Pekanbaru, Jum’at 10 Agustus 2007
Bung TA Sakti,
Surat Bung tanggal 5 Agustus telah saya terima. Kalau memang tulisan saya yang bertajuk “Aceh Gudang Hikayat Nusantara” belum dimuat karena yang saya berikan lapis kedua, bukan lapis pertama, maka dengan ini saya kirimkan lapis pertama itu. Sebab seperti saya tuliskan pada pengantar tulisan, lapis pertama itu kurang terang, lantaran pita mesin tik belum sempat saya ganti.
Tetapi di atas itu semuanya, saya memang sengaja memanaskan lagi semangat saya menulis mengenai h i k a y a t karena ternyata budaya Aceh yang cemerlang ini dibiarkan begitu saja terlantar. Saya di samping maksud saya untuk berdakwah (menyampaikan pesan-pesan agama Islam) juga hendak m e m b a n g k i t k a n para penulis di Aceh untuk menarik perhatian terhadap budaya ini. Sulit dicari tandingan hikayat Aceh, seperti saya tuliskan pada “Aceh Gudang Hikayat” itu.
Kami di Riau, Alhamdulillah ada punya kesadaran tentang kekayaan budaya Melayu. Inventarisasi naskah kuno Riau telah ditulis. Sebagian besar karya-karya pengarang Riau sudah dialih tulis kepada tulisan Latin, sementara yang asli disimpan di Balai Maklumat Indra Sakti, Pulau Penyengat. Semua bahan-bahan itu sekarang jadi bahan kajian oleh para mahasiswa, mulai untuk tingkat S1, S2 sampai S3. Sementara itu, Riau punya Yayasan Sagang yang memberi hadiah tiap tahun kepada sejumlah seniman yang berkarya dalam nafas budaya Melayu.
Gambaran tentang kemajuan Riau itu, bagi pikiran saya, dengan mudah dilakukan di Aceh. Betapa tidak, ratusan miliar rupiah uang berada di Aceh. Belum lagi pendapatan pihak daerah sendiri. Dengan menulis tentang hikayat, saya ingin bangkit kembali semangat budaya yang islami di Aceh, sebagaimana telah diperlihatkan oleh h i k a y a t. Dan ini tentu akan memberikan angin s e g a r kepada sejumlah upaya Bung mengenai hikayat. Dan kelak, Aceh bisa tampil lagi sebagai lokomotif budaya Islam di Nusantara, bergandeng tangan dengan budaya Melayu yang dipelihara di Riau dan Malaysia.
Saya jadi n g e r i ketika membaca judul-judul tulisan dalam Majalah Aceh. Kini dimana perempuan Aceh rupanya semakin tenggelam dengan budaya h e d o n i s. Yang dengan kelakuan seperti itu, mereka seakan mengencingi budaya leluhurnya yang mulia lagi terhormat.
Saya sungguh sedih, bagaimana suatu masyarakat yang pernah begitu jaya karena memegang ajaran Islam, tapi akhirnya bergerak, bukan lagi pelan-pelan, tetapi dengan m e l u n c u r kepada budaya Barat yang hanya akan membawa kita ke neraka. Saya bukan memuji, tapi insya Allah, meskipun Riau dijadikan padang perburuan oleh berbagai suku, yang sebagian besar datang hanya untuk memenuhi s e l e r a yang rendah tapi insya Allah masih sulit mencari perempuan Melayu yang bersedia menampilkan dirinya untuk memuja hawa nafsu yang rendah. Padahal sarang maksiat itu tak terhitung jumlahnya dibuat di Riau demi mencari uang sebanyak-banyaknya di situ.
Karena itulah dalam setiap tulisan saya mengenai hikayat, saya berusaha merengkuh kembali kepada jalan yang pernah begitu lurus dan mulia, seperti telah diperlihatkan oleh sejarah kerajaan Aceh hampir 500 tahun, memegang kendali dengan gagah berani di Nusantara, karena dia berpegang kepada Islam. Meskipun jalan nasib tampaknya akan semakin jauh dari harapan, saya hanya berharap kepada Allah, semoga saya dimasukkan oleh-Nya kepada pihak yang tidak suka kepada yang bathil itu.
Alhamdulillah, rupanya tulisan saya sudah pernah didengar oleh LK Ara. Dia mencoba menghubungi saya lewat telepon. Saya langsung mendorong LK Ara agar segera tampil lagi bersama Bung, mengajak teman-teman memelihara budaya kita yang islami itu.
Dia juga berminat membuat tulisan-tulisan pendek mengenai budaya Aceh. Jika itu dilakukan pula oleh teman-teman lain, tentu dengan mudah dapat dibukukan, menjadi semacam bunga rampai budaya Aceh. Dan Bung, tentu akan menjadi penulis utama, insya Allah. Sekarang saya kirimkan juga tulisan saya yang ke 5, “Nilai-Nilai Hikayat Aceh”, sedangkan tulisan ke 6 insya Allah akan bertajuk, “Hikayat Aceh sebagai Muatan Lokal”.
Wassalam
UU Hamidy