ini dipandang tidak dapat lagi berlaku ukuran baik dan buruk.

Sebab, bukankah antara pihak yang merasa dihina atau dilanggar begitu saja martabatnya dengan pihak yang berbuat sesuka hatinya (yang menjadi pihak yang ditentang) sudah tidak lagi terjadi komunikasi, sebagaimana dalam tingkat aruk telah menjadi tingkat komunikasi yang paling panas. Yang penting di sini ialah, apakah perasaan sudah puas atau belum; apakah tunjuk perasaannya telah disalurkan, sehingga dia bisa sedikit ‘’merasa bebas’’ dari segala beban batin yang menimpanya.

Bingkai tingkah laku amuk merupakan tingkat krisis dalam hubungan sosial bagi alam masyarakat Melayu. Oleh sebab itu, tidak semua orang Melayu suka atau berani melakukannya. Namun hal itu tidaklah berarti bingkai tingkah laku itu sudah lenyap dari kehidupan mereka.

Jika tingkat amuk masih tidak mendapat perhatian oleh yang bersangkutan, maka sang individu atau pihak itu akan mencoba mengambil satu jalan lagi. Setelah amuk masih tidak bernilai, dia akan menarik suatu kesimpulan, bahwa segala sesuatu tidak dapat lagi diatasi: tak ada satu pun lagi yang dapat dilakukan. Segala sesuatu sudah buntu. Semua jalan sudah tertutup.

Oleh karena itu mestilah diambil jalan baru, yang lain daripada jalan yang pernah ada. Jalan itu ialah pengasingan. Orang boleh mengasingkan diri dengan cara mencari tempat yang terpisah dari masyarakat yang tidak dapat lagi ditempatinya, semisal tinggal mengasang atau menalang. Tetapi lebih banyak yang suka pergi merantau ke negeri orang, bagaikan seekor burung meninggalkan sarangnya, mencari tempat berteduh ke dalam hutan belantara –kayu manapun yang disukainya.

Demikian kita lihat suatu bingkai budaya hadir dalam tingkah laku orang Melayu. Pada dasarnya tiap bingkai budaya tidak dapat dinilai dari sisi luar pemakai bingkai itu. Dia seyogianya dinilai dari dalam, sebab merekalah yang memberi nilai dan arti. Dia muncul pertama-tama untuk memberi satu arti bagi kehidupan masyarakat pemakainya.

Sebab itu, jika suatu bingkai budaya hendak digeser, perhitungan sepatutnya bertolak dari kondisi masyarakat itu sendiri. Bukan mereka dipindahkan begitu saja kepada suatu bingkai budaya lain, yang seringkali ternyata tidak bisa menerima atau mengambil daya guna dari bingkai yang kita buatkan tadi. Dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, bagi perbuatan yang menimbang rasa, sepantasnyalah demikian.***

(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *