Selain karena berkah dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang paling utama, salah satu hal yang menempa UU Hamidy menjadi seorang peneliti adalah terpilih sebagai salah seorang peserta di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) di Aceh tahun 1974.
PLPIIS di Aceh adalah angkatan yang pertama. Yang menjadi tenaga ahli ketika itu adalah Dr Stuart A Schlegel, dosen University California dengan metode penelitian “grounded research”.
PLPIIS diselenggarakan atas kerja sama tiga pihak. Pertama, Ford Foundation yang menanggung sebagian biaya dan tenaga ahli. Kedua, Pemerintah Provinsi Aceh yang membantu dana dan memberikan kemudahan di lapangan. Ketiga, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang memberikan bantuan tenaga ahli.
Dari kurang lebih 150 orang pelamar dari seluruh Indonesia, yang diterima hanya 12 orang. Pemerintah Provinsi Aceh mendapat jatah untuk para dosennya sebanyak 6 orang. Dengan demikian, total jumlah angkatan I tahun 1974 adalah 20 orang.
Masing-masing calon dites kemampuannya oleh para tenaga ahli peneliti dari LIPI. Mereka adalah Harsa W Bachtiar, Taufik Abdullah, Alfian, Selo Soemardjan dan Koentjaraningrat. Tiap tenaga ahli akan mempromosikan calon yang mereka anggap layak.
Karena tidak bisa menjumpai Pak Harsa W Bachtiar di LIPI, beliau menawarkan supaya UU Hamidy datang ke rumahnya menjelang Maghrib.
Rupanya, UU Hamidy mau sekalian diajak makan malam. Setelah sampai di rumah Pak Harsa dan menunaikan shalat Maghrib, UU Hamidy pun dijamu dengan ‘nasi’ kentang. Ternyata, seperti pengakuan isterinya, Pak Harsa tidak lagi makan nasi setelah pulang dari Amerika Serikat.
Seperti apakah tesnya? Rupanya Harsa cuma bertanya, “Apa yang sudah Bung tulis selama ini?”
Lantas UU Hamidy menjawab bahwa dia pertama kali menulis di Mingguan Mahasiswa Indonesia Edisi Jawa Barat, terbitan Jakarta, minggu II, Mei 1969. Judulnya “Struktur Politik dan Esensi Demokrasi”. Lalu disusul oleh tulisan “Kepastian Hukum dan Sikap Penguasa” pada mingguan Mimbar Demokrasi, terbitan Bandung, Mei 1969.
Pak Harsa hanya berkomentar pendek, “Oh, itu yang sudah kamu tulis.”
Setelah itu perbincangan beralih arah dan justru membicarakan hal-hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penelitian.
Menjelang UU Hamidy pamit, Pak Harsa lagi-lagi cuma berkata singkat, “Kalau sudah begitu, saya sudah maklumlah.”
Sepulang dari Aceh, tahun 1975, UU Hamidy diundang oleh Ajip Rosidi sebagai pembicara di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Ketika itu, banyak yang menyangka UU Hamidy sudah lulus S3 atau paling kurang sudah selesai S2. Padahal, seperti diterangkan Ajip Rosidi ketika itu, UU Hamidy hanyalah lulusan S1.
Kembali dari Aceh, UU Hamidy ditawarkan melanjutkan S2 oleh tiga negara. Pertama, tahun 1975 ditawarkan ke Australian National University (ANU) dengan kesediaan Profesor AH John untuk menjadi pembimbing tesis seperti disampaikan oleh Prof Dr Lance Castles yang juga menjadi pemberi materi ketika di Aceh.
Kedua, tahun 1977, diminta untuk ke negeri Belanda melalui LIPI seperti yang ditawarkan oleh Prof Dr Taufik Abdullah.
Ketiga, tahun 1979, ditawarkan ke Universiti Malaya (UM) melalui pembicaraan Dr Alfian dari Himpunan Indonesia untuk Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) dengan Datuk Musa Hitam yang ketika itu menjabat Wakil Perdana Menteri Malaysia merangkap Menteri Belia dan Sukan.
Dari tiga tawaran itu, hanya yang terakhir yang disetujui oleh UU Hamidy. Selain tidak enak hati karena terus-menerus menolak, alasan menerima tawaran yang ketiga ternyata hanya sederhana.
Pertama, Malaysia relatif lebih dekat sehingga mudah bolak-balik ke Pekanbaru. Kedua, UU Hamidy ingin mencari kembali jejak saudara-maranya yang cukup banyak bermastautin di Malaysia. Dia ingin menunaikan perintah ayahnya bahwa kelak, jika ada peluang, carilah zuriat adik ayahnya di Tanah Semenanjung.
Manusia itu dinilai berdasarkan perbuatan mereka. Maka tulislah segala hal-hal yang baik dan benar yang dapat ditulis. Boleh jadi, tulisan itu menjadi sebab sehingga Allah gerakkan hati seorang hamba untuk berbuat kebajikan yang dengannya engkau juga memperoleh pahala. Mungkin tulisan itu kelak menjadi amal jariyah bagi kita, penolong kita ketika sudah di bawah tanah.
Umur badan terbatas. Umur batu nisan kadang-kadang dapat lebih panjang dari umur badan. Tetapi umur jasa dan kenangan lebih panjang dari umur nisan. Salah satu caranya adalah lewat tulisan.***