Setiap masyarakat dikenal melalui seperangkat tanda-tanda yang dimilikinya. Dalam seperangkat tanda itu, ada sisi warisan budaya yang diterima dan terus berlanjut. Sisi warisan ini lazim disebut tradisi. Setiap tradisi sebenarnya tidak lain daripada semacam bingkai. Orang yang terpengaruh oleh uap bahasa asing boleh menyebutnya dengan pola atau patron.
Maka, dalam warisan budaya berlaku suatu pemakaian sejumlah bingkai budaya dari satu fase kehidupan generasi kepada generasi berikutnya. Kadar dan kuantitas pemakaian bingkai budaya itu tidak selalu sama antara generasi yang satu dengan generasi yang lain. Kadang-kadang naik, kadangkala surut.
Meskipun begitu, seorang pengasas tradisi –yang kelak melahirkan bingkai-bingkai budaya bagi generasi di belakangnya—tentulah bukan orang sembarangan. Kalaulah dia hanya sekadar orang biasa tentulah buah tindakannya tidak akan diikuti orang di belakang dia.
Seorang pengasas tradisi mestilah juga seorang pemikir dalam zamannya. Dia juga seorang penemu dalam suatu bidang atau jurusan kehidupan. Dia tentulah seorang yang berani membuat jalan baru. Berani berkisar dari jalan sebelumnya. Tetapi setelah jalan baru hasil rintisan sang Pengasas itu diikuti orang banyak dan berlanjut beberapa masa, maka orang tidak akan lagi merasakannya sebagai jalan yang baru.
Itulah gambaran nasib sebuah tradisi. Semula dia merupakan hasil pemikiran atau percobaan yang mampu memberikan sebuah penemuan. Tapi kemudian lama-kelamaan tidak lagi berharga seperti semula. Hal ini merupakan hasil konsekuensi daripada kebiasaan manusia juga dalam hal memandang dan memperlakukan sesuatu. Sesuatu barang atau apapun juga, bagaimana mahal atau tinggi nilainya pada awalnya, namun sekian lama dipakai, terasa makin lama makin tak berarti.
Nasib yang dialami warisan budaya serupa itu, wajar terjadi dalam sejarah perjalanan kehidupan setiap masyarakat. Sungguhpun begitu, tidak semua bingkai budaya kehabisan daya gunanya oleh sang waktu. Suatu bingkai budaya dipandang tidak bermanfaat lagi oleh suatu generasi, bukanlah pertama-tama oleh kesalahan bingkai itu sendiri. Letak persoalan yang sebenarnya ialah ketidakmampuan lagi generasi itu mempergunakannya dengan baik untuk kepentingan hidup dia hari ini.
Jika sebuah panah tidak dapat dipergunakan untuk berperang dalam zaman modern ini, itu bukanlah kesalahan daripada sang panah. Sebab dia pada awalnya memang tidak dipersiapkan untuk perang modern sekarang ini. Tetapi bahwa dia tak berguna lagi oleh tantangan serupa itu, tidaklah adil. Setiap bingkai budaya mempunyai kadar kemampuan, dan dia sepatutnya dipakai dalam kadar kemampuannya itu.
Melihat bingkai budaya dalam tiap masyarakat tertentu, patut dilakukan. Pengamatan terhadap hal itu berguna untuk memahami berbagai dimensi nilai yang berlaku dalam tiap masyarakat. Dari pengetahuan serupa itu dapat diperhitungkan berbagai tindakan, yang hendak dilakukan dalam kehidupan masyarakat tersebut. Tindakan yang tidak memperhitungkan bingkai budaya yang berlaku dalam tiap masyarakat, hampir sama keadaannya dengan menimbulkan huru-hara dalam kehidupan mereka.
Dalam pada itu, daerah Riau yang boleh dikatakan secara historis diwarisi oleh suku Melayu, dapat dikatakan telah menerima atau memiliki bingkai budaya dalam tiga hal: bahasa Melayu, tradisi (dalam pengertian mencakup adat) serta agama Islam. Inilah pangkal-pangkal nilai yang berlaku dalam kehidupan orang Melayu di Riau. Segala tindak jasmani dan ruhani mereka, akan punya kecenderungan kuat mendapat pengaruh dari ketiga pangkal nilai itu. Itulah yang menentukan bingkai tindakan dan perbuatan mereka.
Ketiga macam bingkai kehidupan yang telah menjadi tradisi bagi orang Melayu di Riau, sampai masa ini boleh dikatakan masih cukup berpengaruh dalam tingkat berpikir dan cara bertindak para warga masyarakat Melayu. Meskipun dalam segi-segi tertentu ada pengaruh yang kuat dari luar, namun inti bingkai itu masih cukup kokoh.
Keadaan serupa itu jarang diamati secara saksama. Dan lebih daripada itu sering dipertimbangkan dalam kehidupan kita. Ini telah menjadi salah satu titik kelemahan –meskipun akan dikatakan suatu kekhilafan—dalam cara-cara menghadapi masyarakat Melayu di pedesaan Riau.
Kita cenderung meminta mereka, agar mau memahami apa yang kita inginkan. Ini berarti kita mengharapkan agar mereka memakai bingkai yang kita berikan atau yang kita inginkan. Dalam pada itu, mereka mempunyai bingkai budaya atau sistem nilai hidup yang relatif berbeda dengan bingkai kehidupan yang kita tawarkan.
Inilah sebenarnya suatu dilema bagi masyarakat Melayu di pedesaan. Mereka mempunyai seperangkat bingkai budaya, tetapi karena kita pandang sudah usang tak berguna, maka kita desak mereka –bahkan kadangkala dengan memaksa—agar mereka akan memakai bingkai baru, karena bingkai baru itulah pada hemat kita yang dapat menjawab tantangan kehidupan hari ini.
Keadaan serupa itu kurang lebih sama dengan gambaran seorang pribumi yang hanya mahir mempergunakan panah, tetapi pada suatu ketika dituntut memakai semacam senjata modern. Apakah yang akan dilakukannya? Dia disuruh membuang panah kesayangannya, sementara itu sebuah senjata modern ditawarkan kepadanya, yang dia belum pernah memakainya.
Kelengahan kita dalam menghayati dan mau menerima dengan rela warisan budaya berupa seperangkat sistem nilai yang masih dianut oleh masyarakat Melayu di pedesaan, di samping telah mendatangkan dilema bagi mereka sendiri dalam upaya meningkatkan taraf hidup mereka, juga telah merusak iklim solidaritas antara kita dengan mereka, serta antara mereka dengan para transmigran yang didatangkan ke daerah sekitar perkampungan mereka.
Pada satu keadaan, tindakan yang kita sebut dengan kebijaksanaan pembangunan menimbulkan keraguan pada mereka. Pertama, karena terkesan oleh mereka, bahwa mereka akan kehilangan bingkai budaya yang telah lama dimiliki. Hal ini di samping dipandang kehilangan identitas, juga menjadi suatu kecemasan, apakah mungkin mendapatkan bingkai baru atau yang lain, yang dapat serasi dengan selera kehidupan mereka.
Dalam keadaan lain, kita membawa bingkai baru –dengan mengatakan inilah bingkai yang mampu menjawab segala tantangan—dengan gaya instruksi. Bukan melalui pemasaran, di mana mereka masih dapat menawar sesuai dengan kemampuan mereka. Bingkai baru dari kita (=luar) hadir dengan harga yang pasti, dan harus mereka beli pula dengan harga yang tunai. (bersambung)
(Membaca Kehidupan Orang Melayu, UU Hamidy)
Warisan Budaya; Sisi Kehidupan yang Sering Diabaikan (Bagian 2), Oleh: UU Hamidy