Begitu menjejakkan kaki di Kota Malang tahun 1964, kesulitan hidup masih membayangi UU Hamidy. Dia terpaksa makan nasi jagung karena mahalnya harga beras. Namun, seperti janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an, setelah kesulitan ada kemudahan. Satu kesulitan takkan mengalahkan dua kemudahan.
Allah Yang Maha Penyayang menolongnya dengan berikhtiar mengajukan beasiswa ke Yayasan Beasiswa Bakti di Malang. Beasiswa itu awalnya dapat menutup belanja dapur setiap bulan. Kemudian beasiswa tersebut dijadikan biaya makan di asrama Wisma Bakti.
Yayasan Beasiswa Bakti diurus oleh beberapa orang kaya keturunan Tionghoa. Ketua yayasan adalah Liem Tiang Hok atau Djarot Setyabudhi, raja pabrik rokok sigaret dan pengusaha bus malam. Bendahara yayasan adalah Njoo Kiem Liem atau Soewignjo, raja pabrik limun di Pasuruan. Penasehat yayasan adalah Tjoa Tjing Liem atau Rachmat Setyadharma, salah seorang pengurus teras Persatuan Sepakboa Arema Malang. Satu-satunya pribumi di tubuh yayasan adalah Pak Suroso yang menjabat sekretaris merangkap penasehat hukum.
Sebenarnya, menurut cerita Pak Djarot, UU Hamidy hampir gagal memperoleh beasiswa. Ketika nama UU Hamidy disebut dalam sidang yang membahas calon para penerima beasiswa, ada pengurus yang menolak. Kenapa nama UU Hamidy ditolak? Karena dia berasal dari Riau dan Riau itu katanya kaya. Namun, salah seorang donatur yayasan yang berasal dari Riau membantah hal itu.
Seperti diceritakan Pak Djarot, donatur itu langsung membantah, “Riau itu namanya saja yang kaya. Riau itu dapat kaya karena ada Caltex (Chevron). Riau itu dianggap kaya karena pakai uang dolar. Anak yang memohon beasiswa ini tidak ada hubungannya dengan Caltex dan dolar.”
Karena bantahan sang donatur tersebut, maka akhirnya diterimalah permohonan beasiswa UU Hamidy. Ketika itu, tahun 1963, uang dolar telah dihapuskan dari Kepulauan Riau. Beberapa anak jati Riau yang saat itu merantau ke Jawa terpaksa putus sekolah karena uang dolar tak laku lagi. Salah seorang yang terkena imbas adalah Hasan Junus yang ketika itu menuntut ilmu di Universitas Padjajaran Bandung.
Uniknya, setelah tinggal di asrama Wisma Bakti, Pak Djarot selalu meminta UU Hamidy untuk membacakan doa dalam setiap acara yang diadakan yayasan. Padahal, hampir semua pengurus beragama non muslim. Agaknya, pilihan kata-kata dalam untaian doa yang diucapkan UU Hamidy cukup mengena dalam hati mereka.***