Home / Buah Pikiran UU Hamidy / Bahasa dan Sastra / Sidang Sastra Pekanbaru ’81 dengan Konsumsi Dagang Pak Kasab, Oleh: UU Hamidy
Sebagian di antara peserta Sidang Sastra Pekanbaru '81. Foto: Dokumentasi Bilik Kreatif

Sidang Sastra Pekanbaru ’81 dengan Konsumsi Dagang Pak Kasab, Oleh: UU Hamidy

  1. Nilai Sidang Sastera Pekanbaru ‘81

Pada penghujung tahun 1981 tepatnya dari hari Senin tanggal 16 sampai 19 November 1981 berlangsung suatu peristiwa dalam gelanggang budaya Melayu di Riau yang diberi nama Sidang Sastra Pekanbaru ‘81. Sidang Sastera ini telah menampilkan tiga pembicara dari luar Riau yaitu Prof Umar Junus dari Universiti Malaya, Putu Wijaya dan Korrie Layun Rampan dari Jakarta. Pihak Riau mendampingi dengan Hasan Junus dan UU Hamidy.

Peristiwa sastra dan budaya ini paling kurang telah mencatat beberapa perkara : pertama, Sidang Sastra Pekanbaru ’81 telah membuat gelanggang budaya Melayu di Riau kembali menggelegar, yang sebelumnya kurang berkibar setelah masa Raja Ali Haji dan cendekiawan Rusydiah Klab dari abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Kedua, Sidang Sastra ini memperkenalkan pada khalayak dua pujangga terkenal Balai Pustaka di Riau, yaitu Soeman Hs dengan julukan ‘’Pengarang Detektif Melayu’’ Mencari Pencuri Anak Perawan serta tokoh cerita pendek dengan karya Kawan Bergelut. Kemudian Sariamin Ismail dengan nama pena Selasih dan Seleguri terkenal dengan romannya Kalau Tak Untung.

Ketiga, peristiwa sastra ini telah mengokohkan sastrawan Melayu di Riau seperti Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Wunulde Syafinal, Tenas Effendy, Hasan Junus, Rida K Liamsi, BM Syamsudin, Taufik Effendi Aria, Syamsul Bahri Judin, Edi Ahmad RM dan Rustam S Abrus sebagai pemegang kemudi sumbu kreativitas sastra dan budaya di Riau.

Keempat, gelegar Sidang Sastra Pekanbaru ’81 telah memanaskan semangat kreativitas penulis muda Riau. Di antaranya : Husnu Abadi, Taufik Ikram Jamil, Tien Marni, Fakhrunnas MA Jabbar, Dasri Al Mubary, Syafruddin Saleh, Abdul Kadir Ibrahim, Edi Akhmad RM, Al Azhar, A Aris Abeba, dan Samson Rambah Pasir.

Mereka ini segera mendapat laman kreativitas dengan terbitnya harian Riau Pos tahun 1991 untuk membentangkan karya mereka cerpen dan puisi. Jumlah mereka mungkin tersentak setelah muncul hadiah tiap tahun dari Yayasan Sagang yang ditaja oleh Rida K Liamsi didampingi oleh Armawi KH dan Kazzaini KS. Sekarang (tahun 2020), jumlah pengarang Riau dari angkatan Taufik Ikram Jamil dan Abdul Kadir Ibrahim sampai teman-teman Musa Ismail, Abel Tasman, Griven H Putera, Marhalim Zaini, Hary B Ko’riun dan Muhammad Amin mungkin ada lebih kurang 50 orang.

Kelima, perbincangan Sidang Sastra ini mengokohkan jati diri Riau sebagai pusat bahasa dan kebudayaan Melayu sebagaimana telah jadi tajuk buku UU Hamidy yang terbit tahun 1981 oleh Bumi Pustaka Pekanbaru.

Ini berlaku karena perbincangan tersebut telah memperluas cakrawala persahabatan sastrawan Melayu belahan Riau dengan sastrawan Melayu belahan Malaysia. Sebab dalam Sidang Sastra ini sudah hadir pula Persatuan Penulis Johor sebanyak 20 orang. Dengan demikian, sidang ini juga memberi pengalaman serantau pada para penulis dunia Melayu.

2. Dagang Pak Kasab

Saya sebagai Ketua Panitia Sidang Sastra Pekanbaru ’81 mencoba menakar kira-kira berapa tamu yang akan hadir. Meskipun undangan disampaikan kepada para guru bahasa dan sastra di Pekanbaru serta para dosen yang dipandang berminat kepada kebudayaan maka dengan asumsi sebagian besar peserta adalah mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastera Indonesia Universitas Riau, jumlah peserta diperkirakan paling banyak 500 orang. Atas perkiraan itu, saya minta bantuan biaya Rp500 ribu kepada Bapak Abdul Rahman Hamid, Ketua Biro Binsos Kantor Gubernur Riau, untuk konsumsi pembukaan.

Maka dibukalah Sidang Sastra Pekanbaru ’81 dengan pidato pembukaan oleh Rektor Universitas Riau, Prof Dr Muchtar Luthfi sedangkan untuk menyampaikan penghargaan dan selamat datang kepada para tamu dan peserta diberikan sambutan oleh Bapak Abdul Rahman Hamid, Ketua Biro Binsos Kantor Gubernur Riau. Ternyata, jumlah peserta jauh di atas yang diperkirakan. Sementara peserta mendapat minum dan makanan ringan serta makan siang dengan nasi kotak.

Rupanya, Pak Abdul Rahman Hamid memperhatikan jumlah peserta yang demikian, dan membandingkan dengan uang konsumsi yang telah diberikannya Rp500 ribu. Dia berkesimpulan niscaya tidak cukup. Maka, sewaktu beliau akan pulang dia panggil saya mengatakan agar menghadap beliau besok di kantor.

Besoknya, saya datang ke Kantor Biro Binsos menjumpai Pak Abdul Rahman Hamid. Singkat cerita, begitu berhadapan dia langsung bicara, ‘’Mana cukup uang Rp500 ribu untuk pertemuan orang sebanyak itu?’’

Saya menjawab dengan tenang, ‘’Betul Pak. Saya sudah salah mengira tapi itu adalah risiko bagi saya. Saya khawatir minta uang berlebih pada Bapak karena sudah hampir jadi tradisi minta uang pada pejabat itu dapat sesuka hati kita. Dan pejabat juga mungkin sudah maklum tradisi serupa itu sehingga selalu diberi berapa diminta. Saya mau keluar dari tradisi serupa itu walaupun harus menanggung resiko.’’

Pak Biro Binsos menukas, ‘’Ah jangan, minta lagi berapa sebenarnya yang diperlukan. Tak usah takut!’’

Saya membalas dengan ringan, ‘’Tak apa-apa Pak. Kan Bapak tahu pepatah Melayu ‘kalau takut dilanda ombak, jangan berumah di tepi pantai’. Saya bukan hanya berumah di tepi pantai. Malah sudah jadi dagang Pak Kasab, sindiran orang Melayu bagi orang yang tidak memperkirakan perbedaan untung dengan rugi dalam berdagang.’’

Pak Abdul Rahman Hamid tersenyum sambil menyahut, ‘’Wah, kamu.’’ ***

Check Also

Kadar Islam dalam Tafsir Antropologis Nama Pesukuan di Siberakun Kuantan Singingi, Oleh : UU Hamidy

Allah yang Maha Esa Maha Kuasa menciptakan apapun saja yang Dia kehendaki, sehingga Allah menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *